tirto.id - Slogan “Love what you do” tidak hanya sering ditemukan di meja kerja atau di kamar, tapi juga di berbagai merchandise seperti kaos, mug, topi, buku catatan, atau bahkan konten di Pinterest. Kalimat motivasi ini diyakini sebagai mantra, bahwa saat kita mencintai pekerjaan, maka kita akan lebih bahagia dibanding pekerja lain yang bekerja hanya untuk uang. Sayangnya, kalimat tersebut hanya mitos kerja modern yang sampai sekarang masih diyakini.
Bahaya Di Balik Mitos
Burnout, menurut Jonathan Malesic adalah karakteristik zaman yang tercipta karena adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan pada pekerja. Menurutnya, kerja modern saat ini menuntut intensitas emosi yang lebih, namun di sisi lain minus penghargaan. Katanya, 200 tahun lalu, pekerja pabrik di Inggris mungkin saja bekerja jauh lebih lama dan jauh lebih lelah dibanding pekerja di Inggris sekarang. Namun, dahulu pekerja pabrik di Inggris tidak mengalami gangguan psikologis seperti yang dialami pekerja modern saat ini.
Kerja modern yang membuat pekerja mengalami burnout adalah fantasi bahwa saat kita bekerja lebih keras, maka kita akan mendapatkan kehidupan yang luar biasa. Tidak hanya dari sisi materi, namun juga penghormatan di masyarakat, memiliki profil dengan moral dan spiritual yang kuat. Etos kerja modern mengamini bahwa martabat, karakter, dan tujuan hidup, akan tercipta bagi pekerja jika saja mereka terlibat (secara total) dengan pekerjaan mereka.
Ilusi terkait kerja modern ini selaras dengan apa yang dikatakan Plato sebelumnya yang disebutnya sebagai “kebohongan mulia”, yaitu sebuah mitos yang membenarkan tatanan fundamental masyarakat. Plato mengilustrasikan bahwa jika orang tidak mempercayai kebohongan, maka masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan. Dan satu kebohongan mulia ini,membuat manusia percaya pada nilai kerja keras.
Buku Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, adalah penggambaran paling pas terhadap etos kerja kita saat ini. Weber menunjukkan bagaimana Protestan Eropa menciptakan cara berpikir tentang uang, pekerjaan, dan martabat yang hingga hari ini tidak dapat kita hindari.
Etika Protestan, menurut Weber, berasal dari teologi John Calvin, pembaru Kristen abad keenam belas yang terkenal karena doktrinnya tentang predestinasi, yang berarti Tuhan "memilih" beberapa orang untuk diselamatkan, dan sisanya ditakdirkan untuk kematian kekal. Dan untuk mendapatkan kepastian pemilihan tersebut, maka manusia perlu produktif, memperkaya diri sendiri dan komunitas, melalui kerja keras.
Slogan Cintai Pekerjaan yang Usang
Sarah Jaffe, dalam bukunya Work Won’t Love You Back: How Devotion to Our Jobs Keeps Us Exploited, Exhausted, and Alone, menulis bahwa “Kerja sangat mengerikan”. Ia menilai, dalam mitos “love what you do”, pekerja seringkali harus mencari tujuan, kebahagiaan, pemenuhan aktualisasi diri dari pekerjaan mereka. Padahal, klaim tersebut hanyalah penipuan belaka. Menurut Sarah, cinta dan kesetiaan pada pekerjaan membuat para pekerja terus dieksploitasi, digaji kecil, dan merasa kesepian.
Cara pikir yang salah dari mitos “Love what you do” membuat pekerja dibujuk oleh perusahaan untuk percaya harus menyukai pekerjaannya, bukan berpikir tentang gaji yang dibayarkan, benefit apa saja yang didapatkan, atau keleluasaan untuk tinggal di rumah lebih lama.
Di sisi lain, berharap selalu merasa bahagia dalam bekerja, baik dengan mencintai pekerjaan atau tidak, ternyata juga tidak melulu berdampak positif. Terus merasa bahagia dalam bekerja itu melelahkan dan membuat kita bereaksi berlebihan yang tidak perlu.
Dunia kerja, seperti juga kehidupan, terdiri dari berbagai macam emosi. Memaksakan untuk selalu mencintai pekerjaan, padahal pekerjaan telah membuat kita stres dan kewalahan, malah akan berakibat buruk.
Sarah berpendapat bahwa pekerja tidak perlu mencintai pekerjaannya. Menurutnya, perusahaan juga belum tentu membuat kita—para buruh—bahagia. Mereka hanya memikirkan bagaimana cara menghasilkan uang. “Bahkan jika kita memiliki bos terbaik di dunia, yang memimpin organisasi non-profit, ia ta tetap mendapat tekanan dari pemberi dana untuk bagaimana cara agar organisasi terus beroperasi,” ungkap Sarah.
Bagi Sarah, konsep work-life balance adalah dimana orang memiliki waktu luang agar lebih meningkatkan produktivitas. “Kita semua manusia, kita hanya punya hidup sekali. Ketika bicara work life balance bukan berarti bekerja dan mengurus anak atau bekerja dan tetap mengurus keluarga, tetapi bekerja dan tetap memiliki waktu luang mengerjakan kegemaran kita; menonton bioskop, atau santai ngobrol bersama sahabat di taman.”
Rima Olivia, Psikolog dan Personal Excellence Trainer, ABNLP Trainer, setuju bahwa orang tidak melulu harus menghabiskan waktu dengan pekerjaan saja. Ia mengatakan, “Hidup kita tidak bisa dibandingkan dengan pekerjaan saja. Pekerjaan hanya salah satu aspek dari kehidupan ini. Ada keluarga, pendidikan, kesehatan, dan keuangan dan lainnya.”
Menurut Rima, di era modern ini, selain gaji yang sesuai, pekerja mempertimbangkan meaning, impact, dan kontribusi pada kehidupan saat memilih pekerjaan.
Obsesi Akan Produktivitas
Setiap hari kita dibanjiri iklan untuk meningkatkan produktivitas. Perusahaan perangkat lunak mengiklankan alat yang akan membantu pelanggan bekerja lebih cepat. Begitu pula seminar kerja yang bicara mengenai cara meningkatkan efisiensi.
Tetapi apakah mengejar produktivitas tanpa henti benar-benar baik untuk bisnis? Dan apakah orang ingin bekerja dengan cara demikian? Menurut artikel di dropbox.com, tingkat pertumbuhan produktivitas mengalami stagnasi secara signifikan dalam dekade terakhir.
Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat menunjukkan angka produktivitas per tahun hanya tumbuh sekitar 1,4%. Angka ini merupakan pertumbuhan terendah selama 30 tahun. Dunia kerja modern saat ini memproduksi lebih banyak alat untuk meningkatkan produktivitas kerja namun ternyata produktivitas masih sama saja.
Dalam survei yang dilakukan Dropbox terhadap pekerja di Amerika Serikat, 61% responden mengatakan mereka ingin “bekerja secara lambat untuk menyelesaikan sesuatu dengan benar”, sementara hanya 41% yang mengatakan mereka ingin “berjalan cepat untuk mencapai lebih banyak”.
Dari sini terlihat bahwa mindset pekerja tidak ingin bekerja cepat, namun mereka hanya ingin mengerjakan sesuatu hal dengan benar.
Distraksi dari Mitos Multitasking
Mitos yang tak kalah bahaya yang juga menjangkiti orang-orang era modern adalah, lebih sibuk berarti lebih produktif. Di media sosial, orang dengan bangga memamerkan foto dan video sedang sibuk bekerja, atau bahkan bangga bekerja lembur.
Di kantor, tak jarang pekerja akan selalu terlihat sibuk terutama saat ada bos datang. Mereka selalu memegang gawai, membaca pesan, membalas email, meeting online dan lain sebagainya.
Dalam laporan Human Capital Trends 2018, Deloitte menemukan fakta bahwa 47% pemimpin bisnis dan divisi Sumber Daya Manusia (SDM) khawatir alat kolaborasi modern tidak benar-benar membantu bisnis dan mencapai tujuan mereka. Di antara window chat, peringatan rapat, dan email, para pekerja selalu terlihat dalam keadaan sibuk yang reaktif, tetapi tidak fokus pada pekerjaannya.
“Hadirnya gawai dan teknologi membawa konsekuensi manusia kadang mengalami overstimulasi yang membuat dia kelelahan secara mental, emosional, bahkan sensori.” tambah Rima Olivia.
Dalam sebuat artikel di sciencefocus.com, pekerja saat ini selalu sibuk dan multitasking. Kedua hal ini justru akan mengikis produktivitas. Secara alamiah, otak manusia memiliki sumber daya terbatas berkaitan dengan perhatian dan memori (fokus untuk berpikir). Padahal keduanya merupakan hal yang sangat penting untuk mendukung kerja yang produktif.
Selalu sibuk bekerja dan multitasking pasti mengarah pada produktivitas adalah mitos yang salah dan perlu diluruskan. Cara kerja otak kita bekerja adalah fokus pada satu hal, beristirahat, dan mulai fokus ke hal lain lagi.
Saat bekerja multitasking dan hasil pekerjaan tidak maksimal seperti yang diharapkan, maka akan pekerja tersebut justru membutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki pekerjaannya. Bukan menjadi produktif malah menyia-nyiakan waktu kerja. Hal inilah yang menjadi penyebab stres dan emosi negatif yang ada di tempat kerja.
Produktivitas yang ideal pada akhirnya lebih menekankan pada kualitas, bukan kuantitas. Lagipula, apa gunanya berhasil melakukan banyak namun jauh dari sempurna?
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi