tirto.id - Fajar S., yang meminta nama belakangnya disingkat menjadi inisial, telah berjuang untuk mencari mata pencaharian baru setelah ia kehilangan pekerjaan pada April 2020 di tengah pandemi COVID-19. Sebelumnya, pria berusia 32 tahun ini bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu apartemen di Jakarta selama setahun.
Namun, setelah lebih dari setahun tidak mendapatkan pekerjaan baru, Fajar memutuskan pada Juni 2021 untuk menggeluti pekerjaan kurir dan ojek online (ojol).
“[Bisa] jalan-jalan sambil menghasilkan uang meskipun jarang dikasih [pemesanan baru] kalau [melalui] rute yang belum pernah dilalui,” ungkap Fajar kepada Tirto, Rabu (6/10/2021).
Fajar hanyalah satu dari sekian banyaknya pekerja di Indonesia yang telah mendapatkan manfaat dari perkembangan teknologi digital. Bagi Fajar, internet sangatlah penting ketika ia tidak tahu alamat pemesan atau restoran yang ia tuju. Kehadiran komputer, internet hingga ponsel pintar (smartphone) menjadi bagian tak terpisahkan bagi banyak pekerja lain.
Selain ojol, masyarakat kini juga dapat menghasilkan uang dengan menjual barang lewat perdagangan daring (e-commerce) dan layanan perbankan digital. Survei Tirto pada 13 April 2021 juga menemukan bahwa peningkatan jumlah transaksi terbesar dalam penggunaan layanan perbankan digital salah satunya adalah transaksi e-commerce.
Laporan e-Conomy SEA dari Google, Temasek, dan Bain & Company tahun 2020 memperkirakan bahwa ekonomi digital di Indonesia akan mencapai 44 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp626 triliun pada 2020 dan meroket hingga sekitar 124 miliar dolar AS atau setara Rp1,767 triliun pada 2025.
Senada, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam konferensi daring pada 29 September 2021 menyebut bahwa ekonomi digital memiliki potensi kontribusi sebesar 18 persen untuk Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2030. Ia juga mengklaim bahwa Indonesia kini memiliki 197 juta orang yang mempunyai akses internet dan diperkirakan akan tumbuh menjadi 250 juta pada 2050.
“Indonesia memiliki potensi terbesar dan jauh melebihi negara-negara lain di kawasan [Asia Tenggara],” kata Luthfi.
Namun, kesenjangan menjadi masalah dasar di balik euforia pesatnya perkembangan teknologi digital. Meskipun survei Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa 73,75 persen rumah tangga Indonesia mengakses internet pada 2019, masih ada lebih dari seperempat penduduk Indonesia yang belum mengaksesnya. Begitupun juga untuk jumlah penduduk yang memiliki telepon seluler dan rumah tangga yang memiliki komputer.
Lantas bagaimana sebenarnya dampak pertumbuhan ekonomi digital terhadap kesenjangan pekerja saat ini? Apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan akibat ekonomi digital? Lalu bagaimana cara mendorong ekonomi digital agar mampu menjembatani kesenjangan ini di tengah pandemi COVID-19?Memperparah Kesenjangan
Ekonom Bank Dunia Maria Monica Wihardja dalam konferensi daring tersebut mengatakan bahwa pekerja yang lebih terdidik dan terampil paling banyak mengambil manfaat dari pertumbuhan ekonomi digital.
Analisis Bank Dunia terhadap Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada 2019 menunjukkan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula penggunaan internet. Pemanfaatan internet juga lebih tinggi di perkotaan, perusahaan yang lebih besar, dan usaha rumah tangga dengan penghasilan yang lebih tinggi.
Di sisi lain, kurang dari sepertiga (27,2 persen) angkatan kerja menggunakan internet dalam tempat kerjanya, menurut kalkulasi Bank Dunia dari data Sakernas. Survei Bank Dunia pun menemukan hanya 12,8 persen usaha rumah tangga yang menggunakan internet untuk keperluan operasional pada 2020, ungkap Maria.“Ini mungkin tidak terdengar terlalu mengejutkan, tetapi apa yang tersirat di sini adalah bahwa teknologi digital memperparah ketidaksetaraan yang sudah terjadi dalam dunia analog (offline) ini, seperti kesenjangan pendidikan dan keterampilan. Kesenjangan digital hanyalah ujung puncak [fenomena] gunung es,” ungkap Maria.
Bahkan, pekerjaan yang membutuhkan keterampilan digital lebih rendah seperti penjual di e-commerce atau gig workers (pekerja kontrak independen dalam jangka waktu pendek) seperti pengemudi ojol masih didominasi lulusan SMA. Pendidikan ini relatif tinggi jika dibandingkan 60 persen pekerja di Indonesia yang baru mengenyam pendidikan SMP, ungkap Maria.
Maria menjelaskan, kurangnya kesadaran terkait manfaat penggunaan internet dan kurangnya keterampilan digital telah menghambat penggunaan internet. Lambatnya penciptaan pekerjaan formal pun membatasi penduduk berpendidikan rendah untuk masuk dalam pekerjaan-pekerjaan yang bahkan membutuhkan keterampilan digital yang rendah.
Aktivitas e-commerce pun masih terpusat di Pulau Jawa. Maria juga menjelaskan bahwa hanya 10 persen dari total pekerja di Indonesia yang terlibat dalam kegiatan e-commerce sebagai pekerjaan mereka. Beberapa kendala yang mengakibatkan hal tersebut antara lain kurangnya kepercayaan terhadap transaksi daring, kendala biaya logistik dan keterbatasan koneksi internet, ungkap Maria.
Ke depan, meluasnya distribusi teknologi digital memiliki beberapa risiko, meskipun Maria mengingatkan bahwa risiko ini belum memiliki bukti yang kuat dan perlu dikaji lebih lanjut. Pertama, perkembangan e-commerce dapat mengancam ekonomi lokal dan toko fisik (offline), termasuk usaha keluarga tradisional.
Mayoritas penjualan e-commerce pun didominasi segelintir penjual, sebut Maria. Dari sisi pekerja, Bank Dunia menemukan bahwa gig workers ojol cenderung bekerja lebih lama dengan perlindungan ketenagakerjaan minim. Perusahaan teknologi pun mendapatkan porsi keuntungan yang lebih besar dari pekerja seiring pertumbuhan perusahaan teknologi.
“Saat ini, tidak ada peraturan pemerintah yang melindungi pekerja di digital gig dan platform economy, meskipun Omnibus Law tentang Cipta Kerja menanggapi sebagian masalah ini,” ungkap Maria.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja sendiri baru resmi disahkan menjadi Undang-Undang pada 5 Oktober 2020.
Pekerja dan Industri Digital
Sekretaris Jenderal Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Emelia Yanti Siahaan kepada Tirto, Rabu (6/10/2021), mengatakan bahwa apa yang disampaikan Bank Dunia bisa jadi benar. Sebab, ia mengamati bahwa belum semua pekerja cakap dalam menggunakan teknologi digital, khususnya di sektor industri.
“Kami bisa setuju dengan pandangan bahwa kemajuan dari teknologi digital ini kemudian melahirkan kesenjangan dan ketimpangan, tidak hanya buruh di industri yang terbelakang secara edukasi, tapi di kalangan buruh berpendidikan menengah ke atas [yang] tidak secara keseluruhan diuntungkan,” ujarnya.
Menurut Emelia, pekerja seringkali terancam kehilangan pekerjaan ketika pabrik sudah beralih ke mesin baru yang menggunakan teknologi digital. GSBI dalam studinya pernah menyoroti salah satu perusahaan di Sukabumi, Jawa Barat yang menuntut pekerjanya untuk menggunakan teknologi maju. Jika mereka tidak mau, maka pekerja tersebut harus menerima risiko kehilangan pekerjaannya, ujarnya.
Ia mengungkap, sistem pendidikan yang tidak mempersiapkan angkatan kerja untuk tuntutan kemajuan ke depan menjadi salah satu masalahnya. Selain itu, ia mengklaim bahwa industri Indonesia yang dikuasai pemodal asing mendorong perusahaan-perusahaan untuk menggunakan mesin-mesin dari negara maju, meskipun para buruh belum siap.
Dalam konferensi daring yang sama, Shinto Nugroho, Chief of Public Policy and Government Affairs di Gojek menyebut bahwa teknologi saat ini telah mendemokratisasi kesempatan untuk siapapun yang ingin bergabung dalam pertumbuhan teknologi digital. Namun, Indonesia masih perlu menyelesaikan beberapa PR untuk mengatasi masalah kesenjangan ini.
Shinto menyoroti bahwa masalah logistik menghambat daerah di luar Jawa untuk mendapatkan manfaat dari pesatnya pertumbuhan teknologi digital. Ia juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan investasinya di konektivitas internet dan literasi digital seiring perkembangan teknologi digital.
Ia menyebut bahwa kurangnya talenta digital juga dapat menjadi penghambat perkembangan industri digital dan juga bagi pemerintah. Padahal, pegawai negeri yang memahami cara kerja industri digital dan mau bekerja sama dengan industri merupakan bagian penting dari upaya yang berkelanjutan untuk menjembatani kesenjangan akibat inovasi.
“Industri tentu saja bisa menjadi mitra untuk hal ini, tetapi industri juga perlu kerangka regulasi agar kami bisa terus beroperasi dengan baik,” jelas Shinta.
Atasi Kesenjangan Digital
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G. Plate menyatakan, pemerintah memanfaatkan momentum pandemi untuk mempercepat transformasi digital. Strateginya antara lain penguatan infrastruktur digital, pengembangan talenta digital, dan pembentukan hukum yang tepat untuk melengkapi regulasi primer yang ada, mengutip siaran pers.
"Strategi ini saling berhubungan dan sama pentingnya dalam upaya Indonesia untuk membangun infrastruktur digital di Indonesia. Tidak hanya akan membantu pemulihan ekonomi, tetapi juga akan menuntun kita menuju jalan menjadi masyarakat digital yang tangguh,” jelas Johnny dalam pertemuan tingkat menteri G20 di bidang digital pada 5 Agustus 2021.
Ia mengklaim pemerintah telah secara masif membangun infrastruktur internet di wilayah yang belum terjangkau akses internet. Selain itu, Indonesia juga menargetkan peluncuran satelit High-Throughput SATRIA-1 pada tahun 2023 untuk penyediaan akses internet di seluruh titik layanan publik Indonesia yang belum tersedia akses internet.
Kementerian Kominfo juga melaksanakan Gerakan Nasional Literasi Digital Indonesia yang diberi nama Siberkreasi untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Selain itu, Kementerian Kominfo menyiapkan stimulus untuk melatih talenta digital melalui Program Digital Talent Scholarship 2021.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam konferensi daring pada 29 September 2021 menyebut bahwa pemerintah saat ini sedang menyusun cetak biru untuk ekonomi digital. Ia pun menilai bahwa pilar pembangunan ekonomi digital adalah sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan ekosistem inovasi.
“Kebangkitan ekonomi digital kita tidak bisa dihindari tetapi untuk mengeluarkan potensi penuhnya, itu harus dibangun di atas prinsip-prinsip kesetaraan dan inklusivitas bagi masyarakat kita,” tegas Lutfi.
Padahal, teranyar, IMD World Digital Competitiveness Rankings 2021 menempatkan Indonesia di peringkat 53 dari 64 negara. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih relatif tidak kompetitif secara digital dibandingkan negara lain. Kinerja Indonesia paling rendah untuk kategori “pengetahuan”, khususnya di bidang pelatihan dan pendidikan.
Pandemi, Tantangan dan PeluangPandemi COVID-19 kini menjadi tantangan baru untuk kesenjangan digital. Memang, seperti yang disebut oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki, selama pandemi, ada tambahan 7,3 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masuk ke ekosistem digital, membuat total UMKM yang telah merambah ke ekosistem digital berjumlah 15,3 juta atau 23,9 persen dari total UMKM, seperti dilaporkan oleh Berita Satu.
Akan tetapi, di sisi lain, Bank Dunia menemukan bahwa di kala 84 persen pekerjaan berketerampilan tinggi dapat dilakukan dari rumah, 85 persen pekerjaan berketerampilan rendah mengharuskan pekerja untuk berada di tempat kerja selama pandemi, ungkap Maria.
“Namun, pandemi ini menawarkan momentum terbaik untuk ‘pindah gigi’ dan kesenjangan digital tidak harus menjadi takdir Indonesia,” tutur ekonom Bank Dunia tersebut.
Untuk itu, Indonesia perlu “memelihara” keterampilan digital dan keterampilan lain yang dibutuhkan di abad ke-21. Mendukung pertumbuhan layanan finansial digital juga penting untuk memperluas akses kelompok unbanked (tidak mendapat akses layanan finansial sama sekali) ataupun underbanked (mendapat akses layanan finansial, tetapi terbatas) yang ingin berkecimpung di dunia ekonomi digital.
Untuk mendukung e-commerce di daerah terpencil, Indonesia juga perlu mendukung efisiensi logistik dengan membangun infrastruktur transportasi, mendorong investasi swasta untuk pergudangan di luar kota-kota besar, serta memodernisasi pos nasional dan melakukan standarisasi kode pos.
Kebijakan untuk melindungi pekerja pun akan menjadi sama pentingnya ketika ekonomi digital tumbuh dan perusahaan digital mencari keuntungan, tegas Maria.
Sekretaris Jenderal GSBI Emelia Yanti Siahaan pun mendorong pemerintah untuk mengambil alih industri yang saat ini masih dikuasai pihak asing dan kepentingan pemodal dari hulu ke hilir. Dengan cara ini, Indonesia dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja seiring berkembangnya teknologi digital.
"Ketika pemerintah berani dan punya kemauan untuk membangun industri nasional sendiri, bukan industri yang berbasiskan kepentingan modal, akan lebih banyak tenaga kerja yang terserap," ujarnya.
Editor: Farida Susanty