tirto.id - Industri perbankan telah berubah seiring perkembangan teknologi. Kalau dulu, layanan perbankan diasosiasikan dengan kantor cabang dan mesin ATM, kini layanan perbankan digital, atau digital banking, menjadi salah satu cara yang populer bagi konsumen untuk bertransaksi.
Penggunaan layanan perbankan digital ini juga kini mencakup berbagai aktivitas, mulai dari transfer uang, membeli secangkir kopi di kafe, membayar tagihan, membeli barang lewat e-commerce, hingga berinvestasi.
Menurut laporan konsultan global McKinsey & Company pada Februari 2019, jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, Indonesia memiliki jumlah responden terbesar kedua setelah Myanmar, yang menyatakan bahwa mereka kemungkinan besar akan menggunakan layanan perbankan digital selama enam bulan ke depan. Padahal, responden pada penelitian tersebut belum menggunakan layanan digital sebelumnya.
Transaksi perbankan pun terus meningkat di tengah pandemi seiring makin banyaknya bank yang mendorong digitalisasi dan imbauan pemerintah agar masyarakat berdiam di rumah untuk mengurangi transmisi virus COVID-19. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), misalnya, hingga akhir Desember 2020 mencatat transaksi melalui internet banking berjumlah sebanyak 2,7 miliar kali atau meningkat 132,2 persen secara year on year, seperti dilansir dari laporan tahunan bank tersebut.
"Adanya pandemi ini menjadi akselerator transformasi digital di BRI yang telah dijalankan sejak tahun 2016. Dampaknya adalah meningkatnya transaksi digital, terutama internet banking BRI," kata Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto kepada Kontan, Sabtu (20/2/2021).
Berdasarkan kondisi tersebut, Tirto bekerja sama dengan Jakpat untuk melakukan survei daring dengan metode non probability sampling, yang bertujuan untuk melihat tren penggunaan layanan perbankan digital di Indonesia dan memahami perilaku penggunanya. Sebagai catatan, Jakpat adalah penyedia layanan survei daring yang memiliki lebih dari 803.000 responden. Survei ini dilakukan pada 30 Maret 2021 dan melibatkan 1.500 responden berusia 18 tahun hingga 60 tahun yang memiliki rekening bank.
Metodologi Riset
Jumlah responden: 1.500 responden
Wilayah riset: Indonesia
Periode riset: 30 Maret 2021
Instrumen penelitian: Kuesioner online dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non Probability Sampling
Profil Responden
Pada survei ini, sebaran responden menurut jenis kelamin cukup merata. Proporsi responden pria sebanyak 57,93 persen dan wanita 42,07 persen. Mayoritas responden (30,27 persen) berusia 30-35 tahun. Sementara itu, untuk daerah asal, mayoritas responden berada di Pulau Jawa. Jumlahnya sebesar 79,73 persen.
Status pekerjaan responden terdiri dari buruh/karyawan/pegawai (52,93 persen), wiraswasta (23,40 persen), pekerja lepas (10,53 persen), pekerja keluarga/tidak dibayar seperti ibu, bapak, kakek atau nenek rumah tangga (7,53 persen), pelajar/mahasiswa (5,33 persen) dan TNI/Polri (0,27 persen).
Penggunaan Layanan Perbankan Digital
Dari 1.500 orang yang disurvei, mayoritas responden sudah menggunakan layanan perbankan digital dalam 12 bulan terakhir. Jumlahnya mencapai 94,73 persen. Demografi pengguna layanan perbankan digital cukup merata di antara semua kelompok umur, di angka lebih dari 92 persen. Namun, kami menemukan bahwa semakin rendah status sosial ekonomi pengguna, semakin rendah pula persentase penggunaan layanan perbankan digital.
Survei ini juga menemukan bahwa mayoritas dari responden, sebanyak 83,11 persen, menggunakan layanan perbankan digital berjenis mobile banking. Artinya, sebagian besar responden melakukan aktivitas perbankan melalui ponsel.
Temuan ini juga senada dengan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang mencatat 95,9 persen respondennya menggunakan internet lewat ponsel pintarnya atau smartphone setiap hari. Jumlahnya paling besar jika dibandingkan dengan jenis perangkat lainnya.
Kemudian, lebih dari setengah responden, dengan proporsi 52,2 persen, telah menggunakan layanan perbankan digital selama lebih dari dua tahun. Artinya, banyak responden survei yang telah mulai menggunakan layanan ini sebelum pandemi menerjang Indonesia pada Maret 2020. Meski begitu, penelitian ini menemukan bahwa hampir 25 persen responden baru mulai menggunakan layanan perbankan digital selama kurang dari 1 tahun, atau selama pandemi berlangsung.
Jika dibandingkan dengan temuan lain McKinsey & Company yang dipublikasikan pada November 2020, pandemi secara umum memang mempercepat peralihan konsumen ke platform digital untuk membeli berbagai kebutuhan sehari-hari.
Lalu, ketika Tirto menanyakan soal alasan menggunakan layanan perbankan digital, mayoritas responden (90,15 persen) menjawab kemudahan akses sebagai alasan utama.
"Cepat, efektif dan efisien tanpa perlu datang ke bank," jawab salah satu responden.
Faktor lain yang mendorong responden untuk menggunakan layanan perbankan digital diantaranya adalah keamanan, menghindari transmisi COVID-19 dengan mengurangi layanan tatap muka, serta konsistensi kualitas layanan.
Sementara itu, dari sisi penggunaan, transfer dana (85,36 persen) dan informasi saldo (81,70 persen) adalah dua layanan yang paling sering digunakan responden. Transaksi e-commerce (70,16 persen) menempati posisi ketiga sebagai layanan yang paling sering digunakan.
Di sisi lain, 5,27 persen responden tidak menggunakan layanan perbankan digital. Hampir separuh (49,37 persen) beralasan bahwa mereka belum punya akun untuk layanan perbankan digital. Beberapa kendala teknis juga menghambat penggunaan. Misalnya, seorang responden menyebut bahwa ia mengalami kendala dalam menerima OTP (one time password/kata sandi sekali pakai) walaupun ia sudah sering mencoba melakukan registrasi.
Survei ini juga menemukan bahwa layanan perbankan digital berpengaruh pada jumlah transaksi perbankan secara umum. Mayoritas responden (71,85 persen) menyatakan jumlah transaksi mereka meningkat dengan adanya layanan perbankan digital. Yang menarik, menurut survei , peningkatan jumlah transaksi terbesar dalam penggunaan layanan perbankan digital adalah transfer dana dan transaksi e-commerce. Peningkatan transaksi e-commerce ini didominasi oleh responden perempuan (74,05 persen). Untuk responden perempuan, peningkatan jumlah transaksi e-commerce juga lebih tinggi dibanding jenis transaksi perbankan digital lainnya.
Kenaikan transaksi e-commerce ini sejalan dengan temuan Google dalam laporan “e-Conomy SEA 2020” yang dipublikasikan pada November 2020. Gross merchandise value (GMV) e-commerce di Indonesia pada tahun 2020 naik sebesar 54 persen hingga mencapai 32 miliar dolar, dari 21 miliar dolar tahun sebelumnya. E-commerce juga masih dinilai sebagai penggerak utama ekonomi digital Indonesia, yang juga tumbuh sebesar 11 persen menuju 44 miliar dolar pada tahun 2020.
Lebih jauh, Bank Indonesia memprediksi kenaikan transaksi bank digital tahun 2021, menjadi sebesar Rp32,206 triliun, dari Rp27,036 triliun di tahun 2020, seperti dilansir Bisnis Indonesia.
Selain itu, layanan perbankan digital ternyata juga telah mendorong pembukaan rekening baru. Sebesar 70,51 persen responden survei menjawab mereka ingin membuka rekening tabungan baru dengan adanya layanan perbankan digital. Hanya 29,49 persen responden yang menjawab tidak ingin membuka rekening baru.
Nasabah Tetap Percaya
Di tengah kenaikan kemajuan perbankan digital dan animo nasabah yang tinggi, layanan perbankan digital tetap memiliki beberapa risiko. Isu perlindungan pengguna layanan perbankan digital merupakan salah satu risiko paling menonjol, terutama mengingat evolusi layanan digital yang berkembang semakin cepat.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Badan Sandi Siber Negara (BSSN) mencatat 88 juta kasus serangan siber di Indonesia hanya dalam periode 1 Januari hingga 12 April 2020. Beberapa jenis serangan tersebut juga berkaitan dengan perbankan, seperti DanaBot Banking Trojan, Cerberus Banking Trojan dan Anubis Banking Trojan.
Selain itu, data nasabah banyak beredar dan bahkan dijual dalam situs-situs di internet secara bebas. Misalnya, investigasi Tirto pada Maret 2019 menemukan data nasabah dari situs temanmarketing.com dijual dari harga Rp350 ribu untuk 1.000 data nasabah hingga Rp5 juta untuk 1 juta data nasabah.
Di tengah berbagai masalah keamanan siber di Indonesia, sebagian besar (59,20 persen) responden ternyata masih tetap percaya dengan keamanan aset mereka dalam layanan perbankan digital. Lebih dari setengah responden, sebanyak 60 persen, juga masih percaya dengan keamanan data pribadi mereka ketika mengakses layanan perbankan digital.
Rata-rata, kelompok umur 16-19 memiliki tingkat kepercayaan tertinggi terhadap keamanan digital, baik untuk keamanan aset maupun keamanan data pribadi. Sementara itu, tingkat kepercayaan ini cukup merata secara jenis kelamin maupun dari kelompok tingkat konsumsi bulanan responden.
Namun, masalah keamanan tetap menjadi kekhawatiran bagi sebagian orang. Dari 79 orang yang tidak menggunakan layanan perbankan digital dalam 12 bulan terakhir, 31,65 persen responden menyebut ketakutan atau kekhawatiran dengan keamanan layanan perbankan digital sebagai alasan tak menggunakan layanan tersebut.
QR Code Masih Jarang Digunakan
Seiring dengan perkembangan teknologi perbankan, bank-bank besar juga menerapkan QR Code untuk mempermudah pembayaran. QR Code atau Quick Response Code adalah kode matriks atau kode batang (barcode) yang umumnya dipindai untuk mendapatkan informasi tentang suatu benda atau untuk melakukan transaksi.
Bank Indonesia (BI) bahkan telah meluncurkan QR Code bernama QRIS pada Januari 2020. Menurut situs BI, QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard adalah penyatuan berbagai macam QR dari berbagai penyelenggara jasa sistem pembayaran agar proses transaksi dengan QR Code dapat lebih mudah, cepat, dan terjaga keamanannya.
Namun, penggunaan QR Code ternyata masih relatif jarang. Hasil survei menunjukkan bahwa bahwa separuh responden (50,25 persen) hanya menggunakan layanan ini sebanyak 1 sampai 5 kali melalui aplikasi perbankan dalam satu bulan terakhir. Sebaliknya, 27,59 persen responden menyatakan tidak pernah menggunakan QR Code.
Menurut survei Tirto, responden perempuan serta kelompok umur 40-45 cenderung lebih jarang menggunakan QR Code. Sementara itu, status sosial ekonomi menengah ke atas dan kelompok umur 16-19 adalah responden yang paling banyak menggunakan layanan ini.
Secara garis besar, hasil survei ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah transaksi tidak serta merta meningkatkan penggunaan teknologi QR Code atau QRIS. Padahal, mayoritas (61,27 persen) responden menilai QR Code aman untuk proses pembayaran digital dan 29,27 persen responden bahkan menganggap layanan ini sangat aman.
Kesimpulan
Dari hasil survei ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan layanan perbankan digital terus berkembang pesat seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi di sektor perbankan dan kebutuhan konsumen untuk kemudahan bertransaksi, terutama saat pandemi. Layanan perbankan digital juga mendorong peningkatan transaksi perbankan, termasuk di antaranya transaksi e-commerce.
Sementara itu, meskipun keamanan siber di Indonesia masih menjadi tantangan, mayoritas dari responden masih memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap keamanan layanan perbankan. Namun, keamanan digital masih menjadi pertimbangan penting untuk konsumen dalam menggunakan layanan perbankan digital, mengingat beberapa responden juga menyebut alasan keamanan sebagai alasan mereka untuk tak menggunakan layanan perbankan digital.
Terakhir, penggunaan QR Code masih relatif rendah meskipun mayoritas mengakui keamanan layanan pembayaran ini. Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku sektor perbankan perlu mengkaji lebih lanjut faktor-faktor penghambat penggunaan QR Code.
Hasil survei ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan bagi pembaca Tirto dalam memahami perbankan digital di Indonesia. Selain itu, survei ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pemangku kepentingan terkait perbankan digital dalam memahami kebutuhan dan pengalaman nasabah agar dapat mendukung peningkatan layanan yang lebih baik.
Editor: Farida Susanty