Menuju konten utama

Overemployed: Kami Kerja Ganda Karena Miskin

Banyak orang memilih bekerja di dua tempat. Mengapa demikian? Tidak lain karena alasan ekonomi (memangnya apa lagi?)

Overemployed: Kami Kerja Ganda Karena Miskin
Ilustrasi Freelance. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jonathan David Larson menjalan banyak kehidupan di New York, Amerika Serikat. Di satu sisi dia membanting tulang menjadi pelayan restoran Moondance Diner. Pada kesempatan lain, demi mengejar mimpi menjadi seniman, dia sibuk merangkai naskah musikal dan berharap kelak dapat dipertontonkan di panggung Teater Broadway.

Demi bertahan di salah satu kota paling sibuk di seantero AS itu, Larson juga harus merelakan beberapa hal, misalnya privasinya sendiri. Ia menyewa apartemen yang biaya perbulannya mencapai 1.400 dolar AS. Karena tidak mampu sepenuhnya menggunakan uang sendiri, tempat itu biasa ia sewa bersama 2-3 kawan.

Larson tinggal di apartemen itu selama hampir 10 tahun. Selama itu pula teman kamarnya silih berganti. Jumlahnya mencapai 30 orang. Tidak semuanya baik. Ada yang menjadi pencandu narkotika atau bahkan punya kecenderungan buruk mencuri barang-barang pribadi Larson.

“Dia punya kamar mandi di dapur,” kata ayah Larson menggambarkan betapa semrawut kehidupan putranya, dilansir Washington Post.

Suatu hari karya Larson yang berjudul Rent berhasil menembus panggung Broadway. Sayang seribu sayang Larson tidak dapat menikmati buah kerja kerasnya. Ia mengembuskan nyawa tiga bulan sebelumnya karena diseksi aorta tepat di hari uji coba Rent dilaksanakan.

Larson hanyalah salah satu contoh seniman yang tetap harus bekerja karena mimpinya belum berbuah penghasilan. Selain Larson, penulis novel berseri Harry Potter Joanne Rowling--atau yang dikenal dengan nama pena J. K. Rowling--juga punya kisah sama. Beda dengan Larson, Jo melihat karyanya diapresiasi dan bahkan masih menikmati hasilnya sampai sekarang.

Dalam buku yang ditulis oleh Connie Ann Kirk, J.K Rowling: A Biography (2003), Jo dikatakan menulis dua novel dewasa pertamanya di sela-sela pekerjaan. Saat itu dia adalah sekretaris dan peneliti di Amnesty International cabang London.

Seniman Debby Lawson mengatakan bahwa memang banyak seniman yang punya pekerjaan sampingan untuk menyubsidi passion mereka. Tentu saja ada pula seniman yang tidak mencari uang di tempat lain. Konsekuensinya, kata Debby, hidup mereka pas-pasan karena seni tidak selalu menghasilkan pendapatan besar alias tidak semua berakhir seperti J. K. Rowling.

Lawson termasuk yang punya pekerjaan sampingan. Pekerjaan lainnya itu memberikan penghasilan yang layak. Beban kerjanya pun tidak terlalu berat. Kondisi ini tentu saja tidak dialami seniman lain.

“Aku tidak perlu bekerja setiap hari--seniman lain harus menghabiskan banyak waktu bekerja di bar, menjadi pelayan, atau mengajar,” kata Lawson dilansir Guardian.

Makin Lazim karena Pandemi

Punya dua pekerjaan atau bahkan lebih sebenarnya merupakan hal umum, tak hanya seniman tapi banyak orang lain.

Wall Strett Journal menemukan bahwa hal ini semakin umum ketika pandemi Covid-19 membebaskan orang-orang untuk bekerja jarak jauh dalam rangka pembatasan sosial. Situasi ini memungkinkan mereka mengambil pekerjaan lain di luar pekerjaan utama.

“Mereka berpikir, mengapa menjadi keren di satu pekerjaan jika bisa menjadi biasa saja di dua tempat?” catat WSJ.

Salah satu pekerja yang memulai mengambil pekerjaan sampingan di masa pandemi adalah Jamie, software engineer sebuah perusahaan di Inggris. Semenjak pandemi, karena pekerjaannya juga tidak terlalu krusial dan jarang diawasi, Jamie jadi banyak menghabiskan waktu untuk bermain gim video.

Satu hari, dia mendapatkan pemikiran brilian: alih-alih bermain sepanjang hari, bagaimana kalau memanfaatkan waktu yang berlebih ini untuk menghasilkan uang lebih banyak?

Jamie akhirnya memutuskan mencari pekerjaan yang memperbolehkannya bekerja dari rumah. Dia diterima menjadi software development. Mulai saat itulah dia bekerja dua tempat, memiliki penghasilan tambahan, dan tanpa takut dipecat.

“Ternyata ini tak sesulit yang kubayangkan,” kata Jamie kepada The Guardian.

Jamie sebenarnya termasuk dalam “overemployed”. Komunitas daring ini pertama kali dikenalkan oleh Isaac Price yang mendirikan overemployed.com. Tujuan dia membuat situs tersebut adalah membagikan pengalaman dan mendorong orang-orang untuk bekerja di lebih dari satu tempat.

Awalnya Isaac bukan hanya ingin menambah pundi-pundi penghasilan, tapi juga merancang mitigasi bencana Covid-19. Isaac yang bekerja di bidang teknologi khawatir pandemi akan membuat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di tempat kerjanya. Isaac merasa perlu untuk mencari pekerjaan cadangan dan dia pikir orang lain pun harus melakukan langkah serupa.

Kekhawatiran ini tak mengherankan. Pada 2020 lalu, di Asia saja tercatat 81 juta orang kehilangan pekerjaan karena pandemi.

Setelah mendapat pekerjaan baru, Isaac menyadari dia tidak perlu melepas kantor lamanya. Dia bisa melakukan keduanya dan meningkatkan penghasilan hingga dua kali lipat.

“Mengerjakan dua pekerjaan sekaligus sudah banyak terjadi dan itu adalah rahasia terbesar dalam dunia teknologi,” ucap Jamie. “Pandemi hanya menyuburkan tren tersebut dan mempermudah situasi bagi yang lain, bukan hanya untuk bidang teknologi.”

Tidak ada lagi motivasi mengejar mimpi di sini sebagaimana kisah-kisah para seniman kita di atas. Semua adalah tentang tuntutan ekonomi.

Awalnya, situasi yang tampak seperti opsi--alias mau diambil silakan, tidak juga tak menjadi dosa--ini menjadi keharusan. Bekerja ganda adalah cara untuk bisa bertahan hidup.

Pada Juli 2022 kemarin CBS News mencatat inflasi di AS yang kian meningkat membuat para pekerja kerah putih harus membanting tulang untuk membuat dapur tetap mengepul. Dalam sebuah survei, 75% dari kelompok berpenghasilan menengah menyebut mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Ini tentang berapa penghasilanmu sebulan dan berapa yang kamu habiskan--jika hasilnya defisit, tentu kamu harus cari pekerjaan lain atau pekerjaan tambahan,” kata profesor dari Sekolah Bisnis Columbia, Mark Cohen.

Ini tidak hanya terjadi di AS, tapi mungkin di belahan dunia lain, dan Indonesia.

Pada Juli 2022 ini, tingkat inflasi mencapai salah satu angka tertinggi dalam tujuh tahun terakhir, yakni 4,94% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year). Di tengah kenaikan harga bahan pokok dan BBM, mau tidak mau banyak orang yang harus memutar otaknya. Mengambil pekerjaan lain atau hidup dari dua pekerjaan atau lebih menjadi salah satu pilihan.

Antara Loyalitas dan Gaji Kecil

Dalam sebuah sesi konsultasi bersama penulis Forbes Liz Ryan, seorang karyawan bernama Morgan bercerita bagaimana perusahaan memperlakukannya tidak adil. Morgan harus mengerjakan pekerjaan tiga kali lipat. Dia memang mendapat kenaikan gaji, tapi menurutnya itu adalah kenaikan tahunan biasa.

“Aku tidak mendapat tambahan dari bekerja tiga kali lipat,” kata Morgan.

Liz kemudian memberikan beberapa saran kepada Morgan. Salah satunya, “jika memang kamu tidak kuat, ini saatnya mencari pekerjaan baru.”

Tidak bisa dimungkiri, gaji yang layak adalah alasan penting bagi seseorang untuk tidak hengkang atau bertahan pada satu pekerjaan saja. Sebaliknya, gaji rendah menjadi salah satu alasan kuat seseorang untuk berpindah perusahaan. Kadang loyalitas karyawan bertahan di tempat kerja tak berbanding lurus dengan apresiasi yang perusahaan berikan.

Selain masalah gaji, biasanya orang tidak lagi loyal pada perusahaan karena karier yang tidak (bisa) berkembang.

Artikel lain di Forbes menyebutkan bahwa setiap tahun karyawan justru mengalami kerugian. Perhitungan yang dilakukan Forbes memakai rumus rasio kenaikan gaji rata-rata dikurang angka inflasi. Pada tahun 2014, kenaikan gaji rata-rata karyawan AS sebesar 3%, sedang inflasi di angka 2,1%. Artinya mereka hanya mendapat kenaikan sekitar 1%.

Dalam konteks Indonesia, dengan tingkat inflasi 4,94% dan kenaikan rata-rata 2021 sebesar 5,3%, penghasilan karyawan tak lebih dari 1%. Bilamana memakai proyeksi kenaikan gaji di tahun 2022 sebesar 6,5%, angkanya pun tak terlalu banyak berubah, yakni 1,56%. Anggaplah gaji karyawan sebesar Rp5 juta, maka kenaikannya hanya Rp78 ribu. Angka yang jika dibelanjakan bensin kualitas terendah sekalipun hanya mendapat sebanyak 7,8 liter.

Justru kenaikan gaji yang agak tinggi didapat dengan berpindah pekerjaan. Mereka yang mencoba peruntungan baru justru bisa mendapat kenaikan antara 10% hingga 20%, bahkan dalam beberapa kasus ada hanya memperoleh hingga 50%.

Infografik Generasi Lelah Bekerja

Infografik Generasi Lelah Bekerja. tirto.id/Sabit

Namun mengambil pekerjaan tambahan juga tak lepas dari masalah. Selain, tentu saja, hilangnya waktu luang dan kelelahan, beberapa orang juga merasakan perasaan bersalah dan takut.

Mengutip artikel The Guardian, dalam diskusi terbuka di platform komunikasi Discord, beberapa orang mengaku tidak enak harus bekerja sembunyi-sembunyi di belakang atasannya. “Pada hari pertama bekerja di dua tempat aku mengalami panic attacks,” kata Callum, karyawan umur 20-an asal Inggris. Pengguna lain kemudian menenangkannya dengan berargumen bahwa “perusahaan tidak akan pernah ragu untuk mengganti kita.”

Masalahnya sebagian dari mereka memang tidak punya pilihan. Katya, perempuan usia 47 tahun yang tinggal di Northern California, misalnya, mengungkap dia terpaksa bekerja di dua tempat karena putranya meninggal dan tagihan rumah sakit membuatnya hidup ditumpuk utang. Setelah mendapat pekerjaan baru dan dia berhasil bekerja di dua perusahaan, hidupnya membaik.

“Aku pikir hanya aku yang melakukan itu dan aku merasa tidak enak,” jelas Katya. “Tapi aku akhirnya bisa membayar berbagai tagihan dan memberi makan keluargaku tanpa khawatir.”

Di akhir hari, mereka yang bekerja di dua tempat hanyalah miskin semata.

Baca juga artikel terkait FREELANCE atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino