tirto.id - “Gue pindah dari kerjaan sebelumnya karena gue sadar ngobok-ngobok angka di Excel bukan passion gue. Kerjaan yang gue nikmatin adalah berinteraksi dengan orang-orang. Jadi ya gue pindah,” tutur Alen kepada Tirto pada Jumat (27/10/17). Ia merupakan lulusan Fakultas Ekonomi sebuah PTN di Jawa Barat, yang memutuskan pindah perusahaan setelah baru 6 bulan bekerja.
Cerita Alen memberikan sedikit gambaran terhadap dilema perjalanan karier yang harus dilalui oleh generasi milenial. Untuk generasi ini, kesetiaan terhadap perusahaan bukan merupakan prioritas ketika sudah tidak menikmati lagi pekerjaan yang dilakukan. Alasan lainnya adalah gaji dan karier yang tidak sesuai dengan harapan.
Studi yang dilakukan oleh Dale Carniage Indonesia, Employee Engagement Among Millenials (2016), menyebut hanya 1 dari 4 tenaga kerja milenial yang fully engaged. Artinya, sangat sedikit kaum milenial yang loyal terhadap perusahaan, kontributif terhadap keuntungan, dan produktif dalam bekerja.
Baca juga: Kantor Ideal untuk Generasi Milenial
Di Amerika Serikat, hanya 28,9 persen milenial yang fully engaged dengan pekerjaan mereka pada tahun 2014. Menurut analisis dari Gallup, hal itu disebabkan karena milenial tidak mendapatkan pekerjaan yang mereka harapkan setelah lulus dari universitas. Akibatnya, milenial tidak mendapatkan kesempatan yang optimal untuk menggunakan keunggulan terbaiknya karena pekerjaannya tidak sesuai dengan keahlian utama yang dimilikinya.
Sementara di Indonesia, milenial menghadapi masalah ketimpangan antara ekspektasi dengan realita gaji yang ditawarkan perusahaan. Sebagai contoh, lulusan fakultas teknik berekspektasi mendapatkan gaji hingga Rp11 juta. Pada kenyataannya, rata-rata gaji untuk lulusan baru adalah Rp4,7 juta. Realita ini menjadi salah satu pemicu milenial untuk pindah pekerjaan yang menawarkan tambahan gaji mengingat biaya makan dan transportasi yang semakin mahal, harapan membeli rumah, dan juga keinginan untuk punya tabungan besar.
Gilang, alumni Fakultas Hukum sebuah PTN menceritakan pengalamannya ke Tirto. “Gue bisa setuju jika ada klaim kalau milenial tidak terlalu setia sama perusahaan, soalnya terkadang biar karier dan gaji naik ya luemang butuh pindah,” tutur Gilang. Karena itu, pindah perusahaan bukan karena si milenial tidak suka, tapi terkadang pindah merupakan keputusan strategis untuk mengembangkan karier ke tangga yang lebih tinggi.
Baca juga: Suara dan Gerakan Politik Kaum Milenial
Namun, pekerjaan yang baik bukan hanya soal bergaji sesuai ekspektasi. Studi oleh Harvard Business Review pada tahun 2016 memaparkan tiga aspek utama yang diinginkan milenial dalam mencari pekerjaan. Alasan yang paling diprioritaskan adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang. Milenial melihat pekerjaan bukan hanya sebagai sebuah keharusan rutinitas agar bisa mendapatkan uang tapi juga kesempatan untuk menjadi lebih baik melalui tantangan dan pengalaman yang ditawarkan sebuah pekerjaan
Aspek kedua adalah manajer yang perhatian dan memberikan banyak kesempatan. Manajer harus siap untuk berinvestasi dalam perkembangan milenial dengan cara fokus dalam memberikan evaluasi yang sifatnya konstruktif. Selain itu, fleksibilitas dalam hal jam kerja juga memberikan milenial kesempatan untuk merasa nyaman. Aspek terakhir yang diinginkan milenial adalah kualitas profesional dari manajemen perusahaan dimana proses komunikasi dan koordinasi dilakukan secara efisien.
Tingkat kesetiaan milenial terhadap perusahaan memang tergantung dari banyak faktor. Dan tidak semua milenial tidak setia. Riset tahun 2016 yang dilakukan oleh Resolution Foundation terhadap tenaga kerja milenial menunjukkan fenomena yang menarik. Di Inggris, milenial memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk setia kepada perusahaan karena memprioritaskan stabilitas pekerjaan. Namun, kesetiaan ini dianggap merugikan milenial, karena walaupun mereka bertahan dalam waktu yang lama kenaikan gaji hanya berada pada angka 0 sampai 4 persen sedangkan untuk mereka yang pindah pekerjaan kenaikan gaji mencapai 15 persen.
Walaupun ada tuduhan tidak setia, milenial diklaim memiliki optimisme terhadap fungsi sosial perusahaan. Menurut laporan Deloitte Millennial Survey 2017, sebanyak 76 persen milenial melihat bisnis sebagai sebuah entitas yang dapat berkontribusi terhadap perbaikan masyarakat di sektor ekonomi maupun lingkungan.
Survei Deloitte juga melihat persepsi milenial terhadap kondisi ekonomi di negaranya. Hanya 34 persen milenial di negara maju seperti Australia, Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris yang percaya bahwa kondisi ekonomi mereka akan lebih baik. Jika dibandingkan dengan milenial di negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, dan India, persepsi yang lebih optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi ditunjukkan oleh 57 persen milenial.
Meskipun begitu, kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi masih dirasakan oleh milenial di negara maju dan berkembang karena berbagai isu sosial-politik di sepanjang tahun 2016 seperti terorisme, ketimpangan sosial, dan korupsi. Kekhawatiran ini mencipatakan atmosfer ketidakpastian yang memengaruhi jenis pekerjaan yang ingin dilakukan oleh milenial. Sebanyak 65 persen milenial masih ingin untuk bekerja dalam kontrak penuh waktu dan hanya 31 persen milenial yang ingin bekerja sebagai freelance. Namun, setidaknya 38 persen milenial memang berencana untuk pindah setelah 2 tahun bekerja untuk suatu perusahaan.
Pada akhirnya, partisipasi dan performa buruk milenial dalam dunia kerja bukan karena milenial adalah generasi “malas” atau “manja” melainkan kombinasi dari berbagai faktor dari minimnya kesempatan untuk mengembangkan diri, realita gaji yang tidak sesuai ekspektasi maupun perubahan arah karier yang ingin diambil. Analisis perilaku milenial harus juga dilakukan dalam kerangka yang memperhatikan perubahan konteks sosial seperti perkembangan teknologi ataupun dampak isu politik dan isu sosial agar tidak berujung pada generalisasi sebuah generasi.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti