Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Rasuna Said, Politikus & Ulama Perempuan di Jalur Nasionalisme

Rasuna Said terlibat dalam gerakan perjuangan kemerdekaan sejak usia belasan tahun. Orator yang vokal menentang pemerintah kolonial.

Hajah Rangkayo Rasuna Said. tirto.id/Quita

tirto.id - Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan pernah menjadi penanda gaya hidup elite kaum urban. Pada awal 2000-an gedung perkantoran Menara Imperium membuka Empire Grill, restoran pertama di Jakarta yang bisa memutar seperti wahana komedi putar. Para tamu yang menikmati jamuan di lantai 35 itu bisa melihat lanskap Jakarta 360 derajat secara perlahan sambil duduk menyantap makanan dan minuman.

Pada masanya, resto dengan konsep fine dining tersebut jadi lokasi kencan favorit pasangan muda. Ada kalanya pula setengah ruang restoran disewa untuk perayaan ulang tahun ke-17 remaja Jakarta.

Kini resto putar itu telah tiada. Tapi Jalan H.R Rasuna Said tetap jadi lokasi sejumlah tongkrongan ikonik yang ada di antara deretan gedung perkantoran.

Dua tahun lalu Gama Tower diresmikan. Gedung tersebut adalah bangunan tertinggi di Indonesia. Bangunan 69 lantai itu difungsikan sebagai ruang kantor dan hotel bintang lima.

Lantai paling atas ditujukan sebagai tempat hiburan berupa bar semi terbuka dan restoran dengan bentuk ruang bundar. Sayangnya ruang tersebut tidak bisa berputar sebagaimana Empire Grill dan publik hanya bisa melihat sekelumit sisi lanskap Jakarta.

Ketika tren kopi artisanal muncul tiga tahun lalu, jalan ini jadi lokasi kedai kopi St.Ali, cabang pertama dari kedai kopi tersohor di area selatan Melbourne, Australia. Sejak dibuka pada akhir 2016, tempat itu seakan-akan jadi lokasi yang wajib dikunjungi para coffee aficionados.

Banyak dari mereka yang nongkrong di sepanjang Jalan H.R. Rasuna Said barangkali tidak mengetahui siapa orang yang namanya diabadikan jadi nama jalan itu. Padahal sosok ini sebenarnya tidak bisa dilewatkan begitu saja dalam catatan sejarah bangsa. Rasuna Said adalah orator vokal penentang Belanda, politikus ulung, sekaligus ulama perempuan.

Titik Krusial Perjuangan

Rasuna Said tercatat sebagai perempuan pertama yang dipenjara atas tuduhan penghinaan terhadap pemerintah kolonial.

Sally White dalam makalah bertajuk “Lioness of the Indonesian Independence Movement” (2013) mencatat pada Oktober 1932 Rasuna menyampaikan pidato di depan sejumlah perempuan anggota partai Persatuan Muslim Indonesia (Permi). Dalam pidatonya, Rasuna membahas langkah dan pola pikir yang bisa diterapkan oleh perempuan anggota partai untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Dalam pidato itu, Rasuna berkata:

“Manusia dilahirkan dengan kehendak bebas dan masyarakatlah yang memperbudaknya. [...] Bila kita tidak membela bangsa sendiri, lebih baik kita minta Allah untuk mencabut nyawa kita.”

Bagi Rasuna, imperialisme dan kolonialisme adalah musuh yang harus dibasmi. Ia mengimbau agar masyarakat Indonesia tidak bekerja sama atau bekerja untuk institusi milik pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah kolonial yang geram melihat aksi Rasuna menahannya atas dasar menyebar ujaran kebencian di depan publik. Ia diadili dan dijatuhi hukuman 15 bulan penjara.

Kabar soal pidato dan penangkapan Rasuna tersebar melalui media massa dan dibaca ribuan orang. Jumlah simpatisan Rasuna pun semakin besar. Kabarnya sekitar 1.500 orang hadir untuk memberi dukungan kepada Rasuna yang hendak diadili.

Ia memanfaatkan momen persidangan untuk menegaskan pemikiran-pemikiran terkait kemerdekaan Indonesia dengan harapan semangat para anggota partai dan masyarakat pada umumnya terhadap upaya pembebasan dari penjajahan tetap terjaga.

“Ucapan dalam pidato saya adalah tanda saya terus memegang janji bahwa waktunya akan tiba—Belanda akan kalah. Saya ingin menyalakan semangat 'orang-orang saya',” katanya dalam persidangan.

Rasuna akhirnya dijebloskan ke bui oleh pemerintah kolonial. Ketika berada dalam tahanan, ia sempat mengirim surat untuk salah satu temannya di Permi.

“Jika kita memenangkan pertarungan ini, kita akan mendapat dua keuntungan. Pertama, Indonesia akan bebas. Kedua, ada jaminan masuk surga dari Allah. Andaikata kita kalah, Indonesia tidak bebas tetapi surga tetap menunggu. Ini adalah keyakinan kita!” tulisnya dalam surat itu.

Agama dan Nasionalisme

Keterampilan pidato Rasuna ia dapat dari Haji Udin Rachmany, pendiri lembaga pendidikan Thawalib yang dikenal mengajarkan pola pikir progresif kepada para peserta didik. Udin adalah tokoh reformis yang mementingkan ajaran agama sekaligus keterlibatan dalam ranah politik.

Selama dua tahun, Udin melatih Rasuna soal keterampilan bicara di depan umum dan cara berdebat yang baik. Kedua hal itu penting bagi Rasuna yang senantiasa ingin terlibat dalam gerakan politik.

Pola pikir Rasuna memang tidak seperti mayoritas perempuan Minang pada zamannya. Ini hasil didikan sang ayah yang memperbolehkan Rasuna sekolah di pesantren meski ia jadi murid perempuan satu-satunya.

Buku Ulama Perempuan Indonesia (2002) mencatat bahwa usai menuntaskan sekolah dasar, Rasuna mengenyam pendidikan di Sekolah Diniyah. Pada 1910-an sekolah tersebut dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang membawa napas baru lantaran tidak semata mengajarkan agama. Satu dekade setelahnya, Diniyah melebarkan sayap dengan mendirikan sekolah khusus wanita. Motonya: perempuan harus bisa jadi pendidik di rumah, di sekolah, dan di masyarakat.

Rasuna adalah salah satu murid berprestasi di sekolah tersebut. Karena itu ia diminta mengajar siswa baru oleh para gurunya. Tapi menjadi guru tidak membuat Rasuna puas.

Anak saudagar itu lantas melanjutkan sekolah di lembaga pendidikan Thawalib. Sekolah tersebut khusus mengajarkan aspek teoretis dan filosofis dari ajaran agama Islam. Di sanalah pertemuan dengan Udin terjadi.

Orang-orang yang meyakini prinsip didikan Thawalib lantas mendirikan Permi. Rasuna tergabung di partai tersebut sebagai bendahara. Ia lalu menggagas sekolah Menjesal yang tujuannya melatih anak-anak di pelosok daerah agar bisa baca-tulis.

Sejak bergabung di Permi, Rasuna mulai sering jadi pembicara dalam berbagai forum. Ia tak pernah takut menyuarakan pendapat. Hasilnya, Rasuna sering dipaksa turun podium karena dianggap terlalu keras bicara.

Infografik Al Ilmu Hajjah rangkayo rasuna said

Infografik Al Ilmu Hajjah rangkayo rasuna said. tirto.id/Quita

Pasca-Penjara dan Kemerdekaan

Usai bebas dari penjara, Rasuna jarang tampil di muka publik. Ia memilih untuk berada di belakang layar dan mengurus majalah Raya. Majalah ini ditujukan untuk memotivasi kaum muda Minang agar terus berjuang agar terbebas dari penjajahan.

Peredaran Raya mendapat intimidasi dari pemerintah kolonial. Ini membuat sebagian anggota Permi merasa takut dan tidak berani bertindak. Sikap itu bikin Rasuna kecewa. Ia lantas memilih untuk pindah ke Medan dan mendirikan Menara Poeteri, majalah yang membahas tentang peran perempuan dalam Islam dan nasionalisme.

Setelah Indonesia merdeka, keinginan Rasuna untuk terlibat dalam ranah politik tidak menyurut. Ia sempat mengetuai Front Pertahanan Nasional, organisasi yang didirikan Mohammad Hatta. Pada 1947 ia kemudian jadi anggota badan legislatif. Menurut beberapa sumber, Sukarno dikabarkan sangat mengagumi Rasuna karena kepiawaiannya dalam berpolitik.

Rasuna meninggal pada 2 November 1965 di Jakarta. Sembilan tahun kemudian, pada 1974, pemerintah Orde Baru memberinya gelar Pahlawan Nasional karena dianggap konsisten memperjuangkan semangat nasionalisme, ajaran Islam, dan kesejahteraan perempuan.

Suatu kali Rasuna pernah menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa adalah segalanya. Bahkan, katanya, lebih penting dari relasi pernikahan.

==========

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Humaniora
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Ivan Aulia Ahsan