tirto.id - Situasi Papua memanas usai KPK menetapkan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai tersangka pada 14 September 2022. Tak hanya Enembe, komisi antirasuah juga menetapkan Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak dan Bupati Mimika, Eltinus Omaleng sebagai tersangka kasus korupsi.
Penetapan Enembe sebagai tersangka ini membuat sebagian masyarakat protes. Mereka yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Papua melakukan aksi unjuk rasa di Jayapura pada Selasa (20/9/2022). Sekitar 2.000 personel TNI-Polri pun disiagakan untuk mengamankan aksi tersebut.
Selain itu, tokoh masyarakat juga ikut membela Enembe. Salah satu yang lantang adalah Gembala DR A.G. Socratez Yoman. Berdasarkan rilis yang diterima Tirto, Sabtu (17/9/2022), ia menyebut banyak Penduduk Orang Asli Papua (POAP) terjebak skenario jahat pemerintah. Ia juga sebut penetapan tersangka para kepala daerah sebagai upaya penguasa dalam menghancurkan pilar POAP.
“Saya mau sampaikan, bahwa kriminalisasi para pemimpin Papua seperti: Lukas Enembe gubernur Papua, Eltimus Omaleng bupati Mimika, Ricky Ham Pagawak bupati Mamberamo Tengah, Barnabas Suebu, John Ibo, dan masih banyak yang lain, ini bagian dari siasat penguasa Indonesia untuk menebang dan melumpuhkan semua pilar-pilar penting dan kuat bagi POAP. Cara penguasa kolonial yang paling efektif ialah kriminalisasi dengan tuduhan korupsi,” kata Socratez dalam keterangannya.
Pemerintah pun tidak tinggal diam terkait anggapan adanya kriminalisasi tersebut. Menkopolhukam, Mahfud MD menegaskan, kasus Lukas Enembe bukan kasus politis, tapi murni penegakan hukum.
“Tidak ada kaitannya dengan parpol atau pejabat tertentu, melainkan merupakan temuan dan fakta hukum dan ingin saya sampaikan bahwa dugaan korupsi yang dijatuhkan kepada Lukas Enembe yang kemudian menjadi tersangka bukan hanya terduga, bukan hanya gratifikasi Rp1 miliar,” kata Mahfud dalam keterangan pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Senin (19/9/2022).
Mahfud menyinggung bahwa ada dugaan ketidakwajaran keuangan Enembe yang mencapai ratusan miliar. Ia juga menyinggung bahwa kasus Enembe bukan hanya soal gereja, tapi juga berkaitan dana PON hingga aksi dugaan pencucian uang.
Mahfud MD pun menegaskan bahwa kasus Enembe sebagai satu dari 10 kasus korupsi besar di Papua pada 2020.
Karena itu, Mahfud MD, mewakili pemerintah, meminta Lukas Enembe untuk hadir dalam pemeriksaan komisi antirasuah. Ia pun menjamin ada upaya penghentian perkara bila tidak ada unsur pidana.
“Jika tidak cukup bukti, kami ini semua yang ada di sini menjamin dilepas, nggak ada, dihentikan itu, tapi kalau cukup bukti, ya harus bertanggung jawab karena kita sudah bersepakat membangun Papua yang bersih dan damai sebagai bagian dari program pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Mahfud.
Di saat yang sama, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menegaskan, kasus Enembe murni penegakan hukum. Ia meminta agar Enembe kooperatif. Alex juga menjanjikan penghentian perkara jika tidak ada unsur pidana serta pemenuhan hak tersangka seperti hak pengobatan.
“Jadi tidak benar hanya Rp1 miliar. Pada penasihat hukum dari Pak Lukas Enembe, kami mohon kerja samanya, kooperatif, KPK berdasarkan undang-undang yang baru ini bisa menghentikan penyidikan, dan menerbitkan SP3,” kata Alex.
Alex menambahkan, “Kalau nanti dalam proses penyidikan Pak Lukas itu bisa membuktikan dari mana sumber uang yang ratusan miliar tersebut, misalnya Pak Lukas punya usaha tambang emas, ya sudah. Pasti nanti akan kami hentikan, tapi kami mohon itu diklarifikasi, penuhi undangan KPK, panggilan KPK untuk diperiksa.”
Socratez lantas merespons pernyataan Mahfud MD dan KPK. Dalam pendapat terbaru, Socratez menyinggung soal posisi KPK yang sudah 'tamat'. Ia beralasan, independensi dan kedaulatan KPK 'dimutilasi' saat konferensi pers bersama pemerintah.
Sementara itu, kuasa hukum Lukas Enembe, Alyosius Renwarin membantah kondisi Papua memanas seperti klaim Mahfud. “Save Lukas berati Lukas dalam keadaan aman, damai. Jadi tidak ada gosip-gosip Papua yang memanas. Ini dalam kondisi damai, orang Papua sejak zaman dulu itu cinta damai,” kata Aloysius saat dihubungi, Selasa (20/9/2022).
Aloysius mengatakan, aksi warga adalah permintaan mereka agar Lukas Enembe tidak dikriminalisasi. Ia mengingatkan, Enembe punya peran besar dalam pembangunan Papua selama 10 tahun terakhir.
Aloysius menambahan, aksi "Save Lukas" tersebut merupakan bukti kecintaan masyarakat Papua terhadap Lukas Enembe. Masyarakat, menurut Aloysius, tak terima atas penetapan tersangka terhadap Lukas tanpa melalui proses pemeriksaan.
Mengapa Masyarakat Masih Ada yang Dukung Tersangka Korupsi?
Dukungan warga terhadap tersangka kasus korupsi seperti Lukas Enembe ini bukan hal yang pertama terjadi. Pada 2012, KPK juga sempat mendapatkan perlawanan dari masyarakat saat menangkap Bupati Buol kala itu, Amran Batalipu.
Namun, Amran berakhir ditangkap dan diproses secara hukum dalam kasus dugaan suap pengurusan izin perusahaan kelapa sawit di Buol yang berhubungan dengan pengusaha Hartati Murdaya Poo.
Selain itu, ada juga dukungan serupa seperti kisah di Tulungagung, Jawa Timur. Pada saat Pilkada 2018, Bupati Tulungagung, Syahri Mulyo ditetapkan sebagai tersangka, tapi ia justru memenangkan pilkada. Padahal, Syahri sudah mendekam di penjara ketika pemilihan berlangsung.
Pegiat antikorupsi dari Pukat UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman tidak memungkiri bahwa ada sikap kontradiktif di masyarakat ketika menyikapi kepala daerah mereka ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Di satu sisi, masyarakat tidak ingin ada korupsi, tapi ada pula kelompok yang membela para koruptor tersebut.
“Hampir semua survei masyarakat menganggap korupsi [adalah] masalah serius yang harus diberantas. Tidak ada masyarakat yang mendukung korupsi. Namun, jika ada tokoh yang didukung menjadi tersangka korupsi, ada saja kelompok pembela. Misalnya mengatakan bahwa kasus tersebut rekayasa, dijebak lawan politik,” kata Zaenur kepada Tirto, Selasa (20/9/2022).
Zaenur menuturkan, kasus Buol dan Tulungagung adalah contoh anomali tersebut. Ia menduga ada beberapa alasan dukungan publik tetap ada, meski orang yang didukung berstatus tersangka korupsi.
Hal itu terjadi, kata Zaenur, faktor pertama karena kepala daerah tersebut punya pengaruh kuat, termasuk bidang ekonomi dan sumber daya. Masyarakat bergantung pada pengaruh tersebut sehingga mendukung pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
Faktor kedua, kesamaan latar belakang antara tersangka dengan pendukung. Latar belakang bisa berupa suku, organisasi kemasyarakatan hingga organisasi keagamaan. Kesamaan latar belakang membuat masyarakat mendukung koruptor.
Faktor ketiga yang juga menjadi pemicu adalah upaya tersangka dalam memelihara konstituen. Beberapa upaya pemeliharaan tersebut bisa lewat politik uang atau kebijakan yang menguntungkan pendukung. Faktor keempat adalah tersangka punya jaringan elite penggerak kelompok massa. Ia tidak memungkiri juga ada opsi massa tersebut adalah bayaran.
Faktor kelima yang juga bisa jadi pertimbangan adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hukum. Faktor keenam yang juga berpotensi jadi pemicu adalah akibat situasi penegakan hukum yang tidak adil.
“Mungkin juga masyarakat tidak terlalu percaya sistem hukum akan mewujudkan keadilan. Biasanya masyarakat berpikir bahwa yang melakukan korupsi banyak pejabat, tetapi hanya pihak tertentu yang diproses hukum," kata Zaenur.
Zaenur menilai perlu ada sejumlah langkah bila kejadian Lukas Enembe dan kejadian perlindungan masyarakat kepada tersangka korupsi tidak terulang. Pertama, perlu pendidikan antikorupsi yang kuat dan konsisten kepada masyarakat.
Masyarakat, kata dia, perlu diberi pemahaman bahwa korupsi berarti mengambil uang rakyat sehingga perlu perlawanan. Kedua, kata Zaenur, adalah pemberantasan politik uang yang perlu digalakkan dan terakhir penegakan hukum secara adil.
Sementara itu, pengajar komunikasi politik di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Silvanus Alvin menilai, fenomena Enembe yang didukung meski berstatus tersangka korupsi tidak bisa dinilai sembarangan. Ia sebut perlu ada kajian komprehensif sebelum menentukan kejadian Enembe sebagai fenomena politik tertentu.
Akan tetapi, Alvin menduga, situasi Enembe terjadi karena perlakuan Enembe kepada warga Papua selama ini. “Salah satu asumsi, bisa saja kelompok masyarakat yang mendukung merasa diayomi dan dilayani selama ini oleh Lukas Enembe sehingga ketika krisis melanda, ada upaya balas budi dari kelompok masyarakat ini,” kata Alvin.
Alvin menilai, fenomena balas budi tidak lepas dari situasi post-truth yang terjadi di Indonesia saat ini. Post truth mengakibatkan ada fenomena fabrikasi kebenaran. Pada akhirnya, kelaziman berubah menjadi abu-abu karena bisa saja akibat informasi yang kurang berimbang atau kurang diperhatikan atau dilayani oleh individu lainnya.
“Oleh karena itu edukasi pendidikan politik itu penting, agar publik secara umum punya benteng logika dan norma untuk menilai baik-buruk dari sebuah tindakan dengan benar,” kata Alvin.
Alvin pun menilai aksi Mahfud MD dan jajaran memberikan sinyal pemerintah pro pemberantasan korupsi. Mereka berupaya memberikan keterangan sebagai upaya menyajikan fakta dan data yang sulit dipatahkan kepada masyarakat.
“Langkah Mahfud ini penting karena memberi kesan bahwa pemerintah pusat itu concern dan serius untuk pemberantasan korupsi,” kata Alvin.
Menurut Alvin, peran kelompok masyarakat yang mendukung tersangka korupsi masih dianggap wajar selama tidak mengganggu proses hukum. Ia mengingatkan masyarakat bisa menentukan sikap mereka berdasarkan pemikiran mereka sendiri.
“Tentunya kita tidak bisa membatasi pemikiran seseorang dan langsung cap kelompok tertentu sebagai sisi yang salah. Bisa saja mereka belum mendapat informasi utuh, tapi dibahasakan mendukung,” kata Alvin.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz