tirto.id - Majelis Komisi Kode Etik Polri memberhentikan tidak hormat eks Wakil Direktur Tindak Pidana Umum Polda Metro Jaya, AKBP Jerry Raymond Siagian. Hal ini karena ia terbukti tidak profesional dan melakukan perbuatan tercela dalam perkara kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Jerry mengajukan banding atas putusan tersebut. Kemudian muncul isu jika Polda Metro Jaya siap memberikan bantuan hukum kepada Jerry, tapi polisi meluruskan perihal rencana itu. Polda Metro Jaya menegaskan tunduk dan menghormati keputusan Mabes Polri terkait sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bagi Jerry.
“Perlu saya luruskan, narasi seperti [itu] tidak benar. Polda Metro tidak melawan Mabes Polri," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Endra Zulpan dalam keterangan tertulis, Kamis, 15 September 2022. Artinya, Polda Metro Jaya taat kepada putusan majelis hakim.
“Yang dimaksud pendampingan hukum, dia menyatakan banding. Artinya perlu pendampingan hukum. Memang dibenarkan apabila dia tidak bisa menyewa pengacara, itu ada Divisi Hukum Mabes Polri [yang memberikan bantuan]” sambung Zulpan.
Divisi Hukum Mabes Polri juga bisa memerintahkan Bidang Hukum Polda Metro Jaya, sebagai satuan di bawahnya, untuk memberikan bantuan hukum kepada Jerry.
Dalam kasus obstruction of justice atau penghalangan proses hukum perkara kematian Yosua, Jerry diduga melanggar kode etik kategori berat akibat tidak profesional menjalankan tugasnya, yakni ketika menindaklanjuti dua laporan yang dibuat pihak Irjen Pol Ferdy Sambo, si otak pembunuhan.
Laporan kesatu ihwal dugaan pelecehan seksual istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi; dan laporan kedua perihal percobaan pembunuhan Bharada Richard Eliezer oleh Brigadir Yosua. Lantaran perbuatannya, Jerry dijerat Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun juncto Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 6 ayat (1) huruf g, Pasal 8 huruf e (1), Pasal 10 ayat (1) huruf f, dan/atau Pasal 11 ayat (1) huruf a Peraturan Polri Nomor 7 tahun 2022.
Tiada Batasan, Potensi Semau-maunya
Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi menyatakan, ada problem dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Dalam Perkap 2/2017, bantuan hukum diberikan kepada orang-orang tertentu. Bantuan hukum untuk tindakan apa [tidak disebutkan]” kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Kamis, 15 September 2022.
Pada Pasal 3 ayat (1) Perkap 2/2017 menyebutkan, yang berhak mendapat bantuan hukum yaitu institusi Polri, satuan fungsi/satuan kerja, pegawai negeri pada Polri, dan keluarga besar Polri.
Ayat (2) merincikan penerima bantuan dari keluarga besar Polri, antara lain: keluarga pegawai negeri pada Polri, purnawirawan Polri, pensiunan Pegawai Negeri Sipil Polri, warakawuri, wredatama, dan duda/janda dari anggota Polri/Pegawai Negeri Sipil Polri.
Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bantuan hukum menjadi tanggung jawab Kepala Divisi Hukum Polri/Kepala Bidang Hukum Kepolisian Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Bagian Bantuan dan Nasihat Hukum Divisi Hukum Polri/Kepala Subbidang Bantuan Hukum Kepolisian Daerah; dan/atau Kepala Bagian Penerapan Hukum Divisi Hukum Polri/Kepala Subbidang Bantuan Hukum Kepolisian Daerah/Kepala Urusan Penerapan Hukum.
“Perkap ini tidak jelas, kalau ditelusuri ada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003,” sambung Fachrizal.
Peraturan Pemerintah itu perihal Pelaksaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. [PDF]
Pasal 13 ayat (2) PP 3/2003 tegas mencantumkan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menyediakan tenaga bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kepentingan tugas.”
“Kalau di luar tugas resmi, tidak boleh [mendapatkan bantuan hukum]. Apakah termasuk lingkup tugasnya [melakukan] obstruction of justice? Seharusnya Perkap 2/2017 dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah ini,” ujar Fachrizal.
Secara normatif, seluruh anggota Polri berhak mendapatkan bantuan hukum, tapi Perkap 2/2017 tersebut memberikan hak yang terlalu luas bagi mereka.
Merujuk pada Pasal 6 Perkap 2/2017, para terduga pelanggar itu mengajukan permohonan bila ingin didampingi oleh bantuan hukum Korps Bhayangkara. Artinya, bila si pelanggar tak mengajukan permohonan, maka ia tak bisa mendapatkan pendamping.
Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti berkata, berdasar Pasal 1 hingga Pasal 5 Perkap 2/2017, pada umumnya orang-orang yang berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 3 dapat mengajukan permohonan bantuan hukum.
“Untuk anggota Polda, maka berdasarkan Pasal 5 akan didampingi Bidkum Polda, jika yang bersangkutan mengajukan permohonan bantuan hukum,” kata Poengky saat dihubungi reporter Tirto.
Namun dalam perkara Jerry, Polda Metro Jaya seolah hanya memberikan bantuan hukum kepadanya. Poengky bilang, “Mohon dicek ke Kabid Humas Polda Metro, apakah yang mengajukan permohonan bantuan hukum hanya Jerry?”
Polisi Kudu Paham Aturan
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mencermati pemberian bantuan hukum ini merujuk Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 105 ayat (2) Perpol 7/2022 menyebutkan pendamping terduga pelanggar wajib:
a) Memiliki surat kuasa dari terduga pelanggar dan/atau surat perintah dari Kepala Satuan Kerja;
b) Memberikan saran dan pertimbangan hukum kepada terduga pelanggar;
c) Menyusun dan membacakan nota pembelaan dalam Sidang KKEP;
d) Membela hak-hak terduga pelanggar; dan
e) Menyusun dan menyampaikan memori banding.
“Ini harus dipahami, bukan institusi subordinasi Polri yang melakukan pendampingan, tapi pihak di luar institusi Polri. Jadi aneh dan ironi bila sebuah kebijakan, dalam hal ini Sidang KKEP, sebagai majelis kode etik profesi Polri berhadapan dengan salah satu institusi di dalam Polri,” kata Bambang kepada Tirto, Kamis (15/9/2022).
Ada dua kemungkinan yang muncul —cum asumsi logis publik— yaitu Kapolda Metro Jaya melindungi mantan anak buahnya, yang juga berarti ikut serta dalam upaya rekayasa kasus; dan melakukan pembangkangan kepada Kapolri yang berupaya membangun kepercayaan publik yang rusak karena perilaku personel.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz