tirto.id - DPRD DKI Jakarta resmi menetapkan tiga kandidat penjabat gubernur pengganti Anies Baswedan pada Selasa, 13 September 2022. Ketiganya adalah Sekretaris Daerah Provinsi DKI, Marullah Matali; Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono; dan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar.
Pemilihan nama dilakukan berdasarkan voting. Nama tertinggi yaitu Marullah dan Heru sebanyak sembilan vote, dan Bachtiar enam vote. Selain tiga nama tersebut, ada nama Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro, tapi tidak lolos tiga besar.
“Jadi nama yang tersaring, pertama Heru Budi Hartono, Marullah Matali, dan Bahtiar," kata Ketua DPRD DKI, Prasetio Edi Marsudi.
Politikus PDIP tersebut mengatakan, ketiga nama tersebut akan diusulkan ke Kementerian Dalam Negeri. Dari ketiga nama itu, Presiden Jokowi akan memilih sebagai penjabat gubernur menggantikan Anies Baswedan yang masa jabatannya berakhir Oktober 2022.
Sehari sebelumnya, Prasetio mengaku bahwa DPRD DKI sudah mengumumkan mekanisme penentuan tiga nama kandidat penjabat gubernur. Ia pun mengaku ada kriteria yang dipatok DPRD dalam pemilihan ketiga kandidat tersebut.
“Harus mengerti masalah Jakarta, komunikasi yang baik, karena masih banyak sekali PR-PR di Jakarta yang belum terlaksana. Ya salah satu contohnya masalah banjir. Setiap gubenur itu kalau di pilkada, janjinya hulu hilir dibereskan. Nah itu konsentrasi kita,” kata Prasetio.
Ia menambahkan, “Jadi siapapun penjabatnya, kita harus tekankan di masalah banjir dan macet itu. Setelah misalkan banjir dan macet ini terukur semua, dari hulu dan hilirnya, itu kan pasti Jakarta masih ada banjir. Nah ini juga harus dipikirkan juga bagaimana solusinya," tutur Prasetio.
Prasetio juga mengaku sempat ada pertemuan dengan Presiden Jokowi dalam pembahasan penjabat gubernur beberapa waktu lalu. Ia mengaku Jokowi punya nama dalam pengusulan penjabat gubernur DKI Jakarta dalam pertemuan dirinya dengan Jokowi.
“Ya punya nama-nama sendiri, jadi kemarin kami dipanggil oleh presiden untuk menanyakan apakah Pak Presiden mengetahui dan ternyata diketahui oleh presiden dan terus kita sebagai anggota dewan adalah perwakilan rakyat karena kita dipilih oleh rakyat," tutur Prasetio.
“Nama-namanya siapa, ya silakan dituangkan nanti DPRD memutuskan. Tapi semua keputusan ada di mendagri dan presiden," lanjut Prasetio.
Jokowi yang Menentukan
Pendiri lembaga survei KedaiKopi, Hendri Satrio menilai, pemilihan tiga nama kandidat penjabat gubernur yang dilakukan DPRD DKI bisa saja sia-sia. Sebab, Kemendagri akan memasukkan lagi 3 nama sehingga Jokowi harus memilih satu dari 6 nama yang terdiri dari usulan DPRD dan Kemendagri.
“Jadi presiden akan memilih satu dari enam nama. Makanya sejak awal saya katakana, ini di mana demokratisnya kalau kemudian ujung-ujungnya adalah penetapan,” kata pria yang akrab disapa Hensat itu kepada reporter Tirto.
Hensat menambahkan, “Makanya menurut saya kalau ingin ada unsur demokratisnya, harusnya Pak Jokowi justru memilih yang diusulkan oleh DPRD. Minimal ada mekanisme ketemu rakyatnya. Kalau tiga nama yang diusulkan Kemendagri, kan, enggak ketemu rakyat,” kata dia.
Menurut Hensat, nama yang dipilih DPRD tidak jadi soal meski DPRD sempat bertemu dengan Jokowi tentang kriteria penjabat gubernur Jakarta. Ia beralasan, ada mekanisme demokrasi yang dilalui dengan melibatkan rakyat melalui wakil rakyat daripada tidak sama sekali.
Hensat juga menilai pemilihan penjabat gubernur harus tidak membawa kepentingan politik, meski ketiga kandidat tersebut punya pendukung politik kuat. Heru Budi misal yang dekat dengan Presiden Jokowi, Marullah dekat dengan Wapres Maruf Amin, dan Bahtiar adalah anak buah Mendagri Tito Karnavian.
Selain itu, Hensat menilai, tidak masalah bila kandidat penjabat gubernur di masa depan mendeligitimasi pekerjaan Anies selama ini. Ia mengingatkan bahwa Anies bekerja sama dengan DPRD DKI dalam penyusunan program. Jika penjabat gubernur mendeligitimasi pekerjaan Anies, maka rakyat bisa marah lantaran Anies dipilih rakyat lewat pilkada.
Sementara itu, peneliti politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno menegaskan, pemilihan penjabat gubernur DKI tidak seharusnya melibatkan DPRD. Adi menilai, pemilihan ketiga nama yang dilakukan DPRD tidak membawa dampak karena ujung pemilihan ada di tangan Presiden Jokowi.
“Itu murni otoritas presiden sebagai pemerintah yang bisa menunjuk [penjabat],” kata Adi kepada reporter Tirto, Selasa (13/9/2022).
Adi mengatakan, “Ini murni kewenangan Jokowi sebagai presiden. Jadi DPRD sekeras apa pun mengusulkan nama-nama itu, kalau tidak masuk selera pemerintah, tidak masuk selera presiden, ya wassalam,” kata dia.
Adi juga menilai, pertemuan Prasetio dengan Jokowi tidak memiliki dampak apa pun dalam sikap presiden menentukan penjabat gubernur. Ia sebut tidak akan ada pihak yang bisa memengaruhi Jokowi karena wewenang memilih penjabat gubernur ada di tangan presiden.
Adi justru mendorong agar DPRD dan Kemendagri untuk melakukan tes penjaringan dalam penentuan penjabat gubernur daripada rapat-rapat seperti yang digelar DPRD atau usulan internal Kemendagri.
“Mestinya DPRD itu atau Kemendagri bikin semacam penjaringan, beauty contest lah mencari sosok-sosok yang sesuai selera rakyat, bukan hanya selera elite,” kata Adi.
Adi menilai, Jokowi akan memilih kandidat penjabat gubernur DKI yang tidak menyinggung kebijakan Anies. Ia justru yakin Jokowi akan memilih penjabat gubernur yang penting bisa patuh dengan arah pemerintah saat ini.
“Yang jelas yang akan jadi pengganti Anies itu adalah orang-orang yang pasti sejalan dan senapas dengan pemerintah [pusat]. Tidak protes dan tidak berbeda seperti Anies. Kan, selama ini Anies selalu ingin berbeda dengan pemerintah. Penggantinya Anies dipastikan tegak lurus terhadap pemerintah. Itu aja," kata Adi.
Dosen politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah menilai, masa transisi kepemimpinan DKI Jakarta berlebihan. Senada dengan Adi, Dedi meningatkan bahwa DPRD tidak punya wewenang penuh dalam pengusulan penjabat gubernur.
“Bagaimanapun mendagri yang seharusnya mengusulkan, bukan DPRD. DPRD DKI Jakarta dalam hal ini terlalu over kuasa, dan membuat anomali politik,” kata Dedi.
Dedi menilai, aksi Prasetio bertemu Jokowi justru memicu prasangka tertentu di tengah masyarakat dalam proses transisi kepala daerah di Jakarta. Ia khawatir, pertemuan tersebut punya makna tertentu.
“Ada potensi dari pertemuan itu, jika skenario penunjukan pj gubernur hanya formalitas, dan kental nuansa akomodasi pada pihak tertentu demi kepentingan tertentu pula," kata Dedi.
Dedi pun mengakui bahwa ada dampak politik dari upaya sidang pemberhentian. Ia menilai tidak ada dampak signifikan secara politik bagi Anies dari sisi pemberhentian sebagai gubernur. Akan tetapi, ada upaya politik untuk membangun narasi yang mengarah pada penjatuhan citra Anies.
“Dampak ke Anies tidak signifikan, kecuali narasi soal pemberhentiannya, jangan sampai DPRD berpolitik dengan membangun narasi Anies diberhentikan, padahal bukan itu yang terjadi," kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz