tirto.id - “Agak berat, harus minta tambahan ongkos buat kuliah karena sekarang Rp10.000/hari kurang.” Demikian keluh kesah Siti Aminah (19 tahun), mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Kota Bandung.
Cerita Siti Aminah mungkin hanya jadi satu di antara banyak penumpang bus di beberapa daerah yang mengeluhkan ongkos naik bus usai pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM subsidi. Sebab, hal itu langsung berimbas pada biaya operasional bus dan transportasi umum yang menggunakan solar bersubsidi.
Dalam perbincangannya dengan reporter Tirto, perjalanan sejauh 26 km dilakukan Siti Aminah setiap hari menggunakan trayek Damri Cibiru Bandung – Tanjung Sari Sumedang.
Perjalanan yang dilakukan Siti Aminah dari rumahnya di Sumedang menuju ke Cibiru, Kota Bandung untuk kuliah membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kenaikan tarif membuat beban Siti Aminah menjadi lebih berat.
Ia menjelaskan, kenaikan tarif bus sudah diraskan sejak Kamis (8/9/2022). Ia harus meminta uang lebih banyak kepada orangtuanya karena uang jajan yang biasa ia dapatkan Rp15.000/hari saat ini tidak cukup untuk membeli makan siang, hanya cukup untuk bayar ongkos perjalanan.
Jika sebelumnya ongkos dari rumah ke kampus Rp10.000, saat ini ia harus membayar Rp14.000 untuk sehari.
“Pekan lalu, kan, masih Rp5.000 ya, sekarang sudah Rp7.000,” kata dia.
Keluhan serupa dikatakan mahasiswi UIN lainnya, Mayang Phasa Auliya Malik (18 tahun). Meskipun belum terjadi kenaikan tarif Damri untuk Trayek Elang Lewi Panjang– Cibiru, tapi ia mengaku takut ditagih lebih oleh kondektur saat tidak ada uang lebih.
“Bus Damri harganya tetap sama Rp4.000 rupiah jauh dekat, belum ada kenaikann sampai saat ini, tapi sepertinya akan naik. Kalau naik jadinya harus motong dari uang makan, karena uang saku tetap enggak naik,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (8/9/2022).
Pengalaman serupa dialami Rivaldi (38 tahun). Ia bercerita pengalamannya naik bus dari Yogyakarta ke Surabaya pada Rabu, 7 September 2022. Ia harus membayar lebih mahal dari yang biasa dibayar sebelum harga BBM subsidi naik.
“Dulu [bus] Patas cuma Rp120.000 Yogyakarta ke Surabaya. Semalam saya naik ekonomi Rp155.000,” kata Rivaldi pada Kamis (8/9/2022).
Tarif Bus AKAP Naik Imbas Harga BBM
Kenaikan tarif ini sudah dibeberkan Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI), Kurnia Lesani Adnan. Ia sebut, seluruh tarif bus antar kota dan provinsi (AKAP) sudah mengalami kenaikan harga sejak Senin, 5 September 2022.
Kondisi tersebut dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan biaya operasional setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM solar subsidi dari sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter, Pertamax non-subsidi atau RON 92 dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.
“Jadi kami mulai hari ini sampai seterusnya melakukan penyesuaian tarif tiket. Penyesuaian yang kita lakukan itu 25-35 persen dari tarif yang berlaku,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (5/9/2022).
Ia mencontohkan untuk tiket Jakarta-Solo Raya yang biasanya dijual dengan harga Rp210.000, saat ini naik menjadi Rp260.000. Kenaikan terjadi sekitar Rp50.000 untuk bus jarak jauh, Rp50.000-80.000 untuk jarak dekat.
“Solo-Jakarta dan sebalikanya itu naik jadi Rp250.000-260.000," jelas dia.
Ia mengatakan, kenaikan solar berimbas secara langsung ke biaya operasional, sehingga opsi kenaikkan harga tiket tidak bisa dihindari. Permasalahan tidak selesai sampai di sana. Sebab, sejak awal 2022 sampai hari ini pihaknya harus mengeluarkan biaya lebih besar di sparepart.
“Itu sudah terjadi gila-gilaan. Jadi kami untuk spareparts ya, untuk suku cadang itu, ban, oli dan bahan sparepart lainnya misalnya, sampai naik 15 persen, kemudian ditambah juga tax [pajak] naik ya kemarin PPN," jelas dia.
Karena itu, kata dia, sebetulnya kenaikan harga tiket yang seharusnya ditanggung konsumen naik 50-60 persen. Namun mengingat daya beli masyarakat saat ini belum pulih imbas pandemi, maka pihaknya hanya menaikkan tiket di angka 25-30 persen.
Memukul Kelas Menengah Rentan
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menjelaskan, kenaikan harga BBM bersubsidi secara langsung akan memukul kelas menengah rentan dan perekonomian nasional.
“Kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat, terutama jenis Pertalite. Masyarakat jelas belum siap menghadapi kenaikan Pertalite menjadi Rp10.000 per liter. Dampaknya Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja,” kata dia kepada Tirto.
Bhima sebut, selain harus menghadapi lonjakan harga dari tarif transportasi umum, masyarakat juga harus berhadapan dengan inflasi bahan makanan yang masih tercatat tinggi pada Agustus, yakni 8,55% year on year, dan akan bakal makin tinggi.
“Masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya. Karena BBM ini kebutuhan mendasar, ketika harganya naik, maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak,” kata Bhima.
“Pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan, tentu risiko ambil jalan pintas dengan lakukan PHK massal,” kata Bhima menambahkan.
Adapun, bansos yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu 4 bulan, tidak akan cukup dalam mengompensasi efek kenaikan harga BBM. Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga Rp7.650 per liter, sekarang Rp10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin.
“Data orang rentan miskin ini sangat mungkin tidak tercover dalam BLT BBM karena adanya penambahan orang miskin paska kebijakan BBM subsidi naik. Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat,” jelas dia.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M Kholid Syeirazi mengatakan, menaikkan harga BBM merupakan kebijakan yang sulit dihindari pemerintah, ketika harga minyak dunia terus berada dikisaran 100 dolar AS per barel seperti saat ini.
“Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi ini adalah 'pil pahit' yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara," ujarnya seperti dikutip Antara.
Dalam Kajian Strategis Ekonomi Nasional bertajuk “Alokasi Anggaran dan Komoditas BBM untuk Hajat Rakyat, Telaah Kritis dan Obyektif Kenaikan Harga” yang digelar PB PMII, Kholid menyatakan masyarakat khususnya mahasiswa masih terjebak pada opini populis dalam menyikapi kenaikan harga BBM.
Sehingga, kata dia, cenderung mengabaikan fakta obyektif kondisi keuangan negara, nilai tukar rupiah, dan krisis energi global.
Menurut dia, konflik antara Rusia dan Ukraina telah membuat produksi dan pasokan minyak mentah dari kedua negara terhambat, sehingga terjadi kenaikan harga minyak dunia.
Harga minyak dunia sempat mencapai 140 dolar AS per barel, sedangkan asumsi ICP (Indonesian Crude Price) yang menjadi patokan APBN adalah 105 dolar AS per barel, sehingga harga keekonomian BBM di dalam negeri pun mengalami kenaikan.
Dengan asumsi ICP di 105 dolar AS per barel, kata Kholid, harga keekonomian BBM jenis Pertalite mencapai Rp14.000 per liter. Jika harga Pertalite tidak dinaikkan dan tetap Rp7.650 per liter, maka ada sejumlah Rp6.350 per liter yang harus disubsidi pemerintah.
Dikalikan kuota Pertalite 2022 sebesar 23 juta kiloliter, maka jumlah yang harus disubsidi mencapai ratusan triliun rupiah. Ia sebut, itu baru Pertalite, belum lagi solar yang juga harus disubsidi pemerintah.
“Kalau tidak direm, anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah bisa mencapai hampir Rp700 triliun. Duit segitu sudah hampir melampaui belanja infrastruktur,” ujar dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz