tirto.id - Isu tidak sedap tentang ketidakharmonisan antar-jenderal TNI di era Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mencuat. Hal itu terungkap usai Anggota DPR Komisi I DPR, Effendi Simbolon menyoal kondisi internal TNI dalam rapat dengan Panglima TNI, tiga kepala staf, dan Kementerian Pertahanan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Semua berawal ketika Effendi menyinggung ketidakhadiran KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurrahman dalam setiap rapat DPR bersama Panglima Andika.
“Kita semua yang hadir ini dan kita hadir di sini untuk mendapatkan penjelasan dari Panglima TNI, dari KSAD, bukan dari Wakasad dan dari Menhan, dalam kaitannya ada apa yang terjadi di tubuh TNI ini?” kata Effendi dalam rapat kerja DPR RI pada Senin (5/9/2022).
Politikus PDIP itu lantas bercerita bahwa DPR menemukan sejumlah masalah di tubuh TNI di ketiga matra. Ia pun menyindir TNI tidak lagi seperti lembaga yang satu, melainkan gerombolan ormas yang lebih besar daripada ormas.
“Kami banyak sekali temuan-temuan ini, disharmoni, ketidakpatuhan, ini TNI kaya gerombolan ini, lebih-lebih ormas jadinya, tidak ada kepatuhan,” kata dia.
Ia menambahkan, “Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Saya ingin mendapatkan penjelasan dari bapak-bapak yang dapat amanah, dapat kepercayaan dari presiden, dari kami. Seperti apa yang terjadi di tubuh TNI.”
Effendi menyinggung beberapa masalah. Pertama, ia melihat masalah hubungan Andika dengan KSAL Laksamana Yudo Margono yang belum selesai. Ia khawatir, masalah tersebut akan berimplikasi ke matra lain. Ia pun menyinggung isu aksi kekejaman TNI terhadap warga Papua.
“Khusus isu aktual, bukan hanya mutilasi. Adanya pembakaran daripada mayat-mayat di Papua. Yang menjadi tersangka Brigjen I yang sampai sekarang tidak bisa diproses hukum oleh institusi TNI sendiri. Ada apa pembangkangan ini? Kenapa terjadi pembangkangan-pembangkangan di tubuh TNI," ungkapnya.
Dalam rapat tersebut, Effendi tidak hanya menyinggung soal isu Andika-Yudo, tapi juga isu friksi antara Andika dengan KSAD Jenderal Dudung Abdurrahman. Ia mengungkapkan, salah satu anak Dudung yang tidak lolos seleksi akademi militer berujung jadi isu disharmoni antara Andika-Dudung.
“Sampai urusan anak KSAD gagal masuk Akmil pun menjadi isu. Memangnya kalau KSAD kenapa? Memang harus masuk? Memang kalau anak presiden harus masuk? Siapa bilang itu? Ketentuan apa? Ini kita harus tegas pak. Saya lebih tua dari bapak-bapak semua, saya berhak bicara di sini,” kata dia.
Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid menyepakati usulan tersebut dan mencanangkan akan ada rapat khusus antara Panglima TNI, Kasad dan Kasal. “Dengan tadi kita akan buatkan rapat khusus untuk isu-isu aktual, karena hari ini Kasad tidak hadir,” kata Meutya.
Menanggapi kabar Ketidakharmonisan tersebut, Andika enggan berspekulasi. Ia menegaskan bahwa langkah yang diambil olehnya selama ini berdasarkan aturan yang berlaku.
“Saya hanya menjalankan tugas pokok dan fungsi saya sesuai dengan aturan perundangan, manakala hal itu diterima sebagai ABC, ya terserah saja, bagaimana menyikapinya, tapi saya akan tetap melakukan tugas pokok dan fungsi saya," kata Andika di Gedung DPR RI pada Senin (5/9/2022).
Andika menegaskan hubungan dia dengan Dudung tidak ada perbedaan. Ia menegaskan hubungan mereka sebatas pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di posisi masing-masing serta menjaga hal tersebut sesuai koridornya.
“Menurut saya kita tetap menjalankan kegiatan kita sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jadi tidak ada yang berbeda sehingga kemudian tidak ada yang melenceng dari tupoksi kita," kata mantan Danpaspampres itu.
Ia pun menjawab soal isu anak Dudung yang tak lolos dalam seleksi Akmil. Andika justru mengatakan bahwa masalah anak Dudung tidak lolos sudah selesai karena anak Dudung tersebut sudah melanjutkan masa belajarnya ke Akmil.
“Sekarang sudah masuk dan masuk menjadi bagian dari mereka yang diterima,” kata dia.
Sementara itu, Meutya Hafidz meminta isu disharmoni antara Andika dan Dudung tidak diperpanjang. Politikus Partai Golkar itu tidak ingin isu pribadi berimplikasi pada gangguan soliditas TNI.
“Kalau hubungan terlalu pribadi kita tidak mengurus sampai terlalu detail ya, yang utama hubungan profesional keduanya berjalan baik. Panglima serta KSAD telah menjelaskan bahwa tidak ada masalah dari keduanya. Seluruh matra di TNI Insya Allah solid,” kata Meutya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (6/9/2022).
Meutya lantas menjawab soal ketidakhadiran Menhan Prabowo Subianto maupun Dudung dalam rapat dengan Komisi I. Prabowo tidak hadir karena mendampingi Presiden Jokowi yang menemui Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan delegasi Filipina.
Sedangkan soal hubungan Andika-Dudung sudah diklarifikasi oleh Andika selaku panglima. “Dari Pak Andika, kemarin kan beliau hadir menjawab langsung. Saya rasa ke media juga beliau sudah menjelaskan relasi Panglima-KSAD tidak terganggu, bahwa mereka menjalankan tugas sesuai aturan dan tupoksi masing masing,” kata dia.
Menurut Meutya, KSAD juga sudah berkomunikasi dengan DPR dan mengatakan hal yang sama.
“Beliau minta maaf tidak dapat hadir, menjelaskan ketidakhadirannya semata karena ada urgensi beliau harus berangkat ke Lampung. Beliau menyampaikan hubungan dengan Panglima Andika baik-baik saja dan dikala mana diperlukan penjelasan mengenai isu-isu aktual bersama Panglima TNI dan jajaran kepala staf dalam kesempatan berikutnya beliau akan hadir,” kata dia.
Isu Ganggu Soliditas TNI
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas justru menilai, ada situasi yang tidak harmonis di tubuh TNI. Hal tersebut terlihat dari gaya komunikasi Andika ke publik usai rapat.
“Jika dicermati, jawaban Andika Perkasa terkait kabar disharmoni hanya menampilkan kesan normatif. Andika tidak memberi jawaban yang lugas menampik kabar tersebut. Hal ini dapat diartikan hubungan dua elite TNI tersebut tidak sedang baik-baik saja,” kata Anton kepada Tirto, Selasa (6/9/2022).
Anton menilai wajar hubungan pimpinan organisasi dan lembaga pasang surut, termasuk militer. Akan tetapi, pasang surut hubungan bisa saja berdampak pada performa institusi dalam mencapai tujuan tertentu.
Di sisi lain, budaya politik yang tidak sehat dapat menimbulkan dampak destruktif bagi organisasi militer seperti TNI. Selain terganggunya target dan sasaran strategis militer, friksi politik di antara jenderal dapat mengganggu profesionalitas dan soliditas di tubuh TNI.
“Kabar disharmoni ini jika dibiarkan, maka dapat menurunkan moral prajurit. Apalagi, para jenderal yang berselisih memiliki posisi dan kewenangan strategis dalam institusi TNI,” kata Anton.
Oleh karena itu, Anton menyarankan Presiden Jokowi merespons isu disharmoni tersebut. Jokowi perlu menengahi serta memastikan Andika dan Dudung dapat saling bekerja sama. Ia menilai Jokowi perlu mengklarifikasi Informasi yang beredar dalam Rapat Kerja Komisi I DPR karena forum tersebut adalah formal dan resmi.
“Pembiaran atas kabar disharmoni ini justru akan mengganggu penuntasan rencana dan target pemerintah terkait sektor pertahanan,” kata Anton.
Anton mengingatkan sejarah menunjukkan disharmoni antar elite di tubuh militer bukan hal baru. Sejak kepemimpinan Presiden Sukarno, friksi politik antar jenderal telah banyak mengemuka. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di dalam satu matra, melainkan juga antar matra angkatan bersenjata.
“Bahkan di saat pelaksanaan operasi militer sekalipun, friksi antar jenderal pernah terjadi sehingga mengganggu jalannya misi, seperti yang terjadi dalam pelaksanaan Operasi Dwikora (1963-1967)” kata Anton.
Anton mengatakan, publik berharap para pimpinan TNI tidak lagi mempertontonkan sikap kurang mampu bekerja sama satu sama lain, yang justru dapat menimbulkan kegaduhan tidak perlu.
“Mempertahankan sikap yang mengedepankan ego politik hanyalah akan menggerus tingkat kepercayaan publik pada TNI dan pada akhirnya, yang merugi dan dikorbankan adalah citra institusi TNI,” kata Anton.
Ada Nuansa Politik, tapi Tidak untuk 2024
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengakui, ada friksi antar-matra adalah hal yang wajar, termasuk di militer. Ia mengingatkan bahwa prajurit adalah kelompok yang diciptakan sebagai petarung, pejuang, dan menjadi pemenang.
“Masalahnya di Indonesia, militer terutama angkatan darat ini sejak awal kelahirannya punya DNA politik, punya watak praetorian. Gemar politisasi dan publikasi. Apalagi elite-elite politik kita juga sering genit menggoda para elite militer untuk terlibat dalam hal-hal yang terkait dengan kekuasaan,” kata Fahmi kepada Tirto.
Fahmi beranggapan, sindiran maupun singgungan isu soal Andika untuk 2024 bukanlah isu utama. Ia menilai isu disharmoni Andika-Dudung bukan sebagai upaya untuk mendeligitimasi Andika yang sudah masuk radar bakal capres partai pada 2024 maupun hubungan dekat Dudung dengan PDIP di masa lalu, melainkan murni masalah internal organisasi.
“Saya tidak melihat, ini terlalu jauh hingga 2024. Sentilan Efendi Simbolon soal capres itu hanya bumbu penyedap saja. Pesan utamanya tetap pada ketidakselarasan antara Panglima TNI dan KSAD. Itu adalah masalah dan tentu harus diselesaikan agar tidak sampai mengganggu,” kata Fahmi.
Fahmi sepakat bahwa isu disharmoni TNI sudah terjadi sebelum Andika. Ia menuturkan, ketika TB Simatupang menjadi Kepala Staf Angkatan Perang, ketika AH Nasution menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata, sudah ada indikasi itu. Bahkan ketika Jenderal Sudirman menjadi Panglima Besar, situasi tidak harmonis juga bukannya tidak ada.
Masa kepemimpin Pangab Jenderal Soeharto adalah pengecualian, kata Fahmi. Karena ia merangkap pejabat presiden, dia punya kuasa dan mampu menghilangkan ketidakharmonisan secara efektif.
“Namun setelahnya, potensi itu hadir lagi. Hanya saja, rezim orde baru memang mampu memastikan bahwa ketidakharmonisan dapat diabaikan karena semua loyalitas militer tetap berpusat pada Soeharto hingga menjelang keruntuhannya,” kata Fahmi.
Fahmi menambahkan, “Bahkan suka tidak suka harus diakui, bahwa baik keruntuhan orde lama, orde baru, bahkan singkatnya masa pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Megawati sedikit banyak dipengaruhi oleh ketidakselarasan di antara kamar-kamar itu.”
Fahmi menilai wajar bila Effendi meminta friksi internal TNI dihentikan. Fahmi paham tujuan friksi internal berakhir agar jangan sampai itu berkembang menjadi pemicu instabilitas politik dan keamanan.
Ia mengakui bahwa setiap pejabat punya ketidakcocokan satu sama lain. Namun keselarasan juga harus ada batas. Pertama, loyalitas pada negara dan konstitusi, pada panglima tertinggi sepanjang itu layak, serta pada peraturan perundangan. Kedua, batasan hirarkis dan peran kewenangan.
“Artinya, sepanjang tidak menabrak salah satu atau kedua batasan itu, ketidakselarasan hubungan tidak akan sampai mengganggu kinerja dan misi lembaga. Pernyataan Efendi, dapat dianggap sebagai alarm peringatan agar tidak ada pihak yang melampaui batasan. Hal ini mengingat bahwa meskipun panglima dan para kepala staf ini berpangkat sama dan relatif otonom dalam hal penggunaan anggaran, namun panglima lebih tinggi secara hirarkis dan kewenangan,” kata Fahmi.
Di saat yang sama, pernyataan Effendi juga tidak berarti tak ada motif politik. Fahmi menilai, sebagai politisi dan legislator, Effendi cukup jeli memanfaatkan isu ketidakhadiran KSAD untuk mengangkat persoalan lebih besar yang selama ini menjadi rumor dan harus segera diselesaikan.
“Namun mengingat ini bukan baru pertama kali terjadi, saya kira para legislator harus juga memikirkan solusi yang lebih sustain' dan efektif secara jangka panjang. Misalnya dengan memasukkannya dalam perumusan masalah pada agenda perubahan UU TNI. Termasuk dengan kajian dan evaluasi, apakah model organisasi TNI saat ini masih relevan dan efektif untuk menjawab kebutuhan menghadapi bentuk-bentuk ancaman dan tantangan di masa depan,” kata Fahmi.
Fahmi juga berharap pengungkapan disharmoni TNI tidak berujung pada upaya potong generasi demi kepentingan suksesi panglima masa depan. Sebagai catatan, masa jabatan Andika akan habis pada akhir 2022, sementara Dudung habis pada akhir 2023. Ia tidak ingin ada upaya pergantian kepala staf sebelum panglima berakhir.
“Wacana potong generasi dalam suksesi panglima ini tidak sesederhana yang disampaikan Effendi. Kenapa? Jangan lupa, syarat menjadi panglima adalah pernah atau sedang menjabat kepala staf angkatan. Artinya, rencana potong generasi dalam suksesi Panglima TNI setelah Jenderal Andika, hanya mungkin dilakukan jika dalam waktu dekat terjadi pergantian di level pejabat kepala staf angkatan,” kata Fahmi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz