tirto.id - “Iya, habis. Kami belum tahu kabarnya dari Vivo Pusat. Saya rasa hampir semua SPBU Vivo juga merasakan hal yang sama.”
Hal tersebut diungkapkan Supervisor SPBU Vivo di Cipayung, Jakarta Timur, Budi Faisal seperti dikutip Antara. Ia berbicara soal stok Revvo 89, salah satu bahan bakar yang dijual SPBU Vivo dengan kadar Research Octane Number (RON) 89 yang habis.
Stok bahan bakar tersebut langsung diminati masyarakat setelah pemerintah menaikkan harga BBM subsidi jenis Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter. Maklum, harga Revvo 89 lebih murah daripada Pertalite, yakni Rp8.900 per liter.
Berdasarkan pantauan reporter Tirto dalam dua hari terakhir, baik di SPBU Vivo dekat Kranji dan Pancoran tidak lagi menayangkan harga BBM Revvo 89. Mereka hanya menunjukkan paling rendah Revvo 92. Kementerian ESDM meminta kepada manajemen Vivo untuk menyesuaikan harga mereka dengan harga pemerintah.
Terbaru, Kementerian ESDM lewat Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Tutuka Ariadji menegaskan, pengusaha penjual BBM harus mengikuti ketentuan harga bahan bakar sebagaimana aturan pemerintah yakni sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM yang telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2021.
“Menteri ESDM menetapkan Harga Jual Eceran (HJE) Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan. Sedangkan HJE Jenis BBM Umum dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha,” kata dia dalam keterangan resmi, Senin (5/9/2022).
Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum (JBU) ditetapkan oleh Badan Usaha. Dalam upaya pengendalian harga di konsumen, pemerintah menetapkan formula batas atas, di mana harga BBM mengacu kepada harga acuan pasar MOPS/Argus dan biaya distribusi dengan margin badan usaha maksimal 10%, seperti yang ditetapkan dalam Kepmen ESDM No 62.K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.
“Berdasarkan hal tersebut, pemerintah akan menegur Badan Usaha apabila menjual BBM melebihi batas atas. Penetapan harga jual di SPBU saat ini merupakan kebijakan Badan Usaha yang dilaporkan ke Menteri cq. Dirjen Migas. Sehingga tidak benar Pemerintah meminta Badan Usaha untuk menaikkan harga,” kata Tutuka.
Penyesuaian harga tersebut dikritik publik. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, aksi pemerintah telah melanggar regulasi tentang persaingan usaha. Ia menilai langkah pemerintah sudah tergolong sebagai intervensi yang merugikan publik.
“Tentu ini bentuk kegagalan pemerintah dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat di mana intervensi pemerintah ini menimbulkan kerugian bagi industri dan masyarakat,” kata Huda kepada reporter Tirto, Senin (5/9/2022).
Huda menuturkan, aksi pemerintah bisa dikategorikan pelanggaran hukum, yakni melanggar UU Nomor 5 tahun 1999 tentang Usaha Tidak Sehat dan Anti Monopoli. Pemerintah sudah melanggar aturan tentang pelarangan perusahaan untuk menyediakan barang lebih kompetitif.
“Tindakan pemerintah bisa menguntungkan Pertamina, tapi merugikan Vivo dan masyarakat. Masyarakat akhirnya kehilangan alternatif BBM yang lebih murah dibandingkan dengan BBM milik pemerintah (Pertamina)” kata Huda.
Huda menilai, harga BBM Vivo lebih murah atau tidak adalah wewenang dari perusahaan tersebut. Mereka tentu sudah berkalkulasi keuntungan yang diperoleh sebelum menentukan harga.
Namun, kata Huda, pemerintah memang membolehkan pihak swasta menjual BBM di luar Pertamina, tetapi pemerintah menetapkan margin harga pengusaha BBM seperti Vivo maupun Shell untuk tidak menjual bensin dengan margin lebih rendah dari 5 persen.
“Memang sekarang ada pelonggaran bagi pom bensin swasta untuk masuk. Namun pemerintah menetapkan margin harga yang membuat bom bensin swasta tidak menjual BBM dengan margin yang lebih rendah dari 5 persen. Padahal harusnya bisa lebih rendah dari 5 persen marginnya, tapi tidak boleh oleh pemerintah,” kata Huda.
Huda menuturkan, aksi pemerintah yang meminta penyesuaian adalah bentuk ketidaksiapan pemerintah dalam menyelesaikan masalah BBM subsidi. Ia menilai, pemerintah bisa mengambil opsi pembatasan distribusi Pertalite daripada menaikkan harga BBM.
Publik lantas lari ke BBM yang lebih murah padahal kualitas Revvo 89 lebih rendah daripada Pertalite. Namun, pemerintah lebih memilih memaksa pihak Vivo menyesuaikan harga meski kualitas barang lebih rendah.
“Opsi pembatasan distribusi BBM Pertalite, mempunyai dampak yang lebih terukur dibandingkan menaikkan Pertalite. Sekaligus, harga Revvo 89 yang lebih murah dibandingkan Pertalite, memberikan informasi ke masyarakat, pemerintah sebenarnya bisa menjual BBM yang lebih murah dibandingkan Pertalite bahkan Revvo 89,” kutur Huda.
Huda menambahkan, “Tapi pemerintah malas untuk melakukan hal tersebut. Hanya ingin enaknya saja. Naikin harga, dan ngasih bantuan BLT.”
“Jadi pemerintah nampaknya menghindari persepsi masyarakat tersebut. Makanya minta Vivo jangan jual RON 89 lagi. Jadi memang pemerintah ini sudah kelewatan,” kata Huda.
Oktan Revvo 89 Lebih Rendah Dibandingkan Pertalite
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, pengusaha SPBU Vivo wajar menjual harga BBM lebih rendah karena Revvo 89 memiliki kadar oktan lebih rendah, yaitu RON 89. Kualitas Revvo 89 lebih rendah dari Pertalite yang merupakan RON 90.
“Dengan demikian secara kualitas dan mutu, produk dari Vivo lebih rendah dari Pertalite,” kata Mamit dalam keterangan, Senin (5/9/2022).
Mamit mengajak publik lebih cerdas dan memahami bahwa kadar RON yang lebih tinggi akan lebih bagus dalam meningkatkan performa mesin kendaraan dan juga menjaga mesin menjadi lebih awet.
Aksi Vivo dengan menjual Revvo 89 adalah upaya bisnis perusahaan demi menarik minat publik. Namun strategi marketing Vivo, kata dia, menjadi buruk bagi pemerintah yang notabene menaikkan harga BBM Pertalite di atas harga Revvo 89.
Mamit menilai, Vivo justru merugi dengan menjual Revvo 89 bila mengacu pada formula yang termaktub dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 62.K/12/MEM/2020 tahun 2020. Apabila dihitung dengan angka ICP Juli sebesar 106 dolar AS per barel, tanpa ada benchmark dengan kurs Rp14.500 itu saja per liternya sudah Rp9.749.
“Setelah kita gunakan formula, maka didapatkan harga dasar Rp12.503. Harga tersebut belum termasuk PPn dan PBBKB serta margin perusahaan," jelas Mamit.
Jika ingin membandingkan dalih 'mana yang murah', publik harus membandingkan produk di kelas RON 92, yakni Pertamax milik Pertamina dan Revvo 92 milik VIVO. Produk RON 92 yang dijual oleh Vivo saat ini dijual Rp15.400, sedangkan Pertamax hanya Rp14.500 per liter.
“Jadi harga Pertamax masih lebih murah dibanding dengan produk Vivo. Kita bandingkan lagi produk Vivo RON 95 dijual sebesar Rp16.100, sedangkan Pertamax Turbo dengan RON 98 dijual hanya sebesar Rp15.900. Padahal dari sisi RON jauh lebih tinggi dan kualitasnya jauh lebih baik," tutup Mamit.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz