Menuju konten utama
Kasus Pembunuhan Brigadir J

Menyoal Perlakuan Istimewa Putri Candrawathi & Akuntabilitas Aturan

Komnas Perempuan mendorong kepolisian menetapkan standar yang jelas dalam memperlakukan perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Menyoal Perlakuan Istimewa Putri Candrawathi & Akuntabilitas Aturan
Tersangka Irjen Ferdy Sambo (kiri) bersama Istrinya tersangka Putri Candrawathi (kanan) keluar dari rumah dinasnya yang menjadi TKP pembunuhan Brigadir J di Jalan Duren Tiga Barat, Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta, Selasa (30/8/2022). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/YU

tirto.id - Tim Khusus Polri dalam kasus pembunuhan Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J masih mempertimbangkan permohonan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi untuk tidak ditahan dengan alasan kemanusiaan. Putri adalah tersangka kelima kasus pembunuhan berencana Brigadir J.

“Tadi malam Ibu PC telah dilaksanakan pemeriksaan, kemudian ada permintaan dari kuasa hukum untuk tidak dilakukan penahanan. Penyidik masih mempertimbangkan pertama alasan kesehatan, [kedua] kemanusiaan, yang ketiga masih memiliki balita,” kata Ketua Timsus Polri, Komjen Pol Agung Budi Maryoto dalam keterangan pers di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (1/9/2022).

Agung menyebut pihaknya telah melakukan pencekalan kepada Putri Candrawathi supaya tidak bepergian ke luar negeri. “Dan pengacara menyanggupi Ibu PC akan kooperatif dan ada wajib lapor,” kata Agung.

Pernyataan Timsus Polri tersebut diperkuat Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo. Ia mengatakan kewenangan penahanan sepenuhnya berada di tangan penyidik.

“Permohonan telah diterima melalui pengacaranya, penahanan tersangka sepenuhnya kewenangan penyidik yang menangani suatu kasus. Alasan penahanan subjektif (Pasal 21 ayat (1) KUHAP) dan alasan obyektif (Pasal 21 ayat (4) KUHAP) menjadi dasar pertimbangan penyidik,” kata Dedi melalui pesan singkat, Kamis (1/9/2022).

Keputusan Polri tak menahan Putri Candrawathi didukung Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Junaedi Mahesa. Ia menyetujui hal tersebut karena pasangan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi masih memiliki anak kecil.

“Apabila pertimbangannya adalah untuk anak, saya pikir setuju saja untuk tidak ditahan,” kata Desmond di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa, 30 Agustus 2022.

Menurut Desmond, Putri Candrawathi tidak akan kabur dari pengawasan dan akan tetap taat pada proses pemeriksaan hukum. Ia meminta aparat yang melakukan penyidikan untuk melihat aspek kemanusiaan, yaitu tidak memisahkan antara anak dan ibu dalam tahanan.

“Akan menjadi tragis kalau anak itu masuk dalam tahanan. Saya melihat unsur kemanusiaan sehingga tidak masalah bila Putri tidak ditahan,” kata politikus Partai Gerindra tersebut.

Aparat Langgengkan Praktik Diskriminasi?

Namun langkah penyidik tidak menahan Putri dikritik Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso. Ia sebut Polri bertindak diskriminatif dengan tidak menahan istri Sambo tersebut. Sebab, kata Sugeng, dalam banyak kasus perempuan berhadapan dengan hukum, polisi tetap melakukan penahanan meskipun perempuan tersebut memiliki anak kecil.

“Masyarakat juga melihat tindak diskriminasi yang dilakukan oleh penyidik timsus dengan tidak menahan atas alasan kemanusiaan. Karena banyak perkara lain seorang tersangka perempuan yang memiliki anak tetap ditahan. Contohnya Baiq Nuril, kemudian beberapa tersangka lain,” kata Sugeng saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (2/9/2022).

Karena itu, kata Sugeng, IPW mendesak penyidik untuk segera melakukan penahanan terhadap Putri Candrawathi. Pasalnya, Putri dinilai tak kooperatif dalam proses penyidikan.

“Penyidik dari timsus harus segera menahan Ibu Putri sebagai tersangka. Karena perkembangan lebih lanjut dari 2 perkembangan terakhir, rekonstruksi dan konfrontasi, mengindikasikan Ibu Putri tidak kooperatif. Adanya konfrontasi menunjukkan bahwa keterangan Ibu Putri berbeda dengan keterangan saksi-saksi dan tersangka yang lain,” kata Sugeng.

Dengan adanya keterangan yang berbeda ini, kata Sugeng, menunjukkan bahwa Putri tidak kooperatif. “Bagi seorang tersangka yang tidak kooperatif terdapat cukup alasan bagi penyidik untuk menahan,” kata Sugeng.

Hal senada diungkapkan peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati. Ia menilai Polri tebang pilih dalam mengambil keputusan untuk menahan perempuan yang berhadapan dengan hukum.

“Pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan gender ini ada di kasus Ibu PC, tapi apakah terjadi juga di kasus lainnya? Enggak. Banyak sekali laporan bahwa memang ibu degan kondisi hamil, dengan beban pengasuhan, dengan anak bahkan tetap ditahan dan akhirnya hidup mereka dalam kondisi tidak manusiawi dikirim ke penjara,” kata Maidina saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (2/9/2022).

Mengkritisi Akuntabilitas Aturan dan Paradigma Penahanan

Kondisi tebang pilih yang dilakukan Polri, kata Maidina, tidak lepas dari bobroknya akuntabilitas aturan penahanan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Hukum acara pidana kita, apalagi hukum penahanan tidak ada akuntabilitasnya karena polisi yang bisa nentuin dia ditahan atau enggak. Polisi juga yang memeriksa. Polisi juga yang bertanggung jawab atas tahanannya, sehingga ini tidak akuntabel sistemnya,” kata Maidina.

Untuk itu, kata Maidina, pihaknya mendorong revisi KUHAP termasuk juga revisi aturan penahanan supaya terhindar dari subjektivitas penyidik.

“Dan kami sudah dorong revisi KUHAP, salah satu poin besarnya adalah tentang revisi aturan tentang penahanan. Bahwa harus ada hakim pemeriksaan pendahuluan yang memeriksa kebutuhan untuk menahan atau tidak menahan seseorang. Karena selama ini sangat subjektif dan tidak akuntabel,” kata dia.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda menegaskan, dalam penanganan kasus hukum, prinsipnya haruslah tanpa penahanan. Penahanan hanya dilakukan sebagai pengecualian.

“Prinsipnya adalah tidak ditahan, kalau ditahan adalah pengecualian. Non arrested is principal, arrested is exception,” kata Chairul saat dihubungi pada Jumat (2/8/2022).

Chairul Huda menjelaskan bahwa keputusan menahan atau tidak menahan seseorang hanya dapat didasarkan pada dua alasan.

“Pertama namanya alasan kebolehan menurut hukum. Boleh nggak orang itu ditahan menurut hukum, ada persyaratannya. Misalnya tindak pidana itu diancam dengan 5 tahun atau lebih, dan seterusnya,” kata dia.

Kedua, kata Chairul Huda, adalah alasan menurut kebutuhan. “Jadi apakah penahanan itu diperlukan atau tidak dalam kerangka tujuannya? Kalau sekarang masih penyidikan, untuk penyidikan diperlukan atau [tidak] penahanan tersebut,” kata dia.

Sayangnya, kata Chairul, alasan Polri tidak menahan Putri Candrawathi tidak dapat diterima karena bersifat non-hukum.

“Polisi tidak menahan jawabannya adalah dasarnya dia punya anak, kesehatannya belum baik, kan gitu. Itu menunjukkan bahwa pertimbangan tidak ditahan itu bukan didasarkan pada kebutuhan. Tapi didasarkan pada faktor non-hukum. Itu salahnya. Jadi sekarang polisi tidak menahan, keliru,” kata Chairul.

Alasan Kemanusiaan Memungkinkan dengan Syarat

Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati menyebut, pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan berbasis gender adalah sesuatu yang memungkinkan dijadikan alasan untuk tidak menahan seseorang.

Akan tetapi, kata dia, hal tersebut baru bisa diberlakukan jika aturan, sistem penilaian, serta praktiknya akuntabel dan adil.

“Di Bangkok Rules disebutkan ketika yang tersangka adalah perempuan, lalu bicara soal penahanan, aspek spesifik gendernya itu harus diperhatikan. Misalnya dia sebagai seorang ibu, punya beban pengasuhan atau dia hamil. Nah, dia itu harus dihindarkan dari penahanan,” kata Maidina.

Namun, kata Maidina, ini semua harus terjadi pada semua perempuan, semua kondisi. “Bahwa sistem penilaian itu harus akuntabel dan dijalankan secara adil, bukan hanya diberikan kepada pihak tertentu,” kata Maidina.

ICJR sepakat bahwa perempuan dengan anak, apalagi anaknya masih balita punya hak untuk tidak ditahan dalam proses menuju peradilan.

“Tapi kita pastikan bahwa itu akuntabel, dan akuntabilitas itu nggak bisa dicapai dalam kondisi saat ini, karena KUHAP nya memperbolehkan penahanan secara suka-suka, tanpa mekanisme uji yang jelas,” kata Maidina.

Untuk itu, kata Maidina, ICJR mendorong revisi KUHAP supaya ketentuan penahanan dapat dinilai akuntabilitas serta konsistensinya.

“Kita sepakat bisa pertimbangan berbasis kemanusiaan dan gender untuk tidak menahan, tapi apakah ini diterapkan di sistem yang akuntabel dan konsisten? Nah itu yang kemudian menjadi catatan. Dan itu yang selalu kami suarakan, bikin aturan direvisi KUHAP yang jelas sehingga kita bisa kritisi apakah penerapan hukum itu konsisten atau tidak,” kata dia.

Polri Harus Punya Standar yang Jelas

Terkait polemik penahanan Putri Candrawathi, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mendorong kepolisian untuk menetapkan standar yang jelas dalam memperlakukan perempuan yang berhadapan dengan hukum.

“Ketika diposisikan sebagai perempuan pelaku, ia dipenuhi haknya untuk mendapatkan pendampingan psikolog, ia diberikan haknya dan akses untuk mendapatkan hak atas bantuan hukum,” kata Siti Aminah dalam konferensi pers di kantor Komnas Ham, Jakarta pada 1 September 2022.

Ia menambahkan, “Kemudian sampai saat ini ia tidak ditahan dengan alasan yang berkembang di media itu adalah karena dia memiliki balita. Maka ketiga hal ini haruslah dijadikan standar oleh kepolisian di dalam menangani kasus-kasus perempuan yang lainnya.”

Siti Aminah menyebut bahwa sejumlah lembaga hukum telah memiliki peraturan internal terkait penanganan kasus yang melibatkan perempuan sebagai pelaku.

“Ada pedoman Jaksa Agung tahun 2021 tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam perkara pidana. Juga kalau nanti teman-teman memantau kasus ini di pengadilan, ada PERMA (Peraturan MA) 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum,” kata Aminah.

Namun demikian, Polri belum memiliki aturan internal serupa. Untuk itu, ia mendorong Polri melakukan perbaikan terhadap kebijakan internalnya. Khususnya yang berkaitan dengan pemenjaraan perempuan.

Karena itu, kata Siti Aminah, salah satu yang Komnas Perempuan rekomendasikan adalah Kapolri atau kepolisian melakukan perbaikan kebijakan internal terkait perkap penyidikan tindak pidana dan perkap tata laksana pemeriksaan saksi dan korban.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN BRIGADIR J atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz