tirto.id - “Yang pelaku harus dipidana, yang obstruction of justice harus dipidana, dan yang hanya pelanggaran disiplin dimaafkan saja.”
Hal tersebut disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (18/8/2022). Mahfud menegaskan Polri memproses perkara sesuai hukum, baik pada kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J maupun kasus obstruction of justice. Akan tetapi, Mahfud menilai polisi hanya terlibat pelanggaran disiplin dimaafkan.
Sebagai catatan, kasus kematian Brigadir J menyeret puluhan anggota Polri dari level pejabat tinggi, pejabat menengah hingga beberapa personil. Tim Khusus yang fokus dalam pengungkapan kasus Brigadir J telah memeriksa 83 polisi yang diduga terlibat dalam kasus kematian Brigadir J.
Saat ini, ada 35 orang yang direkomendasikan ditahan melalui mekanisme Penempatan Khusus. Sementara ada 18 orang yang sudah mendekam di tempat khusus.
Dari 18 orang yang ditempatkan secara khusus, tiga personel yakni Irjen Pol Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, dan Bripka Ricky Rizal ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J. Mereka dijerat Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP.
Dalam kasus ini, Polri juga menetapkan istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi sebagai tersangka kelima pada Jumat (19/8/2022). Polisi juga telah menetapkan KW, warga sipil sebagai tersangka dalam kasus ini.
Terbaru, Polri mengumumkan 6 orang tersangka yang berkaitan perkara Brigadir J. Keenam orang ini semuanya merupakan personil Polri yang ditetapkan sebagai tersangka dalam upaya menghalangi penyidikan atau obstruction of justice.
“(Penghalang ialah) Irjen FS, Brigjen HK, AKBP AMT, AKBP AR, Kompol BW, dan Kompol CP,” kata Irwasum Polri, Komjen Pol Agung Budi Maryoto di Mabes Polri, Jumat, 19 Agustus 2022.
Kemudian tim Inspektorat Khusus akan melimpahkan berkasnya kepada Tim Khusus Bareskrim. “Akan ditingkatkan penyidikan lebih lanjut.”
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Pol Asep Edi Suheri menuturkan, pihaknya memeriksa para saksi perihal perkara dugaan menghilangkan, memindahkan, serta mentransmisikan secara elektronik sehingga tidak bekerja sebagaimana mestinya, kamera pengawas kasus kematian Brigadir J.
“Dalam hal ini kami bagi menjadi lima klaster,” kata Asep di Mabes Polri, Jumat, 19 Agustus 2022.
Klaster kesatu ialah warga Kompleks Polri Duren Tiga. Pada klaster ini, Polri memerika tiga orang yakni SN, M, dan AZ.
Klaster kedua merupakan orang yang mengganti rekaman video digital kamera pengawas, yakni AF, AKP IW, AKBP AC, dan Kompol AF. Klaster ketiga ialah mereka yang memindahkan, mentransmisikan, dan merusak rekaman yaitu Kompol BW, Kompol CP, dan AKBP AR.
Klaster keempat berisi penyuruh pemindahan yaitu Irjen FS, Brigjen HK, dan AKBP AN. Klaster kelima ada empat orang antara lain AKP DA, AKP RS, AKBP RRS, dan Bripka DR.
Selanjutnya, barang bukti yang disita seperti cakram keras merek WD, tablet Microsoft Surface, perekam video digital kamera pengawas yang ada di Kompleks Polri Duren Tiga, dan laptop milik BW.
“Pasal yang dipersangkakan yaitu Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-Undang ITE, Pasal 221 KUHP, Pasal 223 KUHP, Pasal 55 KUHP, dan Pasal 56 KUHP,” terang Asep.
Harus Diusut Secara Transparan & Tuntas
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengapresiasi kinerja Polri yang mengungkap kasus kematian Brigadir J secara terang. Namun, ia pesimistis Polri akan membuka jaringan Sambo di tubuh kepolisian karena Polri belum menetapkan anggota lain yang terlibat di luar 6 orang tersangka obstruction of justice.
Bambang mengingatkan, Polri menahan puluhan orang yang diduga terlibat kasus, tetapi tidak dibuka ke publik. Ia pun menyayangkan Polri masih menutupi nama-nama mereka yang ditahan saat ini. Oleh karena itu, ia menilai kasus Sambo ini akan antiklimaks.
“Proses etik terkait pemeriksaan 80 orang dan penetapan 35 orang tanpa dibeberkan pada publik apakah itu bisa disebut transparansi?" kata Bambang mempertanyakan. “Bahkan 40 hari dari kasus hanya menetapkan 5 orang [selain Sambo] sebagai pelanggar OJ. Apakah ini disebut progres yang signifikan," lanjut Bambang.
Bambang kembali mengingatkan bahwa Perkap 7/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi batu sandungan dalam pengungkapan kasus Sambo secara terang. Perkap tersebut menjadi alat untuk melindungi anggota kepolisian, sementara publik ingin ada keadilan.
Keadilan tersebut, kata Bambang, antara lain perlakuan penindakan proses hukum pidana bagi anggota pelanggar hukum dan bukan sebatas etik.
Di sisi lain, kata Bambang, publik juga ingin ada keterbukaan sanksi etik meskipun anggota tidak terlibat. Dengan demikian, tidak ada yang dimaafkan, tetapi mendapat hukuman sesuai derajat kesalahannya.
“Tanpa ada keterbukaan, jangan salah bila publik menganggap bahwa proses etik itu hanya seremonial saja untuk menenangkan desakan publik," kata Bambang.
Dari semua hal tersebut, Bambang pesimistis niatan proses penegakan hukum akan menyasar semua pihak. "Artinya seperti asumsi publik selama ini, proses etik itu hanya seremonial saja untuk melindungi personel pelanggar dan menenangkan tuntutan masyarakat," kata Bambang.
Bambang pun menyarankan agar semua hal, baik kasus pidana utama soal pembunuhan Brigadir J, obstruction of justice hingga soal para polisi yang terlibat dan berpotensi langgar etik dan disiplin dibuka. Tanpa itu, ia khawatir Polri akan kembali tidak dipercaya publik.
“Harus dibuka pada publik semua yang terkait skenario drama kebohongan. Tanpa ada keterbukaan dan partisipasi publik dalam pengawasan, saya tidak yakin Kapolri mampu mengembalikan kepercayaan publik pada kepolisian," kata Bambang.
Pelanggaran Etik Harus Tetap Diproses
Ahli hukum pidana dari Universitas Airlangga, Iqbal Felisiano mendorong agar kasus pembunuhan Brigadir J, obstruction of justice hingga soal personel polisi yang terlibat tetap harus mendapat hukuman sesuai derajat hukum.
Mereka yang terlibat kasus hukum pembunuhan Brigadir J maupun terlibat menghalangi penyidikan harus diproses secara hukum yang berlaku. Bagi polisi yang melanggar etik juga harus dikenakan hukuman sehingga pemaafan dalam pelanggaran disiplin seperti pernyataan Mahfud MD tidak tepat, kata Iqbal.
“Saya melihat kalau melanggar disiplin, ya harusnya ditegakkan dengan etik, tapi kalau ini obstruction of justice itu kan melanggar hukum," kata Iqbal, Jumat (19/8/2022).
Iqbal sebut tidak semua bisa dikenakan hukum derajat sama. Sebagai contoh, anggota yang disuruh tanpa mengetahui alasan di balik upaya pembunuhan atau menghalangi penyidikan/menghilangkan barang bukti perkara Brigadir J tidak bisa dipidana. Jika polisi tahu apa yang dilakukan, konsekuensi dari tindakan penghapusan barang bukti dan memahami tindakan tersebut, maka polisi tersebut harus dipidana.
Menurut Iqbal, jika melihat hukum, terutama KUHP, upaya penghilangan barang bukti atau menghalangi penyidikan adalah hal dilarang. Hal ini semakin berat karena polisi punya wewenang yang berpotensi untuk menyalahgunakan wewenang untuk menghilangkan bukti. Polisi yang melakukan penghilangan bukti harus dipidana.
“Tapi kalau kemudian yang dilanggar sanksi etik, ya etik saja, tapi khusus berkaitan obstruction of justice pasalnya memenuhi, unsurnya terpenuhi, ada kesengajaan diri dan sebagainya, maka diberikan sanksi pidana," kata Iqbal.
Iqbal juga memahami bahwa ada relasi kuasa dan chain of command dalam tubuh non-sipil. Namun Polri tetap harus terbuka dalam semua sisi proses hukum, mulai dari penyidikan obstruction of justice, kasus pembunuhan Brigadir J maupun para personel yang kini ditahan tanpa status yang jelas.
“Ya harus terbuka. Artinya kemudian kalau kasusnya pembunuhan 338-340 itu saja bisa terbuka mengenai perkembangan dan kemudian konstruksi hukumnya, ya harusnya terhadap peristiwa obstruction of justice diperlakukan yang sama,” kata Iqbal.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz