Menuju konten utama

Urgensi Revisi UU Polri usai Kasus Sambo Terungkap: Perlu Reformasi

Wacana revisi Undang-Undang Polri kembali bergulir setelah kasus kematian Brigadir J yang melibatkan Irjen Pol Ferdy Sambo.

Urgensi Revisi UU Polri usai Kasus Sambo Terungkap: Perlu Reformasi
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (tengah) didampingi Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (kiri), dan Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto (kanan) menyampaikan keterangan pers terkait penyidikan kasus penembakan Brigadir J di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Wacana revisi Undang-Undang Polri kembali bergulir setelah terungkapnya kasus kematian Brigadir Yosua Hutabarat yang melibatkan eks Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo. Gagasan tersebut disampaikan oleh Fraksi PPP.

Sekretaris Fraksi PPP RI Achmad Baidowi menyarankan agar ada revisi terbatas pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian demi berjalannya reformasi dan penguatan lembaga Polri.

"Kami mengusulkan revisi terbatas UU Kepolisian, masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022. Ini dilakukan agar reformasi dan penguatan kelembagaan Polri dalam melaksanakan tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum," kata pria yang karib disapa Awiek di Jakarta, Senin (22/8/2022), sebagaimana dikutip dari Antara.

Awiek mengatakan, kasus Irjen Pol Ferdy Sambo mendapat perhatian serius dari publik. Oleh karena itu, revisi terbatas penting dilakukan untuk mengatur sejumlah hal, salah satunya soal pengawasan internal.

"Revisi terhadap UU Kepolisian perlu dilakukan mulai dari norma yang mengatur tentang pengawasan internal Polri yang saat ini dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) ataupun mengenai pengaturan tentang kewenangan Polri mulai dari penyelidikan, penyidikan dan penindakan," kata Awiek.

Awiek juga beranggapan perlu ada pengaturan ulang bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana seperti aturan pemberhentian sementara hingga keputusan tetap.

Di sisi lain, UU Kepolisian juga sudah berumur 20 tahun sehingga perlu ada penyesuaian dinamika sosial, budaya dan hukum di masyarakat. Revisi terbatas bagi Polri juga perlu dilakukan seperti penegak hukum lain antara lain Kejaksaan maupun KPK demi menjaga marwah lembaga.

Ketua Kompolnas sekaligus Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyinggung sedikit soal gagasan revisi Undang-undang Polri. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/8/2022), Mahfud mengaku akan menyampaikan keterangan resmi soal rencana revisi Undang-Undang Kepolisian, ketika itu ia hanya menyinggung sedikit langkah pemerintah dari gagasan tersebut.

"Ada usul resmi dan itu nanti saya sampaikan secara resmi ya nggak usah ribut-ribut ngubah undang-undang lah, bikin kementerian ini aja nih kuncinya untuk menghilangkan psikostruktural itu sekarang dibuat seperti lembaga kekuasaan pemerintahan itu antara yang mengatur, yang memeriksa pelaksanaan dan yang menghukum itu dipisah aja gitu dan itu resmi usul. Makanya itu saya katakan ya itu terlalu banyak sehingga menjadi seperti kerajaan gitu," kata Mahfud yang juga menjawab soal isu kerajaan Sambo di Gedung DPR-MPR, Jakarta, Senin (22/8/2022).

Mahfud mengaku, istilah kerajaan Sambo muncul berdasarkan pandangan psiko-struktural dan psiko-hierarkis. Ia pun mengaku ada masukan dari para senior Polri hingga mantan Kapolri terhadap besarnya kewenangan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam.

Ia mencontohkan ada 3 jenderal bintang 1 yang mempunyai wewenang penyelidikan, pemeriksaan hingga penjatuhan hukuman di bawah Kadiv Propam. Hal itulah yang membuat Mahfud mengeluarkan istilah 'mabes di dalam mabes.' Selain itu, istilah bintang 5 juga muncul karena Sambo yang merupakan bintang 2 membawahi 3 bintang 1 sehingga ditotal menjadi bintang 5.

Urgensi Revisi UU Polri

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur beranggapan permasalahan yang terungkap dari kasus Polri membuktikan ada masalah serius di tubuh Polri. Isnur pun menilai pernyataan Mahfud untuk tidak merevisi UU Polri juga kurang tepat karena dianggap menyepelekan masalah.

"Selama ini masyarakat sipil YLBHI sudah sangat banyak memberikan catatan terhadap pentingnya reformasi kepolisian secara menyeluruh dan sekarang terbukti bahwa catatan YLBHI dan ucapan Pak Mahfud ini sebenarnya menyederhanakan masalah, tidak ada gambaran, tidak mengetahui secara menyeluruh permasalahan di kepolisian," kata Isnur kepada reporter Tirto, Selasa (23/8/2022).

Isnur menyarankan pemerintah melakukan riset perbaikan tubuh Polri secara menyeluruh dan mulai memperbaiki korps Bhayangkara sesuai riset tersebut. Ia menilai riset juga tidak hanya menyasar divisi Sambo, yakni Divpropam, tetapi juga menyasar ke reserse dan divisi lain hingga isu pendanaan, struktur organisasi hingga pengelolaan dan transparansi anggaran.

"Ini kan masalahnya bukan kejadian di Yosua kan bukan hanya masalah di Propam saja tapi juga di reserse, bagaimana reserse itu kemudian juga terlibat ya dalam banyak rekayasa dan dalam banyak manipulasi," jelas Isnur.

Selain itu, masih ada beberapa permasalahan lain seperti pendidikan dan struktural. "Masalah struktural, masalah di mana, komando itu terlalu berkuasa sehingga bawahan tidak bisa melawan atasan yang melawan hukum dan sangat banyak masalah lainnya," tuturnya.

"Jadi sebenarnya rekomendasi DPR menjadi catatan penting kami setuju penting evaluasi menyeluruh kepolisian dan tentu kita perlu membuat secara mendalam dimana kesalahan-kesalahannya di mana perlu perbaikannya dan diperbaiki secara menyeluruh karena kalau perbaikan respons separuh tidak akan menyelesaikan secara maksimal," tambah Isnur.

Menurut Isnur, perbaikan tidak selamanya harus berujung revisi UU Polri. Ia menilai perlu identifikasi permasalahan di tubuh Polri dan melakukan perbaikan secara langsung. Ia justru lebih mengedepankan perbaikan regulasi lain yang berkaitan dengan kerja Polri daripada UU Polri sendiri, salah satunya dengan mengedepankan revisi KUHAP.

"Yang enggak kalah penting juga misalnya dalam kasus Penegakan Hukum, perlu segera perubahan KUHAP yang memberi terlalu besar wewenang ke kepolisian, tanpa kontrol yang kuat dari kejaksaan sebagai dominus litis, dan juga dari pengadilan," kata Isnur.

Peneliti Institut Reformasi Peradilan Pidana (ICJR) Iftitah Sari mengakui bahwa pengaturan kewenangan lembaga harus diubah dengan mengubah undang-undang. Ia beralasan, kewenangan lembaga pengawas itu bisa memanggil, menahan, dan lain-lain yang membatasi kebebasan seseorang, secara prinsip itu harus setingkat undang-undang.

"Nah, isunya mau UU apa aja yang diubah ada beberapa, salah satunya UU Polri memang, untuk mengatur lembaga pengawas khusus untuk institusi Polri yang bisa dibayangkan kira-kira modelnya gabungan KPK-KY gitu secara kewenangannya. Itu harus pakai UU," kata perempuan yang karib disapa Tita itu kepada Tirto, Selasa (23/8/2022).

Namun, Tita lebih mendorong revisi KUHAP. Ia beralasan revisi KUHAP lebih urgen karena aturan tersebut mengatur kewenangan pengawasan untuk polisi sebagai penyidik khususnya, oleh jaksa penuntut umum sebagai penguasa perkara pidana (dominus litis) dan hakim pengadilan (jenis pengawasan judicial scrutiny). Poin revisi tersebut yang harus diperkuat di KUHAP di masa depan.

"Jadi masalah kewenangan besar Polri dalam proses penegakan hukum pidana yang minim kontrol itu jalan satu-satunya mesti lewat revisi KUHAP, kalau kita bicara pengawasan dalam sistem peradilan pidana ya. Kalau ini pengawasan secara kelembagaan aja, jadi ga mesti ketika dalam proses peradilan pidana berjalan," jelas Tita.

Tita menegaskan, revisi tersebut bisa dilakukan atau tidak tergantung dari mekanisme politik. Semua bergantung kepada komitmen pembuat undang-undang dan kebijakan jika berbicara cepat atau lambatnya revisi.

"Tapi kalo ngomongin kebutuhan jelas sudah sangat mendesak. Reformasi institusi polri harusnya jadi prioritas utama pembuat kebijakan," pungkas Tita.

Urgensi revisi UU Polri yang disuarakan masyarakat, aktivis dan pegiat hukum ini juga ditanggapi oleh Menkopolhukam Mahfud MD.

"Akan kita kaji dulu. Yang jelas harus ada perubahan, tidak boleh seperti sekarang. Tapi kita tunggu dulu agar Polri merampungkan kasus Duren Tiga dalam kasus pidana sampai ke kejaksaan," jelas Mahfud MD.

Baca juga artikel terkait REVISI UU POLRI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri