tirto.id - “Ini adalah pilihan terakhir pemerintah yaitu mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapatkan subsidi akan mengalami penyesuaian.”
Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi pada Sabtu siang, 3 September 2022. Jokowi mengaku pemerintah harus membuat keputusan sulit di tengah situasi kenaikan harga minyak dunia.
Pemerintah, kata Jokowi, sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, anggaran subsidi dan kompensasi 2022 telah meningkat tiga kali lipat. Dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Anggaran itu diperkirakan akan meningkat terus sampai akhir tahun.
Secara kalkulasi, angka Rp502,4 triliun ini dihitung berdasarkan dari rata-rata ICP yang bisa mencapai 105 dolar AS per barel dengan kurs Rp14.700 per dolar AS, serta volume Pertalite yang diperkirakan akan mencapai 29 juta kilo liter dan volume solar bersubsidi yaitu 17,44 juta kilo liter.
Namun, jika harga ICP turun ke 90 dolar AS per barel hingga Desember 2022, maka rata-rata satu tahun ICP Indonesia masih mencapai 99 dolar AS per barel. Kalaupun harga ICP turun hingga di bawah 90 dolar AS per barel, maka keseluruhan tahun rata-rata ICP Indonesia masih di 97 dolar AS per barel.
Dengan perhitungan ini, angka kenaikan subsidi dari Rp502 triliun masih akan tetap naik. Menjadi Rp653 triliun bila harga ICP adalah rata-rata 99 dolar AS per barel. Sedangkan jika harga ICP di 85 dolar AS per barel sampai Desember 2022, maka kenaikan subsidi menjadi Rp640 triliun.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan, lebih dari 70 persen subsidi saat ini justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil-mobil pribadi. Mestinya, uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu.
Oleh karena itu, sebagian subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran. Pemerintah sendiri menyiapkan anggaran sebesar Rp24,17 triliun untuk bantalan sosial. Secara rinci, Bantuan Langsung Tunai (BLT) akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan anggaran sebesar Rp12,4 triliun, di mana setiap KPM akan menerima dana sebesar Rp150.000 sebanyak empat kali.
Lalu untuk Bantuan Subsidi Upah (BSU) dianggarkan sebanyak Rp9,6 triliun yang akan diberikan ke 16 juta pekerja dengan gaji maksimal Rp3,5 juta per bulan. Nantinya, setiap pekerja akan menerima bantuan sebesar Rp600.000. Serta, terdapat bantuan pada sektor angkutan umum dialokasikan sebesar Rp2,17 triliun untuk pengemudi angkutan umum, ojek, dan nelayan.
“Pemerintah berkomitmen agar penggunaan subsidi yang merupakan uang rakyat harus tepat sasaran. Subsidi harus lebih menguntungkan masyarakat kurang mampu,” tegas Jokowi.
BLT Mampu Tekan Kemiskinan?
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati meyakini, bantuan sosial pengalihan BBM subsidi diberikan kepada pemerintah sebesar Rp24,17 triliun mampu menekan angka kemiskinan di Indonesia. Saat ini, tingkat kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sampai dengan Maret 2022 berada di 9,54 persen.
"Berdasarkan hitungan dari penerima dan kalau hubungan dengan kemiskinan, dengan adanya bantuan tersebut, maka angka kemiskinan bisa ditekan lagi turun sebesar sekitar 1,07 persen untuk dua bantuan tersebut [bansos dan subsidi upah],” kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, Bendahara Negara itu memahami kenaikan harga BBM akan memiliki dampak yang cukup luas, baik dari sisi inflasi juga dari sisi kenaikan jumlah kemiskinan. Namun, pemerintah secara hati-hati terus melakukan perhitungan untuk melindungi masyarakat utamanya yang kurang mampu.
“Kenaikan dari bantuan sosial sebanyak Rp24,17 triliun yang tadi mengcover 20,65 juta keluarga atau kelompok penerima, ini diperkirakan mencapai 30 persen keluarga termiskin di Indonesia,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dia meyakini adanya kenaikan harga BBM bersubsidi yakni Pertalite dan solar akan membuat 40 persen kelompok masyarakat yang kurang mampu akan mengalami penurunan daya beli hingga Rp8,1 triliun. Sehingga dengan adanya kenaikan bansos diharapkan akan mengurangi beban mereka.
“Kami harapkan bisa mengurangi beban mereka yang tadi kita sebutkan 40 persen terbawah akan menghadapi juga tekanan akibat inflasi maupun kenaikan dari Pertalite dan solar ini,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, jika tidak ada tambahan bansos tersebut tentu kenaikan harga BBM akan mempengaruhi garis kemiskinan. Sebab, kenaikan harga BBM akan menyebabkan terjadinya inflasi yang berimbas pada peningkatan biaya hidup sehingga meningkatkan kemiskinannya.
“Ini yang kemudian kita hitung bersama-sama. Oh, ternyata kalau diberikan bansos, kita bisa sama-sama jaga daya beli khususnya yang miskin dan rentan," kata Febrio.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, bansos yang diberikan pemerintah menyasar masyarakat yang masuk ke dalam golongan desil satu hingga desil empat. Kelompok orang miskin terdapat di desil satu, maka dengan pemberian bansos hingga desil empat telah mencakup kelompok masyarakat terbawah.
“Orang miskin sekarang di 10 persen terbawah, itu desil satu. Jadi orang miskin itu di desil satu. Lalu kita siapkan bantalannya untuk sampai desil empat. Jadi turun dari mana dia ke desil satu? Mungkin enggak dari desil enam turun ke desil satu? Ya mudah-mudahan gak ada," ungkap dia.
Sebagai informasi, desil satu merupakan kelompok ekonomi terbawah, yang selama ini menerima bansos seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Sembako, dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Lalu desil dua dipandang sebagai masyarakat dengan kelas menengah ke bawah yang rawan miskin. Masyarakat yang masuk desil dua selama ini mendapatkan bansos berupa KIP, Program Sembako dan KIS.
Kemudian desil tiga dianggap sebagai masyarakat kelas menengah yang rentan miskin apabila terjadi goncangan ekonomi. Pada desil tiga ini bansos yang diberikan oleh pemerintah adalah program sembako dan KIS. Serta desil empat adalah yang dianggap sebagai masyarakat yang sudah mampu secara finansial, tapi apabila ada goncangan ekonomi menjadikan masyarakat digolongkan ini hampir miskin.
Pemberian BLT jadi Alternatif Jangka Pendek
Di sisi lain, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, lebih baik subsidi BBM yang ditambahkan daripada dialihkan ke bantuan sosial. Menurutnya bansos yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu empat bulan, tidak akan cukup dalam mengompensasi efek kenaikan harga BBM.
“Lebih baik subsidi BBM ditambah dibanding dialihkan ke bansos," kata dia kepada Tirto.
Dia mencontohkan ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga Rp7.650 per liter, sekarang harga Rp10.000 per liter mereka justru akan turun kelas jadi orang miskin. Data orang rentan miskin ini menurutnya sangat mungkin tidak tercover dalam BLT BBM, karena adanya penambahan orang miskin usai kebijakan BBM subsidi naik.
“Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat,” kata Bhima.
Sementara itu, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani menilai, paket kebijakan pemerintah dengan memberikan bansos BLT, relatif bisa menjawab potensi masalah dalam menjaga daya beli masyarakat. Namun hal itu hanya bersifat jangka pendek saja.
Menurut Ajib, pemerintah tidak memikirkan bagaimana akan menjaga inflasi ketika belum ada regulasi yang didorong untuk mengendalikan inflasi. Ia bahkan memperkirakan proyeksi inflasi akan terkerek di atas 4 persen secara agregat di akhir 2022.
“Jadi, pemerintah sudah relatif bisa menjaga potensi masalah jangka pendek atas tertekannya daya beli masyarakat, tapi masih ditunggu kebijakan strategis jangka panjang untuk bisa mengendalikan meroketnya inflasi," kata Ajib kepada Tirto.
Terkait bansos, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengingatkan selalu ada potensi penyelewengan dalam praktik penyaluran dana bansos atas pengalihan subsidi BBM. ICW bersama dengan jaringan masyarakat sipil pernah merilis kajian pada 2021 yang mengungkapkan permasalahan bansos terletak pada beberapa hal, termasuk persoalan pendataan, potensi korupsi, distribusi, dan transparansi data penerima bansos.
Salah satu persoalannya misalnya, saat itu Menteri Sosial Tri Rismaharini mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 31 ribu Aparatur Sipil Negara (ASN), baik aktif maupun telah pensiun, yang terdata menerima bansos. Data yang diungkap menteri sosial itu semakin menegaskan bahwa data penerima bansos masih tidak valid dan proses pendataannya bermasalah.
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) juga disebut kurang transparan bagi publik padahal menjadi rujukan utama data penyaluran bansos dari pemerintah pusat. Namun, Risma menyatakan pihaknya bakal memperbarui DTKS setiap bulan untuk memastikan BLT BBM tepat sasaran.
Sementara terkait pengguna BBM subsidi, Menkeu Sri Mulyani menyebut konsumsi dan subsidi BBM lebih dinikmati oleh rumah tangga mampu. Dalam konferensi pers Kemenkeu terkait Kebijakan BBM, ia menyampaikan bahwa 86 persen konsumsi pertalite dinikmati oleh rumah tangga dan 14 persen sisanya dinikmati dunia usaha.
Dari yang dinikmati rumah tangga, 80 persen konsumsi pertalite atau 15,89 juta kilo liter (KL) dinikmati rumah tangga mampu dan 20 persen atau 3,94 juta KL dinikmati rumah tangga miskin. Begitu juga konsumsi solar yang didominasi rumah tangga mampu, angkanya tercantum pada bagan di atas. Data yang digunakan Menkeu ini bersumber dari Susenas BPS Maret 2021.
Laporan World Bank juga mengindikasikan hal senada, bahwa subsidi BBM sebagian besar menguntungkan kelas menengah dan atas. Tanpa penyesuaian harga dan penargetan, peningkatan subsidi energi akan secara tidak proporsional menguntungkan rumah tangga berpenghasilan tinggi dan berkontribusi pada defisit fiskal yang lebih tinggi. Oleh karena itu, World Bank menyebut, Indonesia mesti beralih ke dukungan yang ditargetkan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz