tirto.id - “Sungguh miris, tragis, dan menyakitkan hati saya dan keluarga tidak ada kabar sakit atau apa pun itu dari anak saya [AM], tiba-tiba dapat kabar dari pengasuhan Gontor 1 telah meninggal dunia,” tulis orang tua AM, Soimah melalui Instagram pribadinya @soimah_didi.
Soimah merupakan ibunda AM (17), seorang santri Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur asal Palembang yang tewas dianiaya oleh kakak kelasnya.
Soimah mengaku menerima kabar duka kematian anaknya dari pengasuh Gontor pada Senin, 22 Agustus 2022 pukul 10.20 WIB setelah mengikuti kegiatan.
Akan tetapi, yang membuat keluarganya janggal yaitu mengenai surat kematian yang menyatakan bahwa sang anak meninggal pada pukul 06.45.
“Ada apa! Rentang waktu itu menjadi pertanyaan keluarga kami,” ucapnya.
Setelah mendengar kabar duka itu, Soimah mengaku syok dan tidak bisa berpikir apa-apa. Dia hanya berharap kedatangan anak sulungnya itu ke Palembang meskipun hanya tinggal mayat.
Akhirnya jenazah sang putra tiba di Palembang pada Selasa siang (23/8), diantar oleh pihak Gontor 1 dipimpin ustaz Agus. "Itu pun saya tidak tahu siapa ustaz Agus itu hanya sebagai perwakilan," ujarnya.
Para pelayat pun telah ramai menyambut jenazah AM di kediamannya. Di hadapan para pelayat, Soimah menyampaikan kronologi bahwa sang putra meninggal dunia karena terjatuh akibat kelelahan mengikuti Perkemahan Kamis Jumat (Perkajum). Mengingat AM dipercaya sebagai ketua acara tersebut.
“Mungkin alasan itu bisa kami terima bila sesuai dengan kenyataan kondisi mayat anak saya," tuturnya.
Akan tetapi kenyataannya, karena banyak laporan-laporan dari wali santri lainnya bahwa kronologi tidak demikian, Soimah beserta keluarga meminta agar mayat dibuka.
“Sungguh sebagai ibu saya tidak kuat melihat kondisi mayat anak saya demikian, begitu juga dengan keluarga. Amarah tak terbendung kenapa laporan yang disampaikan berbeda dengan kenyataan yang diterima," imbuhnya.
Lantaran tak sesuai, akhirnya Soimah menghubungi pihak forensik dan rumah sakit untuk melakukan autopsi. Namun, setelah pihak keluarga mendesak pihak Pesantren Gontor 1 yang mengantar jenazah, akhirnya mereka mengakui bahwa AM meninggal akibat terjadi kekerasan.
“Saya pun tidak bisa membendung rasa penyesalan saya telah menitipkan anak saya di sebuah pondok pesantren yang notabene nomor satu di Indonesia,” kata dia.
Soimah pun meminta kepada pemerintah untuk memberikan keadilan atas kematian putranya itu dan dapat membantu menuntaskan kasus tersebut.
Apa yang Harus Dilakukan?
Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian, Alissa Wahid menyayangkan terjadi kasus kekerasan di Pondok Modern Gontor yang mengakibatkan satu orang santri meninggal dunia.
Menurut dia, penyebab kejadian tersebut karena adanya relasi kuasa atau senioritas antara kakak kelas sebagai pelaku dan AM yang merupakan adik tingkatnya yang menjadi korban.
“Sekarang relasi kuasa semakin menguat, murid kuat membuli yang lemah, karena mereka merasa yang berkuasa, kalian yang dikuasai harus nurut, sehingga tindakan senior ke junior tidak ada batasan, menjamurnya perasaan sok berkuasa," kata Alissa kepada Tirto, Rabu (7/9/2022).
Dengan adanya kondisi seperti ini, putri Presiden ke-4 Gus Dur ini meminta Kemenag membuat kebijakan berupa mekanisme penanganan kekerasan di lingkungan pesantren agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
“Bukan hanya unit reaksi untuk menindak, tapi juga unit pencegahan agar dapat mencegah kejadian tidak terulang lagi," ucapnya.
Kemudian, Kemenag diminta melibatkan seluruh asosiasi pesantren hingga pemerintah daerah untuk menangani kasus kekerasan. Selain itu, memperkuat pendidikan karakter para santri.
“Saya berharap kasus ditindaklanjuti, penegakan hukum menanganinya, dan yang penting bangun sistem agar peristiwa tidak terjadi lagi,” kata Alisa yang juga Ketua PBNU ini.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyatakan, seharusnya Kementerian Agama harus memiliki kebijakan khusus untuk menangani hal ini agar peristiwa serupa tidak kembali terulang. Sebab, ini sudah sering terjadi.
Misalnya kebijakan pencegahan kekerasan di pesantren yang meliputi banyak hak, seperti edukasi pesatren ramah anak, mekanisme pengawasan dan pelaporan, dan seterusnya.
Kebijakan ini juga harus didiskusikan secara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait, kata Ubaid.
“Seringkali kebijakan pemerintah tidak jalan di lapangan karena kebijakan bak turun dari langit tanpa mengajak dialog dan diskusi mendalam dengan pihak terkait," kata Ubaid kepada Tirto, Rabu (7/9/2022).
Kasus kekerasan di lingkungan pesantren memang bukan hanya terjadi di Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur saja. Tetapi juga pernah terjadi di tempat lainnya.
Seperti kasus kekerasan hingga menyebabkan santri tewas terjadi di Ponpes Darul Qur'an Lantaburo di Kelurahan Ketapang, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Seorang santri berinisial RAP (13) meninggal dunia usai dikeroyok 12 santri lainnya.
Pondok Serahkan ke Proses Hukum
Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur mengatakan akan mengikuti proses hukum yang berlaku terkait wafatnya AM (17) yang dianiaya oleh kakak kelasnya.
Juru Bicara Pondok Modern Darussalam Gontor, Noor Syahid mengatakan, pihak kepolisian Resort Ponorogo telah melakukan penyelidikan di lokasi kejadian pada Selasa (6/9).
“Bersama dengan keluarga almarhum dan aparat kepolisian, kami berkomitmen kuat untuk menyelesaikan kasus ini sampai tuntas dengan mengikuti setiap proses hukum yang ada," kata Syahid melalui keterangan tertulis.
Dia mengklaim sama sekali tidak punya niatan untuk menutup-nutupi kasus dugaan penganiayaan yang berujung wafatnya AM, apalagi sampai menghalang-halangi proses hukum pengungkapan kasus ini.
Sebaliknya, Pondok Modern Gontor justru berharap kasus ini dapat diselesaikan dengan terbuka dan transparan sesuai aturan hukum yang berlaku. Ia mengatakan pihaknya tak memungkiri terkait adanya dugaan tindakan penganiayaan terhadap wafatnya AM.
“Secara detailnya seperti apa, kami serahkan sepenuhnya kepada pihak kepolisian, termasuk terkait motif di balik dugaan penganiayaan," ucapnya.
Sebagai wujud komitmen, Syahid mengatakan pihaknya telah mengeluarkan semua pelaku kekerasaan dari pondok pada hari yang sama ketika AM dinyatakan wafat.
“Inilah sanksi terberat di dalam pendidikan Gontor. Nantinya, jika terkait hukum negara, tentunya kami serahkan kewenangannya kepada pihak kepolisian,” kata dia.
Polres Ponorogo telah menangkap dua pelaku penganiaya AM hingga tewas. Polisi melakukan pengumpulan barang bukti serta pra-rekonstruksi. Ditemukan ada total 50 adegan dirangkum dari awal sampai akhir korban berada di IGD.
Polisi juga menyita barang bukti berupa pentungan, air mineral, minyak kayu putih, hingga becak.
Kemenag Segera Terbitkan Aturan
Kemenag mengatakan akan segera menerbitkan regulasi sebagai langkah mitigasi dan antisipasi agar tidak terjadi kasus kekerasan serupa di lingkungan pendidikan agama dan keagamaan.
“Kekerasan dalam bentuk apa pun dan di manapun tidak dibenarkan. Norma agama dan peraturan perundang-undangan jelas melarangnya,” kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, Waryono Abdul Ghofur, di Jakarta, Selasa (6/9/2022).
Kemenag saat ini terus memproses penyusunan regulasi pencegahan tindak kekerasan pada pendidikan agama dan keagamaan. Menurutnya, saat ini regulasi tersebut sudah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
“Rancangan Peraturan Menteri Agama tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan mudah-mudahan tidak dalam waktu lama dapat segera disahkan,” ucapnya.
Kemenag turut berduka cita atas meninggalnya AM atas tindak kekerasan seniornya. Sejak peristiwa ini mencuat, kata Waryono, Kemenag segera berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur.
Pihak Kanwil selanjutnya menerjunkan tim dari Kantor Kemenag Kabupaten Ponorogo untuk menemui para pihak dan mengumpulkan berbagai informasi di lokasi kejadian.
“Kami mengapresiasi langkah Pesantren Gontor yang telah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka, memberikan sanksi kepada para pelaku, dan berkomitmen terhadap upaya penegakan hukum," jelas Waryono.
Waryono berharap semua lembaga pendidikan agama dan keagamaan, dapat melakukan langkah-langkah penyadaran dan pencegahan tindak kekerasan sejak dini agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
“Edukasi kepada semua pihak diperlukan, pengasuh dan pengola meningkatkan pengawasan dan pembinaan, agar tindak kekerasan tidak terulang lagi,” kata dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz