tirto.id - Keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru disahkan pada Selasa 12 April 2022, kini harus diuji dengan kasus dugaan pelecehan seksual Putri Candrawathi. Walau tak ada laporan, tapi penyidikan tetap berjalan.
Bahkan kasus dugaan pelecehan seksual yang dilaporkan oleh Putri mulanya telah dihentikan dengan SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan oleh Bareskrim Polri karena tak cukup bukti. Kini harus didalami kembali dengan locus delicti yang berbeda, dari sebelumnya Duren Tiga, Jakarta Selatan dan saat ini berubah ke Magelang.
Hal tersebut termasuk rekomendasi Komnas HAM yang menyebut adanya pelecehan seksual yang dialami oleh Putri dalam investigasi mereka. Komnas HAM sebut kasus pelecehan seksual yang mereka temukan berbeda dengan yang telah di-SP3.
“SP3-nya polisi itu adalah untuk laporan dugaan pelecehan seksual yang 8 Juli. Sementara yang disampaikan Komnas HAM dan Komnas Perempuan adalah dugaan untuk peristiwa 7 [Juli 2022] yang belum pernah diselidiki oleh pihak kepolisian," kata Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga pada Jumat 2 September 2022.
Walaupun dalam proses rekonstruksi kasus kematian Brigadir J pada Selasa (30/8/2022) tidak ditampilkan adanya kekerasan seksual, tapi Sandra menyebut hal itu tidak perlu ditampilkan karena dalam aturan UU TPKS hal itu tidak diperlukan.
“Menurut informasi dari Pak Anam [Choirul Anam, anggota Komnas HAM] yang hadir saat rekonstruksi memang peristiwa dugaan kekerasan seksual tidak direkonstruksi seperti yang diceritakan, atau mungkin memang dibuat tertutup. Karena berdasarkan UU TPKS hal-hal tersebut memang bukan sesuatu yang harus dibuka secara transparan,” kata dia.
Selain karena desakan Komnas HAM, Komnas Perempuan juga mendesak agar kasus pelecehan Putri dibuka kembali. Mereka menyebut bahwa alasan dibukanya kasus ini karena hak perempuan memperoleh perlindungan telah diatur dalam UU TPKS.
“Dan kita juga sudah punya UU TPKS yang memiliki amanat tertentu untuk seseorang yang melapor kasus kekerasan seksual,” kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani pada Kamis (11/8/2022).
Komnas Perempuan mengklaim mereka sudah melakukan investigasi dan wawancara dengan Putri Candrawathi.
“Sebelum kerja bersama dengan Komnas HAM itu, Komnas Perempuan sudah pernah menjumpai Ibu Putri. Pasca kerja sama Komnas Perempuan dengan Komnas HAM ini sedang kami koordinasikan," terangnya.
Mendapat laporan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komisaris Jenderal Pol Agus Andrianto mengaku mengalami kesulitan untuk mengusut kasus pelecehan seksual tersebut. Hal itu diakibatkan minimnya barang bukti dan terbatasnya keterangan saksi.
Selain itu, dalam Pasal 24 dan 25 UU TPKS dijelaskan keterangan saksi dan korban cukup membuktikan terdakwa untuk bersalah. Lalu, dibenarkan atau disalahkan perkara tersebut di proses persidangan oleh hakim.
“Saya pernah ungkapkan yang tahu hanya Allah, PC dan Alm Brigadir J [mengenai kejadian yang ada di Magelang]” kata Agus dalam pesan singkat pada Senin (5/9/2022).
Agus juga tidak memungkiri bahwa pihaknya mengalami kesulitan untuk menyidik perkara dugaan pelecehan seksual yang tumpang tindih dengan proses pengusutan kematian Brigadir J. Mengingat UU TPKS mengatur dengan satu alat bukti yaitu keterangan korban, proses laporan dapat dilanjutkan secara hukum.
“Hal itu yang menjadi kesulitan, oleh karenanya apa pun yang dinarasikan (oleh korban) bagi kami dalam perspektif penyidik harus didukung oleh alat bukti yang ada," jelasnya.
Meski demikian, keterangan Putri tetap akan diuji silang dengan keterangan para saksi lain seperti Kuat Ma'ruf, sopir Ferdy Sambo yang telah menjadi tersangka dan Susi pembantu rumah yang ada di lokasi kejadian. Uji keterangan juga akan ditambahkan dari temuan penyidik dan rekomendasi Komnas Ham dan Komnas Perempuan.
“Kebenaran hakiki hanya milik Allah SWT, kebenaran duniawi tentunya didasari atas keterangan saksi dan bukti. Orang yang baik itu siapa? Yang baik itu apabila aibnya belum dibukakan Allah SWT, kalau dibuka, maka anak pun bisa menjauh dari kita,” ujarnya.
Ujian Polri Menegakkan UU TPKS
UU TPKS yang butuh waktu lama untuk disahkan dan pasang surut dalam penolakan, ternyata harus diuji coba dalam kasus dugaan pelecehan seksual Putri Candrawathi yang notabene juga tersangka dalam kasus kematian Brigadir J.
Anggota DPR RI dari Fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah menyebut, aparat penegak hukum terutama Polri harus belajar banyak pasal demi pasal dari UU TPKS. Dirinya meminta agar undang-undang yang dirancang untuk melindungi korban kekerasan seksual malah melindungi pelaku yang harus dihukum.
“Saya meminta untuk aparat penegak hukum harus profesional dan hati-hati, harus independen dan kompeten karena ini akan menjadi yurisprudensi dalam kasus serupa di kemudian hari," kata Luluk saat dihubungi reporter Tirto pada Senin (5/9/2022).
Luluk meminta para penegak hukum yang akan menangani kasus kekerasan seksual harus mendapatkan pelatihan khusus. Terutama pelatihan dalam penerapan UU TPKS dalam suatu kasus.
“Aparat penegak hukum harus paham dalam UU TPKS, dan mereka secara khusus yang menangani kasus ini (kekerasan seksual) mendapatkan training. Namun apabila tidak ada aparat penegak hukum yang bisa dan memenuhi kualifikasi, maka harus dicari yang sesuai dan berpengalaman," terangnya.
Dalam kasus Putri Candrawathi, Luluk meminta Polri memenuhi unsur keadilan, terutama perasaan masyarakat. Sehingga UU TPKS ini masih bisa melindungi dan mengayomi masyarakat terutama mereka yang menjadi korban kekerasan seksual.
“Demi keadilan karena terduga pelaku sudah meninggal dunia, maka harus dibuktikan apakah laporan Ibu Putri itu benar atau palsu," tegasnya.
Ia menambahkan, “Oleh karenanya, jika kamu bukan korban tapi membuat laporan palsu, maka itu delik pidana dan bisa dituntut balik.”
Namun dia mengingatkan bahwa para korban untuk tetap melaporkan dan agar tidak takut. " Jika kamu korban, meski nggak ada saksi, kamu nggak takut melapor," ungkapnya.
Mengembalikan UU TPKS Sesuai Fitrahnya
Para aktivis perempuan yang ikut merancang dan mendorong terbentuknya UU TPKS menyesalkan penggunaan undang-undang tersebut untuk membela Putri Candrawathi yang telah ditetapkan sebagai tersangka kematian Brigadir J.
Direktur Lembaga Hukum APIK, Nursyahbani Katjasungkana menyebut, Komnas HAM dan Komnas Perempuan menutup mata perihal peristiwa sadis kematian Brigadir J.
“Apakah mereka lupa dengan adanya motif kejahatan seksual, maka kasus Sambo bisa rusak? Apakah mereka tidak tahu bahwa Sambo membunuh dengan cara sadis padahal Brigadir J tidak bersenjata? Kemudian kejadian pelecehan seksual menjadi salah satu cara untuk skenario bodong dalam menutupi kasus tersebut,” jelasnya.
Ia meminta para penegak hukum, baik Polri maupun kejaksaan untuk lebih berfokus pada penyebab kematian Brigadir J. Adapun premis perkosaan menurutnya sudah gugur dan dirinya menyebut sejumlah analisa psikologi yang hal itu tidak mungkin dilakukan.
“Premis perkosaan dalam kasus itu sebenarnya sudah tak terpenuhi, hal itu yang disampaikan oleh Psikolog Reza Indragiri,” kata Nursyahbani.
Selain itu, Koordinator Seknas Forum Pengada Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan, Veni Siregar menyesalkan, mengenai berlanjutnya proses penyidikan kasus dugaan pelecehan seksual Putri Candrawathi. Hal itu berpotensi membuat Putri lepas dari statusnya sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J.
“Pembangunan opini, menggiring pandangan masyarakat bahwa kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi menjadi dasar dan alasan pembenar terjadinya pembunuhan yang dilakukan Ferdy Sambo. Hal ini menjadi bencana dalam pemenuhan hak asasi manusia dan kemanusaiaan di Indonesia. Juga menjadi situasi yang dapat membuat UU TPKS berpotensi tidak mendapat kepercayaan publik," jelasnya.
Oleh karenanya, kata dia, perlu ada pelatihan bagi aparat penegak hukum terutama dalam menghadapi isu kekerasan yang berbasis gender.
“Hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama, bahwa menggunakan isu kekerasan berbasis gender di mana saat ini sedang menyita perhatian masyarakat membutuhkan analisa mendalam untuk memastikan,” kata Veni.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz