Menuju konten utama

7 Masalah yang Muncul saat Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Penunjukan secara eksklusif menjadi satu dari tujuh masalah yang kerap muncul soal pengangkatan penjabat kepala daerah menurut Perludem.

7 Masalah yang Muncul saat Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini bersama Ketua KPU Arief Budiman memberikan paparan saat menjadi narasumber dalam diskusi polemik di Jakarta, Sabtu (17/3/2018). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan setidaknya ada tujuh masalah yang melingkupi pengangkatan penjabat (pj) kepala daerah.

Masalah-masalah itu mulai dari munculnya spekulasi tertentu akibat luasnya wilayah yang memerlukan penjabat hingga kekhawatiran terhadap optimalisasi pelayanan publik.

"Jadi penjabat itu terjadi di wilayah yang sangat besar banyak dan juga akan beririsan dengan pelaksanaan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Apalagi misalnya ada spekulasi yang berkaitan dengan kebutuhan untuk pemenangan Pilpres, karena kalau ingin menang Pilpres katanya harus dapat suara 50% + 1 dari total suara sah yang tersebar di paling sedikit 50% provinsi," Kata Titi dalam Webinar bertajuk 'Menjaga Netralitas Birokrasi dalam Era Penjabat Kepala Daerah' Rabu (15/6/2022).

Permasalahan kedua menurut Titi adalah masa jabatan penjabat kepala daerah yang panjang. Jika biasanya mereka hanya menjabat maksimal enam bulan, saat ini bisa menjabat hingga dua tahun bahkan lebih.

Permasalahan ketiga, dasar hukum pengisian penjabat kepala daerah tidak terkodifikasi dengan baik.

"Terserak dalam banyak peraturan teknik dan masih merujuk undang-undang pemerintahan daerah yang sudah tidak berlaku yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Ini membingungkan dan mempersulit publik memahami tata cara prosedur dan mekanisme pengisian penjabat," katanya.

Ia juga menyebut bahwa absennya dasar hukum penunjukan penjabat kepala daerah tersebut melahirkan permasalahan keempat, yaitu pengisian jabatan yang dilakukan secara eksklusif.

"Ada spekulasi kalau sekedar Gubernur yang mengusulkan bisa saja kemudian untuk mengamankan kepentingan, apakah partai politiknya atau kah kepentingan dia ketika ingin misalnya maju berkontestasi kembali, katanya.

Permasalahan yang kelima adalah diangkatnya personel TNI Polri menjadi penjabat kepala daerah. Padahal, menurut Titi, TNI dan Polri tidak dapat menjadi penjabat kepala daerah kecuali telah mengundurkan diri dari dinas aktif dan berstatus JPT Madya atau JPT Pratama sesuai ketentuan UU Aparatur Sipil Negara.

Masalah yang keenam, menurut Titi adanya kekhawatiran menghidupkan narasi desentralisasi melalui peran besar pemerintah dalam penunjukan pj kepala daerah.

Permasalahan yang terakhir menurut Titi, yaitu adanya potensi beban ganda penjabat yang juga tetap memangku jabatan utama. Hal tersebut dikhawatirkan membuat tata kelola pemerintahan daerah berjalan tidak efektif dan pelayanan publik terhambat.

Baca juga artikel terkait PENJABAT KEPALA DAERAH atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Politik
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Bayu Septianto