tirto.id - Pemilihan umum serentak legislatif dan presiden-wakil presiden memang masih lama, yaitu 14 Februari 2024, tapi manuver-manuver politik sudah mulai ramai, terutama di media sosial. Salah satunya upaya “menelanjangi” rekam jejak kandidat, bahkan serangan yang bersifat personal.
Akibatnya, jurus saling lapor pun mulai terjadi seperti kasus perselisihan Menteri BUMN Erick Thohir dan pegiat media sosial Faisal Assegaf. Kuasa hukum Erick melaporkan Faisal ke Bareskrim Polri pada 26 Agustus 2022 dengan dugaan penyebaran berita bohong.
“Faizal Assegaf telah melakukan fitnah keji atas klien kami Menteri BUMN Erick Thohir. Faizal mengunggah video ucapan dari pengacara Kamaruddin Simanjuntak berisi tudingan terhadap Dirut Taspen yang menurutnya mengelola dana capres Rp300 triliun,” kata Ifdhal Kasim, salah satu kuasa hukum Erick seperti dikutip Antara.
Tindakan Faizal tersebut, kata Ifdhal, bukanlah bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh undang-undang dan konstitusi, melainkan secara jelas melanggar hukum pidana serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Faisal pun merespons dengan ancaman akan melaporkan Erick ke Dewan Pers karena telah mendiskreditkan namanya. Faisal menyebut, tudingan media milik Erick melakukan pencemaran nama baik terhadapnya.
“Dia sebagai pemilik modal di sana, melakukan penghardikan atas nama jurnalisme secara culas. Karena dari 12 berita yang dimuat secara beruntun, itu tidak memberi ruang yang seimbang dan objektif. Isinya mobilisasi opini yang menyesatkan. Dan fakta-fakta itu nanti akan menjadi pertimbangan kami untuk kami adukan ke Dewan Pers,” kata Faizal kepada Tirto, Kamis (15/9/2022).
Faisal juga bercerita datang ke Mabes Polri dengan membawa dokumen bahwa Erick adalah pembohong besar. Pria yang dikenal sebagai aktivis itu juga mengklarifikasi tuduhan kuasa hukum Brigadir Novriansyah atau Brigadir J, Kamarudin Simanjuntak.
“Bukan diperiksa. Undangan konfirmasi. Nggak ada surat di situ. Saya luruskan. Nggak ada pemeriksaan. Undangan konfirmasi, klarifikasi. Yang diklarifikasi tuduhan mereka itu. Tuduhan bahwa saya menambahkan narasi dalam video Kamaruddin itu," ujar Faizal.
Dalam konteks ini, Faisal mengunggah video bahwa Ercik memiliki banyak istri lewat akun media sosialnya. Faisal juga dilaporkan Erick gara-gara video Kamarudin yang mengatakan Dirut PT Taspen mengelola uang untuk pencapresan Erick sebanyak Rp300 triliun.
Sebagai catatan, Erick adalah salah satu kandidat bakal calon presiden dan wakil presiden potensial yang akan maju pada Pemilu 2024. Ia disebut-sebut layak berpasangan dengan Ganjar Pranowo pada pemilu mendatang dan namanya masuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Kasus Faisal vs Erick bukan yang pertama. Pegiat media sosial lain, Denny Siregar juga terekam pernah melontarkan kritik kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Denny menyinggung Anies sebagai bapak politik identitas di media sosial.
Sama dengan Erick, Anies diisebut-sebut sebagai kandidat potensial pada Pilpres 2024. Partai Nasdem bahkan telah memasukkan nama Anies sebagai satu dari tiga calon kandidat yang direkomendasikan dalam rapimnas parpol beberapa waktu lalu. Calon mitra koalisi Nasdem, yaitu Demokrat dan PKS juga telah memberikan sinyal akan mendukung Anies.
Selain dua contoh di atas, ada juga pengamat politik Rocky Gerung yang menyindir personal Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Rocky sebut Ganjar sebagai ‘anak asuh’ Jokowi dan disiapkan menjadi penggantinya.
Kontraproduktif Bila Menyerang Personal
Pemerhati politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Reza Haryadi menilai, wajar bila para tokoh mendapat penilaian publik. Penilaian itu sah dilakukan dalam konteks demokrasi, selama penilaian diikuti dengan evaluasi praktik kekuasaan, kebijakan, beserta data yang kuat.
Namun, Ade menilai evaluasi akan menjadi kontraproduktif bila aksinya masuk dalam upaya kampanye hitam seperti fitnah yang tidak diikuti informasi valid atau tidak relevan serta upaya menyerang pribadi seseorang.
“Kalau apa yang dilakukan pegiat medsos itu dalam kerangka evaluasi kritis terhadap track record, terharap kebijakan, praktik kekuasaan yang dimiliki, saya kira ini dapat memperkuat profiling para kandidat potensial. Tapi kalau yang dimaksudkan adalah untuk black campaign, saya kira ini dapat mendistorsi demokrasi dan menjadi bisa dipahami ketika para tokoh yang merasa menjadi korban kampanye hitam mengambil langkah-langkah yang bersifat defensif, termasuk mengambil tindakan-tindakan hukum,” kata Ade kepada reporter Tirto.
Ade menuturkan, pola serangan yang menyasar integritas, kredibilitas, dan pribadi seseorang, maka berpotensi akan mengganggu citra politik seseorang. Publik berpotensi terpengaruh akibat serangan terus-menerus yang menyasar integritas maupun citra politik.
Ade juga menuturkan, serangan-serangan yang mulai menyasar di media sosial karena angka pengguna media sosial yang tinggi. Selain itu, kata Ade, 70 persen pengguna media sosial rerata adalah pemilih Indonesia. Angka besar tersebut bisa menjadi alat media political campaign termasusk negative campaign maupun black campaign, apalagi media sosial sudah menjadi sumber literasi publik.
Ia mengingatkan, arus informasi yang cepat dan banyak membuat masyarakat berpotensi terjebak post-truth. Sebab, kata dia, masyarakat terpapar informasi beragam, kompleks dan intens sehingga masyarakat sulit mengelola informasi.
Kesulitan itu mengakibatkan masyarakat lebih menggunakan perasaan dalam memutuskan informasi, kata Ade. Pada akhirnya, masyarakat menjadi mengambil keputusan berbasis perasaan dan segelintir orang punya kepentingan dalam mengelompokkan kanal informasi sesuai perasaan.
Namun demikian, Ade mengingatkan, aksi pegiat medsos yang menyasar pada kandidat capres cawapres potensial itu perlu dikritisi. Karena, kata dia, apakah serangan itu dilakukan secara mandiri atau proxy dari kepentingan tertentu.
“Misalkan begini, saya melakukan kritik, mengevaluasi dan melakukan negative campaign, misalkan. Di dalam persoalan demokrasi, negative campaign dimungkinkan dalam gerakan kritik evaluasi kebijakan dan lain sebagainya. Beda misalkan black campaign atau propaganda hitam yang tidak jelas asal usulnya, buktinya nggak jelas, dan dimaksudkan menyerang kredibilitas dan character assassination misalkan," kata Ade.
Sementara itu, dosen komunikasi politik Universitas Telkom sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menilai, aksi pegiat medsos sebagai upaya agitasi politik. Ia menilai, agitasi bukan hal baru dalam pergelaran pilpres, tapi bisa merusak situasi masyarakat.
“Agitasi buruk pada tokoh tertentu di gelaran pilpres itu bukan hal baru, meskipun bisa dimaklumi, tetapi itu berbahaya dan merusak tatanan sosial kita. Semestinya penguasa fokus lakukan pemberantasan pada aktivitas pegiat medsos itu, jika tidak, maka penguasa dianggap merestui dan ada di balik gerakan pegiat medsos itu. Terlebih, jika diketahui, agitasi itu hanya dialamatkan pada tokoh non-afiliasi penguasa saat ini,” kata Dedi kepada Tirto.
Dedi menilai, aksi Denny Siregar dan kelompok serupa dapat dikategorikan bisa merusak meski dalihnya adalah kebebasan berekspresi. Situasi itu menjadi tameng atas nama pencemaran nama baik, bullying politik atau bentuk lain.
Dedi mengakui, aksi agitasi secara terus-menerus akan berdampak buruk bagi reputasi tokoh. Namun, kabar baik bagi tokoh capres atau cawapres potensial adalah publik bisa jenuh apabila diserang secara terus-menerus. Publik bisa saja bersimpati dengan kandidat potensial akibat serangan-serangan agitatif.
Menurut Dedi, para kandidat potensial seperti Anies atau Erick yang diserang perlu melakukan kontra narasi. Sebagai contoh, Anies bisa melawan narasi tidak dekat dengan partai politik atau tidak memiliki hasil kerja dengan berhubungan parpol maupun menyampaikan kesuksesan kepemimpinan DKI Jakarta.
Akan tetapi, Dedi menilai bahwa aksi agitasi di media sosial tidak akan berdampak banyak. Ia beralasan, media sosial hanya membangun kegaduhan.
“Media sosial itu sebetulnya hanya berhasil membangun keriuhan dan propaganda, tetapi belum terbukti berhasil memengaruhi pemilih di tingkatan implementasi. Artinya pemilih-pemilih di masyarakat itu lebih banyak memilih itu karena faktor pernah ketemu, karena faktor mengenal secara personal, karena faktor ketokohan seseorang. Belum ada data yang menunjukkan bahwa media sosial itu punya andil besar dalam kemenangan di pilpres," kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz