Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Saat AHY Membandingkan Kinerja Pemerintahan Era SBY & Jokowi

Kunto sebut AHY ingin mengingatkan jasa-jasa SBY. Ia berjualan SBY karena Demokrat adalah partai tokoh yang fokus ke SBY.

Saat AHY Membandingkan Kinerja Pemerintahan Era SBY & Jokowi
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengetuk palu saat membuka Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat 2022 di di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (15/9/2022). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.

tirto.id - Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY menyinggung soal program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era Presiden Joko Widodo. Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu sebut bagaimana akhirnya pemerintah Jokowi menggunakan skema BLT dalam penanganan pandemi COVID-19.

AHY menyindir program BLT karena PDIP merupakan salah satu parpol yang mengkritik gagasan BLT di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sementara Jokowi adalah kader PDIP.

“Dulu dihina-hina BLT kita. Apa itu BLT? Hanya untuk menghambur-hamburkan uang negara, dibilang kita tidak punya cara lain, padahal itulah cara yang bijaksana untuk membantu rakyat miskin. Betul? Sekarang BLT? It’s okay, sesuatu yang bagus kalau dilanjutkan, kan, nggak apa-apa, nggak usah malu-malu juga,” kata AHY dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat di Jakarta Convention Center, Kamis (15/9/2022).

Selain BLT, AHY menyinggung sejumlah prestasi SBY dan kegagalan Jokowi. Sebut saja sindiran AHY bahwa publik merindukan kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 6-7 persen. Kemudian angka pendapatan per kapita naik hingga 3,5 kali lipat. Ia juga sebut angka penurunan kemiskinan di era SBY dari dua digit 10,9 persen menjadi 9,8 persen.

Di sisi lain, Demokrat menyinggung soal kenaikan angka pengangguran yang mencapai angka 10 juta. Kemudian PDB Indonesia turun.

AHY juga menyindir soal nasib 500 ribu tenaga honorer yang tidak menentu. AHY mengklaim, Demokrat akan menaikkan mereka menjadi PNS bila berkuasa kembali.

Dalam pidatonya, AHY bahkan menyindir Jokowi sekadar hanya gunting pita karena pembangunan banyak diinisiasi di era SBY.

“Ada yang mengatakan misal zaman dulu nggak ada pembangunan infrastruktur yang nyatanya banyak. Setiap pembangunan direncanakan, dipersiapkan, dialokasikan anggarannya dan dimulai dibangun sehingga banyak yang tinggal 70 persen bahkan 90 persen [...] Sehingga proyeknya tinggal gunting pita. Setahun gunting pita. Kira-kira masuk akal nggak?” kata AHY.

AHY juga menyindir soal isu politik identitas. Ia menyinggung soal upaya pembungkaman masyarakat yang terjadi di periode pemerintahan saat ini. AHY mencontohkan aksi pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Saat disinggung soal BLT dan kritik Demokrat, Presiden Jokowi memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Namun soal BLT, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan, kebijakan tersebut diambil karena situasi dunia.

“Jadi sebetulnya yang disampaikan karena saat kita tahu memang ada kondisi yang tidak stabil, tidak seperti biasanya, maka diturunkan BLT BBM. Ini, kan, bukan terjadi hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia, jadi makanya diturunkan [BLT] BBM,” kata Risma, Jumat (16/9/2022).

Risma menilai kebijakan tersebut juga diambil sebagai amanat Pasal 34 UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.

Oposisi Harus Punya Daya Tawar

Peneliti politik dari Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, sindiran AHY adalah hal wajar yang dilakukan oposisi. Demokrat, kata Pangi, sedang berupaya memahami sentimen publik, mendengar aspirasi dan suara kegelisahan rakyat.

Pangi mencontohkan, sindiran BLT oleh AHY menandakan bahwa tindakan SBY saat jadi presiden adalah benar. “Politik sindir-menyindir itu mengingatkan kembali betapa bahwa pemerintahan Pak SBY itu selama ini tidak salah dalam konteks BLT. Mengingatkan itu,” kata Pangi kepada reporter Tirto, Jumat (16/9/2022).

Pangi juga menilai wajar bila AHY menggunakan momen rapimnas untuk menjual isu-isu kritik kepada pemerintah, karena posisi Demokrat sebagai oposisi. Menurut Pangi, oposisi harus punya daya tawar dan harus mengkritik.

Namun, Pangi menilai, Demokrat belum tentu bisa segemilang PDIP yang berposisi sebagai oposisi saat pemerintahan SBY. Sebab, posisi Demokrat saat ini tidak seperti PDIP yang 'dengan kekuatan penuh' mengkritik semua kebijakan SBY pada periode 2004-2014.

Pangi mengingatkan, Demokrat lebih mengkritik pada sebagian substansi pemerintah, sementara PDIP lantang menolak segala kebijakan SBY dan partai berlambang mercy saat berkuasa. Ia sebut, aksi sindiran AHY belum tentu akan membuat mereka yang kurang suka dengan pemerintahan Jokowi dan PDIP akan merapat ke Demokrat.

“Ini yang menjadi masalah pada oposisi dua partai (Demokrat dan PKS) sekarang, tidak efektif, tidak semaksimal PDIP. Kalau PDIP ketika pemerintahan kehilangan legitimasi, tidak populis di masyarakat, itu kan oposisinya terang dan mendapatkan limpahan elektoral, migrasi suara, yang overrating rendah, yang tidak puas kinerja pemeirntah automatically kemudian migrasi ke partai oposisi suaranya. Kan, begitu rumusnya," kata Pangi.

Pangi menambahkan, “Tapi belum efektif signifikan terhadap PKS dan Demokrat. Misalnya penolakan BBM waktu di zaman Pak SBY dilakukan PDIP sambil nangis-nangis. Itu maksimal loh hasilnya.”

Pangi sebut Demokrat bisa memperoleh suara lebih besar bila mereka bersikap keras. Sikap tersebut akan membuat publik lebih simpati pada partai. “Hantam saja gitu, jadi masyarakat makin terang hitam dan putihnya, kalau [hanya] menyindir-nyindir, kadang-kadang masyarakat kita enggak paham juga," kata Pangi.

Di sisi lain, kata Pangi, Demokrat juga bisa mendapatkan suara lebih besar dengan berjualan hasil kerja partai berlambang mercy di masa lalu. Namun, berjualan masa lalu juga dengan catatan bahwa hasil pemerintahan saat ini lebih buruk dibandingkan era SBY.

“Tapi lagi-lagi itu akan dilihat nanti elektabilitas Demokrat, kalau memang prestasi dulu itu bagus, sekarang tidak bagus, mestinya elektabilitas Demokrat masuk papan atas," kata Pangi.

Sementara itu, pemerhati politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menilai, aksi AHY menandakan bahwa Demokrat akan berhadap-hadapan dengan Jokowi. Hal itu digunakan AHY bertepatan dengan momen kenaikan BBM yang dilakukan Jokowi.

“Jadi kalau menurut saya AHY sangat memanfaatkan kondisi hari ini tentang kenaikan BBM yang dilakukan oleh Pak Jokowi dan berharap pemilih akan menghukum Pak Jokowi dan partainya gitu, sehingga memposisikan berseberangan dengan Pak Jokowi dan menyerang Pak Jokowi akan sangat menguntungkan bagi AHY dan Demokrat,” kata Kunto kepada reporter Tirto.

Kunto menilai, AHY menyinggung soal BLT sebagai bukti pemerintah mengalami 'karma' lantaran mengkritik SBY di masa lalu. Aksi tersebut juga sebagai upaya meyakinkan publik bahwa apa yang dilakukan SBY di masa lalu sudah tepat.

Di sisi lain, AHY ingin mengingatkan jasa-jasa SBY. Ia juga berjualan SBY karena Partai Demokrat adalah partai tokoh yang berfokus pada SBY. Aksi ini tidak beda dengan PDIP di masa lalu yang berjualan tokoh Sukarno untuk menjaga pemilih.

“Sekarang bisa jualan legenda atau mitos dan itu malah lebih kuat daripada tokoh yang punya darah dan daging hari ini di politik," kata Kunto.

Lantas apakah efektif berjualan SBY daripada oposisi lain? Ia mengingatkan bahwa posisi Demokrat saat ini sudah berada di atas PKS. Hal itu ditambah dengan kondisi Demokrat yang sudah terbukti memimpin.

“Orang mungkin lebih percaya pada Demokrat yang nasionalis sekuler daripada PKS yang agamis. Itu yang menjadi pembeda dan Demokrat mungkin sudah terbukti di pucuk pimpinan, sedangkan PKS belum," kata Kunto.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz