tirto.id - Pemerintah menargetkan membangun 10 bandara baru dan 43 rute jembatan udara hingga 2024. Plt Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Nur Isnin Istiartono sebut, 10 bandara ini tersebar di wilayah Indonesia.
10 bandara tersebut, antara lain: Bandara Siau, Bandara Tambelan, Bandara Nabire Baru, Bandara Baru Siboru, Bandara Baru Mentawai, Bandara Baru Mandailing Nata, Bandara Baru Pohuwato, Bandara Baru Bolaang Mongondow, dan Bandara Baru Banggai Laut.
“10 di antaranya bandara baru,” kata Nur Isnin dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kemenhub dan Komisi V DPR RI, Kamis, 1 September 2022.
Selain membangun 10 bandara baru, pihaknya juga mencatat rencana pembangunan 11 terminal baru di bandara eksisting, mulai dari Terminal Bandara Ende-NTT, Terminal Bandara Waingapu-NTT, Terminal Bandara Timika-Papua, Terminal Bandara Karimunjawa-Jawa Tengah, Terminal Bandara Tampa Padang-Sulawaesi Barat, Terminal Bandara Malinau, Terminal Bandara Tolitoli, hingga Terminal Bandara Mulia-Papua.
Untuk tahap awal sampai 2023, setidaknya ada 6 bandara baru yang akan dibangun, dengan anggaran Rp1,13 triliun. Mulai dari Bandara Banggali Laut, Bandara Pahuwanto, Bandara Bolmong, Bandara Sobaham, Bandara Singkawang, Bandara Mandailing Natal.
Sementara pembangunan bandara selama empat tahun terakhir, terhitung dari 2019 sampai 2022 tercatat sudah ada 9 bandara baru. Jumlah ini masih jauh dari target dalam paparan indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu 21 bandara baru harus selesai pada 2024. Artinya masih ada 12 bandara yang pembangunannya harus dikebut dalam dua tahun ke depan.
Bujet untuk Ditjen Perhubungan Udara juga dianggarkan kedua tertinggi setelah Ditjen Kereta Api. Dikutip dari laman Kementerian Perhubungan, anggaran Ditjen Perhubungan Udara masuk katagori tinggi, misal pada 2019 sebesar Rp7,19 triliun, 2020 dianggarkan Rp5,8 triliun, 2021 capai Rp7,68 triliun, 2022 dianggarkan Rp7,64 triliun, dan pada 2023 dianggarkan Rp7,178 triliun.
Selain pembangunan 10 bandara yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam dua tahun ke depan, terdapat dua bandara lain yang juga dibangun PT Angkasa Pura I (Persero) atau AP I. Dua bandara tersebut, yaitu: Bandara Hasanuddin di Makassar dan Badara Sentani di Papua.
Direktur Utama AP I, Faik Fahmi menjelaskan, pertumbuhan jumlah penumpang di bandara yang dikelola AP I jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas yang tersedia di bandara yang telah dibangun oleh perseroan.
“Dua bandara masih proses penyelesaian yaitu Bandara Hasanuddin di Makassar yang progres penyelesaian penyelesaiannya 65 persen. Dan juga bandara Sentani di Jayapura ini kami targetkan akan kami mulai lagi pada awal 2023 karena menyesuaikan dengan kemampuan finansial kami dan bagian dari restrukturisasi,” kata Faik pada Selasa (13/9/2022).
Faik menjelaskan, operasional kedua bandara tersebut akan bisa digunakan 100 persen pada 2024. Ia mengungkapkan, selain dua bandara yang sudah ditambah kapasitasnya, ada 10 bandara lain yang sudah selesai direvitalisasi.
Bandara tersebut, antara lain: bandara di Semarang, bandara di Banjarmasin, Yogyakarta International Airport, bandara di Bali, Bandara Adi Soemarmo di Solo, Bandara Ambon, Bandara Juanda, dan bandara di Lombok.
Upgrade kapasitas ini juga merupakan langkah AP I. Sebab, jumlah penumpang mencapai 72 juta per tahun, tetapi dari 13 bandara yang dikelola oleh AP I, hanya mampu menampung sebanyak 42 juta penumpang per tahun.
Perlu Kajian Lebih Mendalam
Meski demikian, pengamat transportasi, Alvin Lie menilai, pemerintah perlu mengkaji lebih dalam mengenai kebutuhan pembangunan bandara di satu lokasi. Pasalnya, berkaca pada Bandara Internasional Kertajati Jawa Barat (BIJB) yang dikenal sebagai Bandara Kertajati di Majalengka, pemerintah perlu memikirkan soal ekosistem, akses dan fasilitas pendukung lain agar bandara tersebut tidak sepi.
“Membangun mengembangkan bandara harus ada kajian yang komperensif dan objektif. Ini, kan, infrastruktur yang dinamis. Saat mau bangun bandara harus diproyeksikan untuk kebutuhan 50-100 tahun mendatang, tapi membangunnya bukan untuk 50-100 tahun mendatang,” kata Alvin kepada reporter Tirto pada 12 September 2022.
Alvin menambahkan, “Tapi bangunnya untuk kebutuhan mungkin 5-10 tahun dulu, kecil dulu. Kemudian nanti dikembangkan, bukan bangun besar, biaya operasional, perawatan tinggi, enggak ada income itu akan bunuh bandara itu.”
Selain BIJB, ada beberapa bandara yang juga bernasib sama, yaitu Bandara JB Soedirman, Purbalingga yang saat ini terpantau tidak memiliki jadwal penerbangan lagi. Bandara ini sebelumnya digunakan maskapai Citilink dengan tujuan Jakarta-Purbalingga dan sebaliknya, namun belum lagi terlihat ada jadwal penerbangan ini pada platform penjualan tiket pesawat.
Lalu, Bandara Ngloram, Blora. Bandara ini diresmikan oleh Jokowi pada Desember 2021, namun terpantau saat ini tidak ada jadwal penerbangan rute ke bandara yang berada di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Terakhir, Alvin juga menyebut Wiriadinata, di Tasikmalaya. Bandara yang diresmikan pada Februari 2019 itu, juga terpantau belum memiliki jadwal penerbangan, yang dijual pada platform pembelian tiket pesawat.
“Kalau pertimbangannya tadi, kan, membangun bandara gak hanya bandarnaya, tapi lingkungannya, ekosistemnya. Pusat belanja, kalau mau yang sepi itu dioptimalkan untuk logistik sama seperti skema Susi Air. Kan, dia ada usaha di Pangandaran, kemudian butuh akses akhirnya buatlah Susi Air. Jadi buat eksosistem dulu kalau mau bandara itu ramai,” kata Alvin.
Selain itu, aksesibilitas juga menjadi hal utama sebelum bandara itu dibangun. Alvin menilai, Bandara Yogyakarta International Airport di Kulon Progo akan bernasib sama dengan BIJB bila aksesnya masih susah.
“Bandara Yogyakarta itu berpotensi seperti Kertajati, karena memang penerbangannya ini masih jauh di bawah standar. Karena akses ke sana itu balik lagi, ya enggak ada jalan tol. Jarak antara bandara Jogjakarta ke pusat kota, itu 60 kilo jarak temuh, kalau trafik lancar ya. Saya pernah jalani sendiri itu ada 90 menit,” jelas dia.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, pembangunan bandara baru cukup banyak memang akan menjadi pertanyaan. Bagaimana pemerintah membuat perencanaan jangka panjangnya dan asumsi-asumsinya?
“Karena pemerintah ini ngotot sekali bangun bandara di tengah banyaknya bandara kosong atau tidak mencapai target dari jumlah pengunjung,” kata Bhima kepada reporter Tirto, Rabu (14/9/2022).
Bhima melihat masih ada beberapa bandara dibangun, tapi akses transportasi dari destinasi wisata ke bandara sulit. Tak hanya itu, akses internet, air bersih, hingga tidak ada hotel di sekitar bandara masih kurang memadai.
Oleh karenanya, kata Bhima, pemerintah harus menyiapkan infrastrukturnya terlebih dahulu sebelum akan melakulan pembangunan bandara. Setelah itu, baru dilakukan riset berapa banyak minat wisatawan, baik lokal maupun asing, dan pelaku bisnis misal gunakan transportasi udara, baru dibuat bandaranya.
“Ini, kan, ngotot bikin bandara dulu sehingga selalu dibilang bandara itu adalah sumber pertumbuhan. Tidak. Tanpa kelengkapan infrastruktur, maka bandara itu akan jadi beban pertumbuhan ekonomi daerah karena biaya operasional itu sudah sangat berat," jelas dia.
Belajar dari Bandara Kertajati
Berkaca pada BIJB, upaya-upaya pemulihan memang terus dilakukan. Namun, hingga saat ini masih belum ada progres yang cukup signifikan seperti yang disebutkan Alvin Lie di atas.
VP Corporate Secretary & General Administration BIJB Kertajati, Dian Nurrahman mengungkap beberapa hambatan yang dihadapi BIJB selama hampir 3 tahun terakhir. Mulai dari pandemi Covid-19 berdampak pada sepi penumpang, proses pembangunan ekosistem semakin sulit, akses tol yang belum selesai hingga penginapan belum terbentuk.
Walau begitu, Dian mengklaim masa-masa sulit itu sudah mulai terlewati. Kini, BIJB menata kembali, bersiap untuk rencana penerbangan umrah dan haji pada November 2022.
Berbeda dengan dua tahun lalu, kata dia, saat ini sudah tersedia beberapa fasilitas seperti hotel dan pengerjaan jalan tol yang hampir selesai.
“Kalau untuk umrah kan kelihatannya memang tidak membutuhkan hotel. Kita kan juga pernah melakukan penerbangan umrah di periode sebelumnya. Tapi kalaupun memang itu dibutuhkan, tentunya di Kertajati kan sudah ada hotel yang jaraknya cuman sekitar 3 kilometer kapasitasnya 124 kamar,” kata Dian kepada Tirto, Rabu (14/9/2022).
Bangkitnya BIJB dimulai dari penerbangan umrah pada November tahun ini. Setelah itu, Dian menjelaskan, pihaknya tengah berupaya untuk menata kembali rute penerbangan dan mengembalikan jadwal penerbangan dari Bandung ke Bandara Kertajati.
“Karena ini kan sejatinya waktu 2019 itu kita ada pemindahan ke Bandung [Husein Sastranegara] itu kan harusnya ada evaluasi 3 bulanan gitu kan, karena sudah berlalu makanya kami memohon untuk dialihkan lagi penerbangan dari Bandung ke Kertajati," ujar dia.
Selain penataan rute, pihaknya juga sudah melakukan komunikasi dengan 12 travel agar penumpang pesawat bisa mendapatkan akses transportasi yang lebih mudah. Tidak hanya itu, pihaknya juga akan berkomunikasi dengan Damri setelah beberapa persiapan terkait penataan rute sampai umrah sudah terealisasi.
“Memang sudah ada kesanggupan dari setiap 12 [taravel] itu sudah hampir semua menyatakan siap untuk ikut kalau ada penerbangan. Kemudian kami minta Cisumdawu kalau seksi 1, 2, 3 itu segera bisa diakses. Sayangnya seksi dua itu belum bisa diakses ya, karena ada longsoran. Kemudian 4, 5, 6 itu memang belum selesai. Kami minta juga agar ditunggu ini diaktivasi 1-3 nya saja dulu, agar membantu untuk kargo,” kata dia.
Lebih lanjut, Dian menjelaskan sejak Desember 2021, BIJB sudah memiliki aktivitas penerbangan. Tetapi hanya untuk mengangkut logistik.
“Desember 2021 sampai dengan Agustus [2022] itu penerbangan kargo kami itu jalan, rata-rata 45 ton per hari, itu berjalan. Jadi bukan tidak ada aktivitas. Ini kebanyakan barang-barang komoditi e-commerce,” kata dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz