tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan sekitar 10 bandara baru akan diresmikan hingga akhir masa jabatannya pada 2024. Diantaranya yaitu Bandar Siau, Bandara Tambelan, Bandara Nabire Baru, Bandara Baru Siboru, dan Bandara Baru Mentawai.
Lalu ada Bandara Baru Mandailing Nata, Bandara Baru Pohuwato, Bandara Baru Bolaang Mongondow, Bandara Baru Banggai Laut, dan Bandara Baru Singkawang.
Pembangunan bandara baru itu, dinilai hanya menghambur-hamburkan anggaran. Nyatanya beberapa bandara yang ada di tanah air belum terlihat maksimal digunakan.
Seperti Bandara Kertajati di Majalengka. Rencananya bandara itu akan menjadi bandara khusus yang difungsikan untuk umrah dan haji. Tidak hanya itu, rencananya industri penerbangan juga akan terpusat di Majalengka. Namun, kini bak mati suri.
Beberapa bandara baru selain BIJB juga bernasib sama sepi bak kuburan. Misalnya, Bandara JB Soedirman, Purbalingga, Jawa Tengah. Bandara JB Soedirman saat ini terpantau tidak memiliki jadwal penerbangan lagi.
Sebelumnya, bandara ini digunakan maskapai Citilink dengan tujuan Jakarta-Purbalingga dan sebaliknya, namun belum lagi terlihat ada jadwal penerbangan ini pada platform penjualan tiket pesawat.
Kemudian ada juga Bandara Ngloram, Blora yang diresmikan oleh Jokowi pada Desember lalu. Hingga saat ini tidak ada jadwal penerbangan yang beroperasional pada rute dari maupun ke bandara yang berada di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Lantas perlukah pemerintah membangun bandara baru di tengah banyaknya bandara masih sepi penumpang?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menuturkan pemerintah terkesan memaksakan kehendak membangun banyak bandara. Karena dia menilai pembangunan tersebut belum memiliki perencanaan yang matang.
"Karena pemerintah ini ngotot sekali bangun bandara di tengah banyaknya bandara kosong atau tidak mencapai target dari jumlah pengunjung," kata Bhima kepada Tirto, Rabu (14/9/2022).
Dia menilai pemerintah beranggapan bahwa pembangunan bandara di masa akan datang akan terjadi booming sektor pariwisata. Tetapi Bhima menilai jauh sebelum pandemi, terlihat para wisatawan asing hanya memilih destinasi wisata ke Bali.
"Jadi bandara itu artinya tidak bisa berdiri sendiri kalau tujuannya untuk mendorong sektor pariwisata," katanya.
Bhima melihat masih ada beberapa bandara di bangun tetapi akses transportasi dari destinasi wisata ke bandara sulit. Seperti kurang memadainya akses internet, air bersih, hingga tidak adanya hotel.
Karena itu, dia berharap pemerintah menyiapkan infrastruktur terlebih dahulu sebelum melakulan pembangunan bandara. Setelah itu, baru dilakukan riset berapa banyak minat wisatawan, baik lokal maupun asing, dan pelaku bisnis.
"Ini kan ngotot bikin bandara dulu sehingga selalu dibilang bandara itu adalah sumber pertumbuhan. Tidak, tanpa kelengkapan infrastruktur maka bandara itu akan jadi beban pertumbuhan ekonomi daerah karena biaya operasional itu sudah sangat berat," bebernya.
Sementara itu, Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman menilai, pembangunanbandara baru masing-masing punya alasan tertentu. Terlebih, 10 bandara tersebut beda dengan bandara-bandara lain yang sudah dibuat atau diperbesar namun tidak ada penerbangan.
"Kalau tidak ada covid kemarin wajar 10 bandara tersebut dibuat, namun tentu masing-masing punya alasan tertentu," kata dia kepada Tirto.
Walaupun begitu, dia meminta agar 10 bandara-bandara baru tersebut dibangun dengan ukuran sesuai kebutuhan. Misalnya masih menjajak konektivitas udara baru dari nol, sebaiknya dibuat bandara yang sederhana, tetapi dibangun dengan kemampuan ekspansi jika pasar membutuhkannya.
"Kalau untuk bandara Nabire, ya sudah wajar, dari sebelum pandemi pun Nabire memang sudah memerlukan bandara baru yang lebih memadai," pungkas Gerry.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin