tirto.id - Demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM subsidi terus terjadi setelah Presiden Joko Widodo secara resmi memutuskan BBM naik per Sabtu (3/9/2022). Terbaru, kelompok buruh di bawah komando Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) melakukan aksi di Jakarta pada Senin, 12 September 2022.
Massa buruh tersebut membawa sejumlah tuntutan, di antaranya menolak kenaikan harga BBM subsidi hingga menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Perwakilan buruh ini sempat diterima Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Selain KSPSI, di kawasan Patung Kuda juga terdapat aksi demonstrasi Aliansi 1209. Mereka adalah gabungan dari Persaudaraan Alumni (PA) 212, Front Persaudaraan Islam (FPI) dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Isu yang mereka bawa juga soal kenaikan harga BBM subsidi.
Sejumlah pihak pun mengaitkan kenaikan BBM subsidi di era Presiden SBY dengan Jokowi. Berdasarkan penelusuran, SBY menaikkan BBM sebanyak 4 kali selama dua periode menjabat, sementara Jokowi menaikkan BBM sebanyak 3 kali [Jokowi habis masa jabatan Oktober 2024].
Setelah SBY dilantik, harga BBM jenis Premium naik dari Rp1.810 ke Rp2.400 per liter pada Maret 2005. Kemudian, BBM jenis Premium naik lagi pada Oktober 2005 ke Rp4.500, sementata solar naik Rp4.300 per liter.
Kenaikan ketiga terjadi jelang periode kedua SBY pada Mei 2008. Saat itu, BBM jenis Premium naik ke Rp6000 dan solar naik Rp5500 per liter. Kenaikan terakhir terjadi pada Juni 2013 yaitu Premium naik Rp6.500 dan solar naik Rp5.500 per liter.
Sementara itu, sejak Jokowi menjabat hingga saat ini, BBM sudah naik sebanyak 3 kali. Pertama, pada 18 November 2014. Saat itu, BBM jenis Premium naik dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 per liter dan solar naik dari Rp5.500 menjadi Rp7.500 per liter.
Jokowi sempat menurunkan harga BBM subsidi pada Januari 2015, yaitu Premium menjadi Rp7.600 per liter dan solar menjadi Rp7.250 per liter. Kemudian, Jokowi mulai memberlakukan dua harga yakni antara Pulau Jawa-Bali dan luar Pulau Jawa-Bali. Namun pada Maret 2015 berlaku 1 harga yakni Premium Rp7.300 per liter dan solar Rp6.900 per liter.
Pada Januari 2016, pemerintah kembali memberlakukan dua harga, yakni luar Jawa-Bali BBM jenis Premium ditetapkan Rp7.300 per liter dan solar Rp6.900 per liter. Sedangkan harga di Pulau Jawa-Bali menjadi Rp7.050 per liter dan solar Rp5.650 per liter.
Kemudian, Jokowi resmi menaikkan harga BBM subsidi jenis Pertalite (RON 90) pada Maret 2022 menjadi Rp7.650 per liter dan solar Rp5150 per liter. Sedangkan BBM jenis Premium (RON 88) hilang atau tidak lagi tersedia di SPBU.
Terakhir adalah kenaikan BBM jenis Pertalite pada 3 September 2022 menjadi Rp10.000 per liter. Solar bersubsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Selain itu, Jokowi juga memutuskan menaikkan harga BBM jenis Pertamax (RON 92) dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.
Reaksi Publik di Era Jokowi dan SBY
Selain kenaikan harga, demonstrasi yang terjadi dalam penolakan BBM subsidi kali ini berbeda. Dalam catatan Tirto, demo kenaikan BBM di era Jokowi baru masif setelah pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan BBM pada September 2022. Hal ini berbeda dengan era SBY yang demonstrasi kerap terjadi sebelum penetapan harga seperti pada 2013.
Peneliti dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro mengakui, ada perbedaan mencolok situasi penolakan berupa demonstrasi BBM antara era SBY dan Jokowi.
Menurut Riko, poin pentingnya adalah perbedaan regulasi yang mendasari penentuan harga BBM saat ini dengan era SBY. Perbedaan regulasi itu antara lain penghapusan pelibatan DPR dalam penentuan harga BBM. Saat ini legislatif hanya dimintai pertimbangan, sementara keputusan tetap di tangan pemerintah.
“Kalau dulu, kan, di zaman SBY kenaikan BBM diatur oleh DPR, ikut izin. Sekarang, kan, nggak ada. Penetapan harga diikuti mekanisme pasar. Jadi secara regulasi [keputusan] memang pemerintah nggak bisa ditolak,” kata Riko kepada reporter Tirto, Senin (13/9/2022).
Riko menilai, peran DPR sebagai lembaga legislatif sangat kuat di era SBY, sehingga penentuan harga tidak bisa sembarangan. Hal itu membuat pemerintah tidak bisa asal menaikkan BBM subsidi.
Menurut Riko, situasi tersebut menjadikan pemerintah berhati-hati dalam penentuan harga BBM, tetapi memiliki dampak tidak fleksibel dalam menyikapi kenaikan harga minyak dunia.
“Kalau di era SBY dulu jadi tidak responsive, sementara harga butuh kecepatan. Jadi kalau terlalu tarik ulur akhirnya pemerintah kayak waktu zaman SBY sempat ngalami kesulitan untuk menaikkan padahal sudah tidak ada duit, anggaplah dalam kondisi krisis,” kata Riko.
Peran DPR yang bisa 'intervensi' di era SBY itu pun bisa dikapitalisasi oleh kelompok oposisi kala itu, kata Riko. Kelompok oposisi bisa melakukan demonstrasi penolakan jangka panjang hingga harga BBM diketok.
Hal ini berbeda dengan era Jokowi yang meminimalisir peran DPR dalam penentuan harga. Pemerintah menjadi lebih luwes dalam menghadapi kenaikan BBM, tapi bisa menimbulkan pertanyaan dalam penggunaan anggaran. Pemerintah harus menjelaskan kenaikan BBM dan alokasi anggarannya.
“Kalau sekarang yang punya duit pemerintah bisa nentuin dah naikin saja. Bahwa ada dampak politik, itu sudah disikapi oleh mereka dengan pendekatan keamanan,” kata Riko.
Perbedaan Strategi Komunikasi
Sementara itu, dosen komunikasi politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo menilai, situasi demonstrasi BBM di era SBY lebih keras daripada Jokowi karena perbedaan strategi. Di era Jokowi, upaya menaikkan BBM menggunakan strategi kodok rebus.
Kunto menjelaskan, strategi kodok rebus adalah membuat kodok dibuat beradaptasi dengan panas, tetapi berakhir meninggal.
“Ini, kan, kayak direbus kita di dalam panic ini. Kenaikan harga BBM, kan, sudah diwacanakan jauh. Pertamax dulu naik, terus daftar dulu gitu-gitu. Jadi itu meningkatkan imunitas kita terhadap shock ketika harganya naik padahal jauh banget naiknya, naik hampir 30 persen lebih sehingga itu bisa meredam efek kejut dari kenaikan BBM,” kata Kunto kepada Tirto.
Kunto bilang, pemerintah melakukan orkestrasi kenaikan BBM. Hal itu dilihat bagaimana pemerintah mewacanakan kenaikan BBM dengan penghapusan BBM subsidi. Namun pemerintah menunda kenaikan ketika situasi masyarakat bergejolak. Ketika hendak bergejolak, pemerintah batal menaikkan BBM. Pemerintah justru menaikkan BBM non-subsidi, baru menaikkan harga BBM subsidi.
“Sebenarnya yang diredam efek kejutnya. Sehingga ketika orang nggak kaget, nggak shock, maka reaksinya akan lebih bisa terkontrol dan lebih rasional,” kata Kunto.
Kunto menambahkan, “Kalau menurut saya itu strateginya sih di luar strategi komunikasi politik yang lain tentu saja.”
Situasi kenaikan BBM era Jokowi berbeda dengan SBY. Kunto melihat era SBY justru lebih kuat resistensinya lantaran ia menaikkan BBM subsidi jelang turun periode kedua SBY. SBY enggan menjaga kekuasaan sehingga membiarkan situasi gaduh dan ada resistensi dalam kenaikan BBM.
“Jadi semacam nothing to lose policy gitu, sehingga SBY tidak berbuat banyak untuk kemudian meredam efek kejut kenaikan harga BBM ini dan efeknya ya banyak demonstrasi, terutama dari sisi politik. Kan waktu itu SBY tidak terlalu kekeuh atau istilahnya ngotot untuk kemudian membangun koalisi besar di DPR kan,” kata Kunto.
Di sisi lain, kata Kunto, posisi buzzer era Jokowi lebih masif daripada SBY dalam mengampanyekan alasan kenaikan BBM. Hal ini karena penggunaan teknologi lebih masif di era Jokowi dibandingkan zaman SBY.
Kemudian, kata Kunto, buzzer di era Jokowi kerap masif di media sosial sebagai upaya meredam situasi akibat kenaikan BBM dalam sejumlah topik. Dengan demikian, masyarakat bisa menerima alasan dari beragam sisi.
“Jadi narasinya banyak dibungkusnya sehingga kalau nggak kena jaring ini, akan kena jaring yang itu,” kata Kunto.
Kunto juga menilai, situasi kenaikan BBM era Jokowi tidak akan bisa dikapitalisasi oposisi seperti zaman SBY. Pertama adalah upaya pemerintah dalam mengelola dampak BBM subsidi. Jika ekses kenaikan harga BBM berlangsung hingga 2024, maka rakyat akan menghakimi pemerintah dan partai pendukung.
Selain itu, kata Kunto, oposisi saat ini lemah. PKS sebagai oposisi saat ini tidak kuat dalam mengkapitalisasi suara BBM karena mereka pernah mendukung kebijakan SBY menaikkan harga BBM. Sementara Demokrat sulit mengkapitalisasi suara oposisi karena partainya belum memiliki figur yang bisa mengunci massa.
“Demokrat partai tokoh, bukan partai ideologis. Dia lahir karena SBY, ambruk karena SBY. Dan AHY sekarang belum sekuat bapaknya sehingga kalau pun ini bisa dikapitalisasi oleh Demokrat, efeknya menurut saya nggak akan semasif 2014. PDIP ngambil karena PDIP kebetulan dapat Jokowi sebagai panji-panji kemenangan di depan,” kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz