tirto.id - Pada era kepemimpinan Soekarno terdapat unit keamanan khusus bernama Resimen Cakrabirawa yang bertugas untuk mengawal presiden sekaligus keluarganya. Satuan yang dibentuk pada 6 Juni 1962 tersebut terdiri atas gabungan pasukan TNI Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian Republik Indonesia.
Unit keamanan yang juga dikenal dengan nama Cakra ini beranggotakan sekitar 3.000 pasukan. Ribuan anggota ini terbagi menjadi tiga bagian yakni Detasemen Kawal Pribadi (DKP), Detasemen Pengawal Chusus (DPC), dan Batalyon Kawal Kehormatan (KK).
Pada akhir kepemimpinan Soekarno, pasukan Cakrabirawa disebut terlibat dalam penculikan sekelompok perwira TNI AD yang dikenal sebagai Dewan Jenderal. Aksi penculikan itu lantas dinamakan Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965).
Kolonel Untung, yang saat itu menjabat sebagai komandan Cakrabirawa tepatnya di Batalyon KK I, menunjuk Letnan Satu Dul Arif sebagai pemimpin pelaksana aksi.
Namun, ternyata para eksekutor penculikan para jenderal itu kebanyakan berpangkat rendah. Salah satunya Sersan Mayor Boengkoes. Sersan Boengkoes saat itu bertugas untuk memimpin penculikan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo (M.T.) Haryono.
Siapa Serma Boengkoes?
Serma Boengkoes lahir di Situbondo, Jawa Timur, pada 1 Agustus 1927. Keinginannya untuk menjadi tentara sudah terpupuk sejak masa kanak-kanak.
Boengkoes mengisahkan masa kecilnya tersebut kepada Bennedict Anderson dalam sebuah wawancara panjang yang kemudian diterbitkan di Jurnal Indonesia (Oktober 2004).
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, cita-cita Boengkoes untuk menjadi serdadu muncul dari insting sederhana. Setiap kali kakak-kakaknya pulang dari pelatihan Pembela Tanah Air (PETA) di Muncar, Banyuwangi, Boengkoes tergugah karena melihat mereka sangat gagah.
Pada usia sekolah dasar, Boengkoes beberapa kali mendaftar sebagai serdadu. Mulai dari pasukan Kaigun (Angkatan Laut Jepang) hingga Djibakutai pernah ia jajaki, meskipun gagal diterima karena tubuhnya yang kecil.
Namun, cita-cita itu akhirnya terwujud. Ketika masih duduk di kelas 5 SD, Boengkoes tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR), tepatnya di Batalion Semut Merah.
Sejak itulah karier militernya mulai naik pelan-pelan. Dari Kesatuan Semut Merah, Boengkoes dipromosikan ke Batalion Anjing Laut yang dipimpin Mayor Ernest Julius Magenda.
Di batalion 448, Boengkoes bertemu dengan Dul Arif dan Djahurup. Seiring waktu, ketiga prajurit ini bersahabat sampai kemudian sama-sama ditugaskan di Pasukan Cakrabirawa. Salah satu pengikat persahabatan mereka adalah asal usul yang sama. Ketiganya berasal dari Karesidenan Besuki, meskipun berbeda kabupaten.
Kepada Ben Anderson dan Arief Djati dalam The World of Sergeant Major Bungkus (2004), Boengkoes mengatakan, “Kami kawan sehidup semati sebagai anak buah Pak Magenda.”
Motivasi Boengkoes menjadi tentara bukan untuk mencari uang, melainkan mengabdi kepada negara. Sejak bergabung di TKR pada 1945 hingga November 1949, Boengkoes mengaku tidak pernah menerima gaji.
Persahabatan Boengkoes bersama Dul Arif dan Djahurup terus terawat, meskipun bergonta-ganti pasukan. Ia pernah ditugaskan di Kodam Diponegoro pada 1953, di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto.
Setelah cukup lama bertugas di Jawa Tengah, Boengkoes bersama dua kawannya dipromosikan sebagai anggota Resimen Cakrabirawa, pasukan khusus penjaga Presiden Sukarno.
Sejak di Cakra, Boengkoes mendapat pangkat Sersan Mayor (Serma). Bersama Pembantu Letnan Dua Djahurup, Serma Boengkoes ditugaskan di Kompi C, di bawah pimpinan Dul Arif, yang kala itu sudah berpangkat Letnan Satu.
Peran Serma Boengkoes di Peristiwa G30S 1965
Peran Boengkoes dalam peristiwa G30S 1965 yakni memimpin salah satu regu untuk menangkap beberapa jenderal yang diduga tergabung dalam Dewan Jenderal. Boengkoes, dalam wawancaranya bersama Ben Anderson, menjelaskan bahwa pada malam sebelum melakukan penculikan, dia dan kawan-kawannya dikumpulkan oleh Letnan Satu Dul Arif, komandan Kompi C Batalion II, pimpinan Untung.
Setidaknya ada 60 orang yang berhasil dikumpulkan oleh Dul Arif pada masa genting itu. Atas perintah Komandan Cakrabirawa Letkol Untung, mereka ditugaskan untuk menggagalkan kudeta terhadap Presiden Soekarno, yang disinyalir dilakukan oleh Dewan Jenderal.
Hal itu juga dijelaskan dalam buku Dalih Pembunuhan Massal (2006) oleh John Roosa. Dalam pengakuannya, Mayor Boengkoes menceritakan bahwa berdasarkan perintah dari atas, para jenderal tersebut tidak boleh lolos dari penangkapan.
Para pasukan tersebut kemudian dibagi menjadi beberapa rombongan untuk membawa Dewan Jenderal hidup atau mati. Dalam misi ini, Boengkoes bertugas menjemput M.T. Haryono yang diduga terlibat dalam rencana kudeta Dewan Jenderal. Perintah itu didapatkannya saat rapat terakhir, 30 September 1965, sekitar pukul 15.00 waktu setempat.
Pada dini hari menjelang subuh, tiga truk yang yang dipenuhi tentara berangkat menuju rumah M.T Haryono di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sesampainya di lokasi, Sersan Boengkoes, yang menjadi komandan peleton, turun lebih dulu untuk mengetuk pintu rumah M.T. Haryono.
Kala itu yang membukakan pintu untuknya adalah istri M.T Haryono. Kepadanya, Boengkoes mengatakan bahwa para pasukan sedang mencari Haryono untuk menghadap ke Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Nyonya Haryono mengatakan bahwa suaminya akan segera menyusul, dan meminta para prajurit berangkat ke Istana terlebih dahulu. Namun, Boengkoes tetap bersikeras menunggu.
Sementara istrinya berbincang, M.T. Haryono bersiap merebut salah satu senjata dari tentara yang akan masuk ke kamarnya. Akan tetapi, upayanya gagal. Konfrontasi pun terjadi.
Haryono tertembak oleh selongsong peluru Sersan Boengkoes. Namun, menurut pengakuannya dalam wawancaranya bersama Ben Anderson, Haryono tidak langsung meninggal pada saat itu juga (p. 27). Sang jenderal gugur saat hendak dibawa ke lokasi berkumpul Cakrabirawa.
Haryono bersama dua perwira TNI-AD lain, yakni Jenderal Ahmad Yani dan Mayjen D.I. Pandjaitan, dibawa dalam keadaan sudah tak bernyawa pada 1 Oktober 1965.
Pada 3 Oktober, tiga mayat jenderal itu ditemukan di dalam sumur di Lubang buaya. Empat jasad jenderal lainnya juga ditemukan di situ.
Meskipun penjemputan Haryono merupakan perintah atasan dan berhasil dituntaskan, Sersan Boengkoes mengaku menyesali perbuatannya. Atas perkara tersebut, Sersan Mayor Boengkoes dipenjara di LP Cipinang selama 33 tahun.
Editor: Fadli Nasrudin