tirto.id - Menjelang malam 1 Oktober 1965, Sersan Satu Ishak Bahar dibuat kaget oleh komandan batalionnya, Letnan Kolonel Untung Bin Syamsuri. Bintara di Batalion Kawal Kehormatan I Resimen Cakrabirawa itu diminta Untung untuk menjadi ajudannya. Setahu Ishak, seorang ajudan biasanya berpangkat di atas bintara, seperti letnan.
“Pak, saya kan masih seorang sersan pertama,” kata Ishak.
Ia tak bisa menolak setelah Untung menyinggung masa lalu Ishak yang seorang anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang berafiliasi dengan Masyumi. Saat itu, Masyumi adalah musuh rezim Sukarno sehingga dibubarkan pada 1960.
“Ikut saya,” kata Untung.
Saat mengikuti Untung ke Lubang Buaya pada malam hari, Ishak diberi pangkat letnan tituler. Bersamanya, ikut juga Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I/Jaya Sakti yang berada di bawah Kodam Jakarta Raya pimpinan Umar Wirahadikusumah.
Sebelum ke Lubang Buaya, jip yang ditumpangi Ishak singgah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Di sana, Abdul Latief bertemu dengan Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto yang tengah menunggui putra bungsunya (Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto) yang dirawat karena ketumpahan kuah sop panas.
“Itu urusan mereka, saya sebagai ajudan waktu itu tidak tahu menahu,” ujar Ishak Bahar kepada Tirto, mengomentari pertemuan Abdul Latief dengan Soeharto.
Setibanya di Lubang Buaya, Ishak hanya berjaga di sana sepanjang malam. Ia tak ikut dalam regu-regu penculik yang dikomandoi Letnan Satu Dul Arif. Menurutnya, malam itu di Lubang Buaya sepi, tak ada Gerwani dan tarian lagu "Genjer-genjer".
"Itu palsu," ujar Ishak membantah isu tersebut.
Informasi ini bertolak belakang dengan keterangan Soekitman, Agen Polisi Tingkat II yang ikut dibawa ke Lubang Buaya saat ia berpatroli dan menjadi saksi pembunuhan. Menurutnya, di lokasi pembunuhan para petinggi Angkatan Darat itu justru terdapat para sukarelawan yang berasal dari Pemuda Rakyat dan Gerwani (lihat menit 14.50-15.07).
Terlepas dari hal tersebut, setelah pasukan penculik kembali dengan korbannya masing-masing, Ishak merasa tersiksa melebihi kesepian yang berjam-jam sebelumnya ia lakoni. Dua dari enam jenderal yang dibawa telah terbunuh, yakni Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan dan Letnan Jenderal Ahmad Yani.
“Aduh, cilaka ini,” gumamnya membatin.
Para jenderal dan satu perwira lainnya yang masih hidup, kemudian dianiaya dan dibunuh serta dimasukan ke dalam sumur tua. Soekitman, seorang polisi berpangkat rendah yang ikut dibawa para penculik hampir saja ikut dibunuh jika ia tak mencegahnya. Setelah "acara" selesai, Ishak dan anggota Cakrabirawa lainnya kemudian meninggalkan Lubang Buaya.
“Saya pulang membawa truk-truk Cakrabirawa,” ucapnya.
Esoknya, Ishak Bahar jadi tahanan Corps Polisi Militer (CPM) di Jalan Guntur.
“Saya diinjak-injak. Saya ingat itu tanggal 2 Oktober 1965. Jadi sejak itu selama 13 tahun saya tidak sempat pulang kampung ke Purbalingga,” ungkapnya.
Hukum Mati bagi Penembak Yani
Selain Ishak Bahar, prajurit berpangkat rendah lain yang bernasib apes setelah G30S adalah Sersan Mayor Bungkus. Ia yang saat itu memimpin penculikan Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, harus mendekam selama 33 tahun dalam tahanan Orde Baru. Sejak 1965, Bungkus baru dibebaskan pada 1998 ketika Soeharto tumbang.
Seperti ia sampaikan kepada Ben Anderson dan Arief Djati dalam "The World of Sergeant Major Bungkus" (Jurnal Indonesia edisi Oktober 2004), pada malam itu ia dan kawan-kawannya dikumpulkan Letnan Satu Dul Arif, komandan kompi C batalion II pimpinan Untung. Mereka yang jumlahnya sekitar 60 orang itu mendapat perintah untuk menculik petinggi Angkatan Darat yang dituduh akan mengkudeta Presiden Sukarno.
Bersama Bungkus, di antaranya ada Sersan Dua Raswad, Prajurit Kepala Doblin, Sersan Tumiran, Sersan Gijadi, Prajurit Satu Athanasius Buang, Sersan Mayor Satar Suryanto, Sersan Dua Sukardjo, dan Prajurit Nor Rohayan. Mereka tidak semuanya berasal dari Cakrabirawa, melainkan ada juga yang berasal dari Brigade Infanteri 1 seperti Soekardjo yang menculik D.I. Panjaitan.
Nasib Satar, Gijadi, dan Rohayan lebih buruk daripada Ishak Bahar dan Bungkus. Jiwa mereka direnggut di hadapan regu tembak setelah 25 tahun dalam penahanan.
Gijadi adalah penembak Ahmad Yani. Serdadu kelahiran Solo itu menarik picu senapan mesin ringan Thompson ke arah Ahmad Yani setelah mendengar perintah dari Sersan Dua Raswad.
“Mereka yang menculik adalah para sersan, kopral dan di bawahnya lagi yang tidak tahu apa-apa,” kata Kolonel CPM (purnawirawan) HW Sriyono, yang juga mantan perwira Cakrabirawa.
Editor: Irfan Teguh