tirto.id - Operasi penumpasan Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965) tidak dapat dilepaskan dari peran Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibentuk pada 2 Oktober 1965 di bawah kepemimpinan Soeharto.
Salah satu impak dari peristiwa G30S adalah dikeluarkannya kebijakan oleh pemerintah tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan itu juga tidak luput campur tangan beberapa partai politik, pergerakan mahasiswa dan pelajar, serta masyarakat umum.
Peristiwa G30S 1965 bermula dari berbagai isu yang menguar di kalangan TNI. Mereka memiliki perbedaan pendapat dan gesekan kepentingan dengan PKI, meskipun keduanya sebenarnya sama-sama dekat dengan Presiden Sukarno.
Pada akhirnya muncullah isu Dewan Jenderal, yang digadang-gadang ada dalam tubuh TNI. Dewan Jenderal itu diyakini memiliki misi untuk melakukan kudeta terhadap Sukarno.
Menjelang 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung dibantu Letnan Satu Doel Arif mengumpulkan sejumlah anggota Cakrabirawa—pasukan khusus yang bertugas melindungi Presiden dan keluarga—untuk menggagalkan misi Dewan Jenderal tersebut.
"Saya dapat perintah dari komandan batalion untuk memberikan briefing. Misi kita adalah menggagalkan kudeta [yang direncanakan] Dewan Jenderal," ujar Doel Arif, sebagaimana diungkapkan oleh Mayor Bungkus dalam wawancara bersama Ben Anderson, yang kemudian dimuat dalam Jurnal Indonesia (Oktober 2004).
Pada malam 30 September 1965, memasuki dini hari 1 Oktober, pecahlah peristiwa G30S, yang menewaskan beberapa perwira tinggi AD. Jenderal A. H. Nasution berhasil lolos, tetapi tidak dengan sang putri, Ade Irma Suryani, dan ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean.
Sejak malam nahas itu, santer terdengar kabar bahwa PKI-lah dalang di balik peristiwa pembunuhan tersebut, meskipun belum ada fakta mutlak yang membuktikannya.
Sejak pagi, 1 Oktober 1965, isu keterlibatan PKI menguar dan menyebar dengan cepat. Akibatnya, kalangan masyarakat mulai memprotes dan mendesak untuk memberangus PKI.
Apa Dasar Hukum tentang Pembubaran PKI?
Dasar hukum pembubaran PKI adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Isi TAP MPRS tentang PKI tersebut menyatakan:
- Bahwa faham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila;
- Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia, telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan;
- Bahwa berhubung dengan perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme Marxisme-Leninisme.
Lantas, kapan PKI dibubarkan secara resmi?
PKI dibubarkan secara resmi sejak diberlakukannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tersebut.
Namun, pada kenyataannya, upaya pemberangusan PKI, yang dianggap terlibat penuh dalam peristiwa G30S 1965, sudah dilakukan sejak 2 Oktober.
Pada hari ini, Presiden Sukarno memanggil semua pimpinan angkatan TNI ke Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut, Sukarno memutuskan dirinya sebagai pimpinan Angkatan Darat secara langsung. Kemudian, Mayor Jenderal Soeharto ditugaskan melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban yang berkaitan peristiwa G30S 1965.
Penetapan Soeharto tersebut diumumkan melalui RRI pusat pada 3 Oktober 1965. Pengumuman itu sekaligus dikenal dengan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tugas pokoknya adalah memulihkan keamanan dengan jalan operasi militer, operasi mental, dan operasi politik.
Pembentukan Kopkamtib diatur melalui Keppres/Pangti ABRI/Koti Nomor 142/Koti/1965 tanggal 1 November 1965, Nomor 162/Koti/1965 tanggal 12 November 1965, dan Nomor 179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965.
Puncak penumpasan PKI yang dilakukan Kopkamtib adalah ketika Soeharto mendapatkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Sukarno. Pada intinya, Soeharto ditugaskan untuk membubarkan dan melarang PKI termasuk seluruh bagian yang terkait, dari level daerah hingga nasional.
Keputusan yang tertuang dalam Keputusan Presiden/Pangti ABRI/mandataris MPR/PBR No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 sekaligus menandai tindakan pertama Soeharto sebagai pengembangan Supersemar.
Daftar Operasi dan Kesatuan Penumpas PKI
Operasi penumpasan PKI, yang dianggap dalang utama peristiwa G30S 1965, dilakukan secara cepat, bahkan sebelum surat Keputusan Presiden Sukarno dikeluarkan. Lantaran dianggap sesuatu yang genting dan darurat, angkatan darat dengan sigap untuk menguasai keadaan sejak 1 Oktober 1965.
Operasi penumpasan g30s dipimpin oleh Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Mayor Jenderal Soeharto. Pada 1 Oktober, ia mengumpulkan unsur-unsur Kostrad, yang saat itu tengah berada di Jakarta dalam rangka HUT ABRI, meliputi Yon 328 Kujang/Siliwangi, Yon 2 Kavaleri, dan Yon 1 RPKAD.
Pangkostrad juga menjelaskan situasi sebenarnya kepada rakyat yang disusul kecaman kepada terhadap PKI untuk dibubarkan. Hal tersebut didukung sejumlah partai politik dan organisasi massa yang ikut mengeluarkan pernyataan senada.
Pada pukul 18.30 WIB, Soeharto memerintahkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), di bawah kepemimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, untuk merebut kantor RRI pusat dan gedung telekomunikasi.
Dalam beberapa jam, kedua lokasi ini dapat diamankan RPKAD yang membuat para aktor peristiwa G30S mundur ke Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur. Dikutip dari Menyingkap Kabut Halim (1965) karya Aristides Katoppo, Halim merupakan pusat militer para anggota G30S sebab karena berada di bawah kekuasaan Angkatan Darat yang mendukung gerakan tersebut.
Dalam pengepungan Halim Perdana, RPKAD dibantu batalion Para Kujang dari Divisi Siliwangi Jawa Barat. Beruntung, ketegangan tidak berujung konflik senjata setelah pada 3 Oktober 1965 pukul 01.30 WIB, Presiden Sukarno memerintahkan mereka menyerahkan diri. Dengan ini, operasi penumpasan G30S pertama di ibukota yang dilancarkan oleh pasukan RPKAD dinilai cukup lancar.
Secara umum, Kopkamtib yang dipimpin Soeharto menjalankan beberapa operasi penumpasan G30S, meliputi:
1. Operasi Merapi di Jawa Tengah
Operasi Merapi dilakukan RPKAD di bawah kepemimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mulai 1 Desember 1965 di daerah Jawa Tengah.Sebenarnya di Jawa Tengah sudah ada Pangdam VII/Diponegoro yang berhasil direbut kembali dari tangan para anggota G30S pada 5 Oktober 1965. Oleh karena itu, RPKAD hanya berperan membantu. Terlebih, Jawa Tengah merupakan basis kuat dari PKI. Hal itu terbukti setelah Jawa Tengah menjadi daerah pilihan pelarian D.N. Aidit.
Dalam Operasi Merapi, RPKAD berhasil menembak mati Kolonel Usman, Mayor Samadi, Mayor R.W. Sukirno, dan Kapten Sukarno.
2. Operasi Trisula di Blitar Selatan, Jawa Timur
Operasi Trisula adalah operasi dengan bertujuan menumpas Comite Proyek (Compro) yang didirikan oleh PKI di Blitar Selatan. Operasi Trisula berlangsung sejak 3 Juli 1968.Operasi yang dipimpin Muh. Yasin dan Kolonel Witarmin tersebut pada mulanya menargetkan seluruh wilayah Jawa Timur atau KODAM VIII/Brawijaya. Akan tetapi, rencana lokasi operasi berubah, hanya Blitar Selatan yang menjadi fokus. Alasan utamanya, Blitar Selatan merupakan basis pemulihan PKI di seluruh Indonesia.
Operasi Trisula dimulai dengan pergeseran ke sektor yang telah ditentukan. Wilayah Blitar Selatan ditutup total pada 5 Juni 1965, yang terdiri dari tiga arah, yakni:
- Sebelah barat: Campur Darat, Tulungagung Selatan.
- Sebelah utara: sepanjang jalan raya Tulungagung tepi Sungai Brantas sampai Kalipare, Blitar Selatan.
- Sebelah timur: Kalipare lurus ke Selatan melalui Sumbermanjing Kulon hingga garis pantai Samudra Hindia.
Tahap kedua Operasi Trisula ialah tahap penghancuran setelah mengevaluasi tahap penjagaan dan konsepsi operasi yang disusun Staf Satgas Trisula. Operasi penghancuran menerapkan tiga macam operasi: operasi tempur, intelijen, dan teritorial.
Tahap terakhir adalah konsolidasi rehabilitasi yang mengonsentrasikan rakyat bersama-sama membangun kembali kewibawaan pemerintah dan menstabilkan keadaan daerah. Operasi Trisula memakan waktu satu setengah bulan. Menurut klaim laporan resminya, Operasi Trisula berhasil menangkap 850 orang PKI.
3. Operasi Kikis di Perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur
Operasi Kikis G30S diterapkan terhadap PKI, yang disinyalir terlibat dalam penculikan dan pembunuhan para jenderal AD. Operasi Kikis adalah operasi penumpasan PKI gelap yang dilakukan di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur meliputi daerah Pegunungan Lawu dan Kendeng.Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia IV (1984), yang ditulis Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Operasi Kikis berhasil menghancurkan beberapa Compro dan menangkap 200 orang kader PKI. Selain di perbatasan Jateng-Jatim, Operasi Kikis juga dilakukan di daerah Purwodadi.
Mulanya diketahui bahwa PKI gelap membangun Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat (STPR) di daerah tersebut. Mereka kemudian memindahkan kegiatan pendidikan ke daerah Merapi-Merbabu Complex (MMC). Salah satu hal yang dianggap sebagai keberhasilan dalam Operasi Kikis ini adalah tertangkapnya orang nomor dua di Biro Khusus PKI, Supono Marsudidjojo.
4. Gerakan Operasi Territorial
Selain operasi yang dilancarkan di ibu kota, TNI juga melancarkan operasi teritorial yang sifatnya regional. Penumpasan G30S melalui operasi teritorial dilakukan dengan cara menangkap tokoh-tokoh orpol dan ormas PKI.Di daerah-daerah tersebut, PKI dinilai tidak sempat mengadakan gerakan perebutan kekuasaan besar-besaran seperti di ibu kota.
Meskipun tidak diterapkan operasi khusus seperti yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jakarta, operasi teritorial itu berdampak buruk di lapangan. Imbasnya, terjadi banyak peristiwa penculikan dan pembunuhan yang dilakukan secara asal-asalan di daerah-daerah seperti Jawa Timur dan Bali, demikian sebagaimana dituliskan dalam Sejarah Nasional Indonesia IV (1984).
Editor: Fadli Nasrudin