tirto.id - Dua tahun setelah PKI dihancurkan dan ratusan ribu simpatisannya dijagal, rumor kebangkitan komunisme dibesar-besarkan lagi oleh rezim Soeharto. Pada 1968, Operasi Trisula digelar TNI untuk memerangi sebuah basis persembunyian PKI di Blitar Selatan, Jawa Timur.
Isu kebangkitan komunis saat itu sebenarnya telah luntur, mengingat betapa masifnya penghancuran PKI sepanjang 1965-1966. Bahkan di kalangan ormas yang pernah membantu TNI dalam pembantaian simpatisan komunis, desas-desus tersebut sudah mulai lenyap.
Buku Vannessa Hearman berjudul Unmarked Graves: Death and Survival in the Anti-Communist Violence in East Java, Indonesia (2018) menuturkan bagaimana ketakutan terhadap PKI kembali diciptakan pada 1968, berdasarkan wawancara dan laporan pemerintah serta militer dalam bab "Retreat and Resistance: The South Blitar Base". Vannessa Hearman adalah seorang pengajar di Kajian Indonesia di Universitas Charles Darwin, Australia yang banyak meneliti tentang penghancuran gerakan kiri di Indonesia.
Tak lama setelah pembantaian massal, daerah Blitar Selatan dipandang sebagai tempat berlindung yang aman bagi sisa-sisa kader PKI dari berbagai daerah, aktivis buruh dan tani, simpatisan Sukarno, dan sejumlah tentara yang desersi. Sebagian khawatir akan keselamatan pribadi, sebagian lainnya merasa terlalu lelah untuk terus hidup dalam pelarian (hlm. 144).
Oloan Hutapea, Tjugito, Iskandar Subekti, dan Sukatno adalah sejumlah pemimpin PKI yang mengungsi dari Jakarta ke Blitar selatan.
Blitar Selatan merupakan salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan terburuk di Jawa. Di daerah ini, moda transportasi sangat terbatas sehingga tak mudah diakses orang luar. Dukungan masyarakat terhadap PKI sangat besar di sana, bahkan jauh sebelum 1965. Tak hanya itu, struktur partai di Jawa Timur rupanya masih lebih mampu mengupayakan pembentukan basis ketimbang di Jawa Barat atau Jawa Tengah (hlm. 139).
Hearman mencatat, menurut dokumen Kritik Oto Kritik (KOK) bertiti mangsa September 1966, PKI memprioritaskan pembangunan kembali "basis-basis revolusi" di pedesaan dan perjuangan bersenjata. Dokumen yang sama mengkritik kebijakan partai yang telah mengabaikan petani sebagai basis kekuatan. Menurut Rewang, pemimpin PKI di Blitar Selatan yang diwawancarai Hearman, keputusan ini diambil karena perjuangan dengan jalan legal tak mungkin lagi ditempuh setelah pembantaian.
Tidak Kompak
Para aktivis kiri yang datang dari seluruh penjuru Jawa membaur dengan warga. Bagi para aktivis kota, hidup di desa tidak mudah, namun, “batasan antara aktivis dan penduduk desa tak terlihat jelas. Orang-orang komunis dan warga desa tak melulu berada dalam kategori yang berbeda total,” tulis Hearman (hlm. 172).
PKI punya konsep Turba (turun ke Bawah), yang menuntut para kader untuk hidup bersama penduduk sekitar, khususnya di desa-desa. Sebelum 1965, Turba adalah strategi advokasi dan pendidikan politik yang ampuh.
Di Blitar Selatan pasca-pembantaian, Turba tak hanya jadi strategi yang dijalankan partai untuk mengorganisasi petani, tapi juga sebagai cara bertahan hidup yang niscaya harus diambil. Para aktivis pertanian yang berafiliasi dengan PKI juga berusaha keras untuk meningkatkan produksi panen warga dan pengetahuan bertani penduduk setempat (hlm. 143).
Menyiapkan gerilya hanyalah satu dari beberapa aktivitas yang ditempuh PKI di Blitar Selatan. Hearman mencatat, partai juga tetap merawat jejaring dan komunikasi dengan daerah-daerah lain melalui kurir dan publikasi koran stensilan seperti Mimbar Rakjat dan Bendera Merah (hlm. 148).
Namun, ketika para pelarian sudah diterima penduduk, keterpencilan Blitar Selatan juga menimbulkan masalah tersendiri. Kondisi alam yang kering pun kelak terbukti menjadi hambatan—dan inilah alasan mengapa TNI sengaja mengadakan Operasi Trisula di musim kemarau 1968.
Aktivitas para pelarian di Blitar Selatan juga ditopang kurir yang menghubungkan mereka dengan kota-kota besar. Kurir-kurir ini bertugas mengantar uang, orang, dan kadang senjata. Menurut Hearman, terus diperlukannya bantuan dari kota ini menunjukkan betapa lemahnya basis politik PKI di sana (hlm. 148).
Sejak Maret hingga Mei 1968, terjadi serangkaian aksi kekerasan di Blitar Selatan dengan korban personel militer dan warga sipil yang diduga pernah ikut serta dalam operasi-operasi anti-PKI. Angkatan Darat menuding PKI berada di balik serangan. Para pemimpin PKI, termasuk Rewang, menyalahkan kader-kader di bawah yang dianggap tidak sabar.
Dalam memoarnya yang baru saja dipublikasikan, Rewang menuturkan aksi gerilya PKI bahkan belum dimulai. Adapun dalam pembelaannya di pengadilan pada 1973, tokoh PKI lainnya, Munir, menyalahkan para pemimpin partai yang dinilainya tak sabar membangun partai sehingga “memancing perhatian rezim atas keberadaan mereka [PKI] di Blitar Selatan”.
Sementara itu, Winata (nama samaran), salah seorang kader bawahan, menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut dilakukan secara hati-hati dan terencana (hlm. 150).
Pecah Kongsi NU-TNI
Sebelum Operasi Trisula berlangsung pada Juni hingga September 1968, mulai tercium perpecahan antara Nahdlatul Ulama dan Angkatan Darat. NU tak percaya pada Kodam Brawijaya yang dinilai telah diinfiltrasi kekuatan pro-Sukarno.
Di sisi lain, Pangdam VIII Brawijaya Mochammad Jasin menyatakan pemberantasan PKI seperti tahun 1965-66 tak lagi mungkin dilakukan sebab “berbahaya” dan hanya menimbulkan “kekacauan”. Pesan ini tertuju pada bekas mitra AD selama pembantaian, khususnya NU.
Beberapa minggu sebelum operasi dimulai, tulis Hearman, Banser mengirim 500 personel ke desa-desa di Malang Selatan, sebelah Blitar Selatan. Pengiriman personel ini bertujuan “untuk membuktikan kecurigaan pemimpin mereka akan kebangkitan PKI”. Mereka menemukan “banyak orang baru” di pedalaman Blitar.
Sementara itu, laporan penyelidikan yang dilakukan Kodam Brawijaya tak sekalipun menyebut kontribusi penyelidikan Banser. Meski telah mengirim tim intelijen ke Blitar Selatan sejak 1967, TNI awalnya gagal mengendus aktivitas para anggota PKI yang memang sengaja menjaga ketenangan desa agar tak memancing kecurigaan (hlm. 151).
Menurut Hearman, laporan-laporan yang bertolak belakang ini menunjukkan persaingan antara NU dan TNI. Keduanya berlomba untuk membuktikan siapa yang paling heroik.
Pada 1 Juni 1968, Operasi Trisula resmi digelar, bersamaan dengan datangnya musim kemarau. Taktik kontra-insurgensi diterapkan untuk memburu para pelarian. Berdasarkan sumber-sumber militer, New York Times melaporkan 5.000 personel militer dari enam batalyon diturunkan bersama 3.000 anggota milisi.
Pemberitaan internasional tersebut, tulis Hearman, menunjukkan betapa penghancuran sisa-sisa partai komunis terbesar ketiga di dunia masih menarik perhatian dunia. Sementara di Indonesia sendiri, Operasi Trisula “ditujukan untuk menghidupkan kembali gairah melawan komunis yang sempat redup” (hlm. 154).
Operasi ini juga dilancarkan untuk menunjukkan kekuatan Orde Baru kepada mereka yang masih belum bersedia mendukungnya dan merindukan kembalinya Sukarno.
Operasi Trisula Digelar TNI untuk Bangkitkan Sentimen Anti-Komunis
Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM
Ikhtiar Kebenaran dan Rekonsiliasi Kasus '65 di Solo dan Palu
Solusi Tragedi 1965: Langkah Maju Gus Dur, Langkah Mundur Jokowi
==========
Pembantaian 1965-66 adalah salah satu episode terburuk dalam sejarah Indonesia yang membentuk identitas kita sebagai bangsa. Meskipun telah lewat 50 tahun lebih, proses rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran kasus ini masih mengalami hambatan besar.
Tirto menayangkan serial khusus berupa nukilan atau ringkasan buku-buku akademik tentang pembantaian 1965-66 yang terbit sepanjang 2018. Serial ini terdiri dari empat artikel, ditayangkan setiap hari mulai Rabu (26/12/2018) hingga Sabtu (29/12/2018). Artikel ini adalah tulisan kedua.
"Operasi Trisula Digelar TNI untuk Bangkitkan Sentimen Anti-Komunis" adalah ringkasan dari bab "Retreat and Resistance: The South Blitar Base" dalam buku Unmarked Graves: death and Survival in the Anti-Communist Violence in East Java, Indonesia terbitan NUS Press, Singapura. Disarikan oleh Windu Jusuf dan dikoreksi oleh Vannessa Hearman. Bukunya dapat dibeli melalui situs web resmi NUS Press.
---
Pada artikel ini, kami melakukan pelanggaran hak cipta dengan menggunakan foto milik Sdr. Dodit Sulaksono tanpa izin. Redaksi tirto.id memohon maaf atas kealpaan pemuatan foto tersebut.
Editor: Ivan Aulia Ahsan