tirto.id - Seakan Dewi Yustisia yang sedang malih rupa menjadi laki-laki, ia membacakan putusan pengadilan rakyat kasus 1965 dengan mencerap dokumen dalam bentuk braille. Zakeria “Zak” Yacoob, hakim yang kehilangan penglihatan sejak kecil karena meningitis ini, adalah hakim International People's Tribunal (IPT) 1965 yang digelar di Den Haag, 10-13 November 2015.
Pada 1998, Zak ditunjuk oleh Nelson Mandela menjadi hakim konstitusi di Afrika Selatan. Negeri yang mengalami pengalaman buruk terkait hak asasi manusia: apartheid. Kini, ia menjadi hakim dalam pengadilan rakyat untuk tragedi hak asasi manusia di Indonesia pasca-G30S, yang terjadi pada kurun 1965-66.
Pengadilan rakyat ini kontroversial. Menkopolhukam Luhut Pandjaitan pernah menyebutnya kegiatan "kurang kerjaan", seperti dilansir BBC Indonesia. Ada pula yang menganggapnya pengadilan dagelan. Salah satunya adalah Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pada akun Twitter-nya.
Tapi para hakim tampaknya mengantisipasi kesalahpahaman banyak orang terhadap IPT ini. Ia menjelaskan, IPT 1965 adalah pengadilan rakyat yang memperoleh otoritas moralnya dari suara para korban, serta suara masyarakat sipil nasional dan internasional. IPT mengambil format pengadilan HAM resmi, tetapi bukan merupakan pengadilan kriminal. IPT memiliki hak tuntutan, tapi tidak memiliki kapasitas untuk melaksanakan keputusannya.
“Karakter inti dari Tribunal [IPT 1965] adalah sebagai pengadilan atas penyelidikan,” ucap Zak.
Hasilnya, penyelidikan IPT 1965 menemukan ada 10 jenis tindakan kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, yakni pembunuhan, pemusnahan, hukuman penjara tanpa proses hukum, perbudakan, penyiksaan, dan penghilangan paksa. Ada juga kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, serta genosida.
Zak menguraikan, orang terbunuh dalam tragedi ini jumlahnya pada kisaran 400 sampai 500 ribu orang. Angka sebenarnya bisa lebih rendah atau lebih tinggi. Pembunuhan itu terjadi secara sistematik terhadap anggota PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.
Untuk orang yang dipenjara tanpa proses peradilan, jumlahnya setidaknya 600 ribu orang. Ini jelas melanggar prinsip keadilan. Perbudakan juga terjadi. Zak menyebut, orang-orang yang ditahan banyak yang dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Juga melanggar konvensi mengenai kerja paksa tahun 1930, lebih dari 30 tahun sebelum tragedi.
Selain dipenjara, orang-orang kiri juga banyak yang disiksa, terutama saat interogasi. Bagian tubuh dibakar, disetrum, disiksa dengan air, dilecehkan secara seksual, dicabut kuku jari, dipaksa minum urine para prajurit, diberi cabai pada mata, dan bentuk siksaan lain. Kejadian-kejadian penyiksaan ini sudah diselidiki oleh Komnas HAM dan Komnas Perempuan, tetapi tak ada tindak lanjut hukum.
Kejahatan lainnya adalah penghilangan paksa. Tak sedikit keluarga yang kehilangan tulang punggungnya, ayah atau ibu mereka, dan tak pernah mendapatkan kabar bahkan hingga umur mereka renta. Orangtuanya benar-benar hilang tanpa jejak.
Yang tak kalah memilukan adalah kejahatan seksual. Kinkin Rahayu adalah salah satunya. Dalam berkas laporan IPT 1965 ini, kesaksiannya dituliskan.
“[K]ami disuruh memilih 'Kamu pilih mengaku, kenal, melakukan gerakan gerilya politik atau kamu saya telanjangi?' Tetapi akhirnya kami ditelanjangi, dalam keadaan saling telanjang, disaksikan oleh mereka yang ada di situ,” demikian kesaksian Kinkin, menceritakan saat ia diinterogasi.
Laporan IPT juga mencermati laporan Komnas Perempuan tahun 2007 yang mengutip pengalaman seorang korban. “'Kamu pelacur, kan? Kamu dilatih oleh PKI bagaimana memutilasi tubuh, ya?' Mereka diharuskan telanjang selama dua malam dan pada suatu kesempatan seorang prajurit menyodok ujung senapan ke dalam vaginanya,” demikian isi kutipan laporan itu.
Selain semua tindakan kejahatan langsung, adapula kejahatan yang dijadikan pembenaran untuk melakukan kejahatan lain: propaganda palsu. Misalnya soal yang terjadi di Lubang Buaya. Tubuh jenderal dikabarkan dimutilasi, juga disilet, meski kenyataannya tidak. Kebohongan-kebohongan inilah yang dijadikan pembenaran bagi segala kejahatan terhadap korban.
Kejahatan paling ultim di antara semuanya adalah genosida. Seluruh rangkaian pemaparan bukti-bukti dan penyelidikan pada IPT 1965 menyimpulkan negara ini melakukan genosida. Pada kelompok apa? Yang pertama adalah kelompok yang didefinisikan sebagai “grup nasional Indonesia”, yakni mereka yang merupakan anggota “PKI dan semua yang dituduh sebagai anggota atau simpatisannya, juga banyak orang lain termasuk loyalis Sukarno, aktivis buruh, dan guru.”
Kedua, genosida terhadap kelompok minoritas etnis Cina-Indonesia atau Tionghoa. Laporan IPT 1965 menulis, mereka dibunuh karena “mereka adalah anggota Baperki, sebuah perkumpulan Indonesia Tionghoa yang terkait dengan PKI. Tapi motif etnis juga memegang peranan dalam pembunuhan masal warga Tionghia Indonesia, terutama di Medan, Makassar dan Lombok.”
Tiga Negara yang Turut Sekongkol
Semua kejahatan itu tak dilakukan oleh aparat negara ini sendirian. Militer bisa melakukannya secara sistematis karena bantuan Amerika Serikat, salah satunya. Negara adidaya ini jelas punya kepentingan untuk mengenyahkan komunisme terkait perang dinginnya dengan Uni Soviet.
Robert J. Martens, mantan pejabat di Kedutaan Besar AS di Jakarta, menyatakan pada wartawan Kathy Kadane dari Washington Post bahwa pihaknya menyetor daftar berisi ribuan nama pada pihak militer. Nama-nama dalam daftar itu adalah mereka yang (dianggap) terkait dengan PKI.
“Itu benar-benar bantuan besar terhadap tentara. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan mungkin tangan saya berlumuran darah, tapi tidak semua hal itu buruk. Ada saat di mana Anda harus memukul dengan keras di waktu penentuan,” Martens memberi pengakuan diimbuhi pembenaran.
Ada bukti pula yang menyebut pejabat Gedung Putih terlibat dalam operasi intelijen. Pejabat negara ini juga menyediakan senjata, perangkat komunikasi, serta pasokan medis secara rahasia pada militer, juga relawan muslim dan nasionalis untuk menghadapi PKI.
Selain Amerika Serikat, Inggris Raya juga terlibat. Derajatnya memang lebih kecil dibanding negeri Paman Sam. Negara ini mendorong jiran Indonesia, Singapura dan Malaysia, untuk memanfaatkan peristiwa G30S demi “membersihkan Indonesia dari pengaruh komunis dan melemahkan kekuatan politik Presiden Soekarno.”
Tentu banyak yang mafhum kerasnya Soekarno terhadap Inggris terkait friksi dengan Malaysia, dan momentum ini sangat tepat untuk menyingkirkan pemerintahan nasakom di bawah Soekarno. Mereka melakukannya dengan siaran-siaran propaganda yang bertujuan menajamkan rasa permusuhan antikomunis terhadap PKI dan Sukarno.
Australia juga melakukan propaganda serupa. Radio Australia, misalnya, menyiarkan kabar-kabar palsu yang menguntungkan tentara Indonesia.
“Departemen Luar Negeri Australia berusaha mengarahkan Radio Australia dalam persoalan ini, dan juga sukses dalam meyakinkan para redaktur koran [Australia] untuk melaporkan dan menyampaikan opini dengan cara yang peka terhadap kekhawatiran Departemen tersebut.” Hakim tanpa penglihatan dari Afrika Selatan itu menyampaikan keterlibatan ketiga negara asing dengan lancar. Zak tampaknya tak hirau dengan kemungkinan ia dihinggapi sebutan orang kurang kerjaan, ataupun hakim acara dagelan.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti