tirto.id - Keinginan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memutarkan kembali film G30S/PKI pada 30 September mendatang menuai pro dan kontra. Meski beberapa purnawirawan TNI menyatakan sepakat, namun adapula yang keberatan dengan rencana itu.
Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno setuju dengan sikap Gatot Nurmantyo yang menginstruksikan seluruh jajarannya untuk kembali memutarkan film G30S/PKI di berbagai pos TNI.
"Alasan Anda supaya prajurit saya tahu kenyataannya bagaimana tingkah laku PKI sebagai pemberontak tidak kabar burung. Itu nyatanya semua berakhir satu sumur juga ada yang disiksa Gerwani jelas," ujar Try dalam sambutan acara silaturahmi purnawirawan TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Namun, mantan Panglima ABRI ini pun setuju dengan ide pembuatan kembali film G30S/PKI yang digagas pemerintah. Ia tidak masalah jika pemerintah memasukkan isi dari keluarga korban peristiwa 65 sebagai penyeimbang informasi.
Baca: Luhut Tak Ingin Masyarakat Habiskan Energi Bahas G30S/PKI
Meskipun tidak keberatan, Try meminta kepada seluruh purnawirawan tetap mewaspadai kebangkitan PKI. Try pun mengingatkan, selain mewaspadai kehadiran PKI, TNI juga harus mewaspadai munculnya ideologi lain yang berusaha mengganti ideologi negara seperti ideologi agama dan ideologi liberal.
"Intinya kewaspadaan kepada PKI harus tetap karena ideologi predator Pancasila itu banyak," kata Try.
Sementara itu, Mantan Pangkostrad TNI AD Prabowo Subianto pun mendukung pemutaran kembali film G30S. Menurut Prabowo, pemutaran film tetap harus dilakukan.
"Tadi kan sudah jelas sikap TNI. Saya siap," ujar Ketua Umum Partai Gerindra itu saat ditemui di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Seorang purnawirawan TNI, Prabowo mengaku seluruh purnawirawan TNI pasti sepakat dengan ide pemutaran film itu.
"Saya kira semuanya harus cari kebaikan bagi negara dan bangsa," ujar Prabowo.
Purnawirawan TNI Tidak Satu Suara
Meskipun sebagian menyatakan setuju, ternyata ada pula purnawirawan TNI yang keberatan dengan rencana pemutaran film itu. Mantan KSAU Marsekal TNI (purn) Rilo Pambudi mengaku pernah meminta pemerintah menolak pemutaran film G30S.
"Saya bersama Pak Saleh Basarah (mantan KSAU) menghadap Setneg (Moerdiono) mohon kalau bisa enggak usah diputar lagi," ujar Rilo di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Namun, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku sudah mengakomodir keluhan TNI AU dan sudah mengedit film itu agar tidak menyudutkan TNI AU.
"Film G30S/PKI itu sudah diedit sedemikian rupa dan menjadi tinggal 1 jam," kata Gatot di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9/2017).
Gatot menegaskan, film tersebut diedit oleh mantan Kadispenad Hotmangaraja Pandjaitan sehingga hanya fakta-fakta sejarah yang dimunculkan saja. "Jadi tidak akan menyudutkan ke mana-mana," kata Gatot.
Gatot menegaskan, dirinya meminta pemutaran kembali film G30S/PKI karena ingin menginformasikan kepada publik tentang kudeta PKI. Ia mengingatkan, sejarah cenderung berulang sehingga publik harus sadar agar peristiwa pemberontakan seperti G30S tidak terulang.
Baca: Film G30S PKI Dinilai Tidak Tepat untuk Jadi Rujukan Sejarah
Namun, ia belum mau berkomentar tentang adanya penayangan film G30S dari sisi korban peristiwa 65. "Yang saya adalah menyetel film itu mengapa demikian karena sejak 2008 pelajaran sejarah tentang sejarah G30S PKI sudah tidak ada lagi," kata Gatot.
Terkait dengan imbauan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu yang memintanya untuk tidak memaksakan memutar film itu, Gatot menegaskan bahwa Menhan tidak bisa ikut campur.
"Menhan tidak punya kewenangan terhadap saya. Kendali saya hanya dari Presiden (Jokowi) garisnya. Saya katakan tidak bisa mempengaruhi saya kecuali presiden. Itu prajurit saya kok," tegas Gatot.
Gatot pun tidak perduli mengenai tudingan adanya politisasi serta manuver politik dalam pemutaran film G30S.
"Saya bilang tadi orang kawin saja dipolitisasi ya wajar-wajar saja itu curiga. Orang punya persepsi wajar yang penting jangan menyebarkan berita bohong," kata Gatot.
Baca juga:
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto