tirto.id - Usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuat ulang (remake) film Penumpasan Pengkhianatan G30 S PKI dikritisi oleh sineas Hanung Bramantyo. Ia menilai, film tersebut tidak tepat jika dijadikan rujukan sejarah.
Hanung, yang juga sempat membuat film berlatar sejarah seperti Soekarno: Indonesia Merdeka (2013) dan Kartini (2016) mengatakan, film punya keterbatasan. Hanung beralasan, film hanya mampu memotret satu sudut pandang dari seluruh rangkaian peristiwa yang berlangsung.
“Jika pemutaran film tersebut ditujukan untuk mengungkap kebenaran Peristiwa 65 yang sebenar-benarnya, buat saya kok tidak tepat. Film itu medium yang sangat terbatas,” kata Hanung, saat dikonfirmasi Tirto.
Hanung mengatakan, sejak awal, film, selain sebagai temuan teknologi, juga merupakan seni mengelabui penonton. Film tidak pernah objektif dan selalu ada unsur keberpihakan pembuatnya. Ini terlihat dari bagaimana para pembuat film membingkai peristiwa.
Peristiwa-peristiwa itu dipilih dengan visi eksekutif produser dengan tujuan tertentu. “Dengan durasi yang terbatas, filmmaker harus memilih angle yang akan dibidik untuk penonton. Setelah pemilihan angle, riset dilakukan dalam batas koridor angle tersebut. Terkadang banyak menemukan fakta-fakta baru di luar angle yang sudah dipilih. Tapi kembali lagi, fakta-fakta tersebut akan menambah plot film dan memperpanjang durasi atau tidak?" jelas Hanung.
Baca juga:Soal Nobar Film G30S PKI, Jokowi: Lebih Baik Buat Versi Baru
Pernyataan Hanung tersebut sebagai respons terhadap wacana yang dilontarkan Presiden Jokowi untuk membuat revisi film G 30 S PKI. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini beralasan, setidaknya pembuatan ulang film bisa lebih dekat dengan generasi muda agar mengerti bahaya komunisme dan PKI.
“Akan lebih baik kalau ada versi yang paling baru agar lebih kekinian, bisa masuk ke generasi-generasi milenial," kata Jokowi usai meresmikan Jembatan Gantung Mangunsuko, di Kecamatan Dukun, Magelang, Senin (18/9/2017) siang, seperti dilansir setkab.go.id.
Dalam konteks film Penumpasan Penghianatan G 30 S PKI ini, Hanung menilai, persoalan terbesarnya adalah bahwa filmmaker abai dengan fakta lain. "Bukan karena kurang riset, tapi sepertinya film ini memang ditujukan untuk membentuk opini sepihak," katanya.
Hanung juga menilai yang bermasalah dari film ini adalah paksaan untuk menontonnya. Pada zaman Orde Baru masyarakat tak ada alasan untuk tidak menonton film tersebut. Selain di televisi nasional, film juga disiarkan secara terbuka di ruang-ruang publik.
Sementara itu, Dosen Sejarah Universitas Padjadjaran, Muhammad Mulyadi menilai bahwa diputarnya kembali film tersebut justru jadi peluang untuk membongkar narasi tunggal yang disusun oleh negara. Ia menilai bahwa masyarakat sekarang sudah cerdas untuk menilai sebuah karya seni.
"Masyarakat sekarang sudah cerdas sehingga bisa melihat di mana letak kebohongan yang terjadi pada film tersebut," kata Mulyadi.
Mulyadi menambahkan "Pemutaran ini juga mencegah agar masyarakat tidak mudah terprovokasi terhadap kasus-kasus hukum yang tidak melewati proses pengadilan.”
Baca juga:Fahri Hamzah Sebut Revisi Film G30S/PKI Pintu Rekonsiliasi
Film dokudrama Penumpasan Penghianatan G 30 S PKI ditayangkan pertama kali pada 1984. Film milik Perum Produksi Film Negara (PPFN) ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer, dengan anggaran Rp800 juta saat itu.
Film ini pernah mendapatkan penghargaan sebagai film dengan skenario terbaik pada Festifal Film Indonesia (FFI) 1984 dan film terlaris FFI setahun setelahnya. Namun, film ini kemudian tidak lagi ditayangkan televisi nasional sejak September 1998.
Wacana ini kembali merebak karena meluasnya kekhawatiran soal bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI), isu "langganan" tiap bulan September yang juga diduga jadi salah satu pemicu penyerangan kantor YLBHI, Minggu hingga Senin dini hari kemarin (18/9/2017).
Penulis: Rio Apinino
Editor: Abdul Aziz