tirto.id - Massa Laskar Merah Putih berdemontasi dan menolak seminar ilmiah di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat. Seminar yang digelar Forum 65 itu bertajuk "Pengungkapan sejarah 1965/1966". Alasannya, mereka meneruskan dendam warisan keluarga.
"Saya anak tentara. Bapak saya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia bercerita mengenai kekejaman PKI," kata Ketua Markas Besar Laskar Merah Putih, Lucky Sunarya, yang menjadi pemimpin demo kepada reporter Tirto.
Selain karena dendam warisan, Lucky menegaskan bahwa sejarah Indonesia terkait kudeta 1965/1966 merupakan kebenaran tak terbantahkan. Dasarnya adalah film propaganda yang dibikin rezim Soeharto, berjudul "Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI" pada 1984. Film ini adalah dokudrama sepanjang 4 jam 31 menit, yang jadi alat propaganda anti-komunis dan legitimasi pemerintahan Soeharto.
"Film G30S/PKI itu benar. Gerakan itu yang dilakukan PKI. Saya yakin TNI-Polri juga sepakat tidak ingin komunis ada di bumi pertiwi," tuturnya.
Baca juga: Massa Aksi Anti Komunis Bubar, Panitia Menolak Alasan Blokade
Massa Laskar Merah Putih memulai demo pukul 12.34 di depan gedung YLBHI. Pada pukul 13.10, mereka berusaha merangsek ke barisan polisi yang membentengi tempat para advokat publik Jakarta itu berkantor. Namun, aparat kepolisian berhasil memukul mundur. Massa bubar pada pukul 14.44.
"Kalau dibiarkan diskusinya, kita akan perang," kata Lucky, yang menilai tak ada yang perlu diluruskan dari sejarah 1965-1966.
Ia mengklaim massa berkoordinasi dengan beberapa ormas untuk secara bergantian demo di depan YLBHI.
"Sudah koordinasi. Beberapa elemen ada FPI. Sama-sama mendukung agar acara ini digagalkan. Kami silih berganti menjaga di sini," ucapnya.
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menegaskan bahwa yang menyebut seminar ini tentang "kebangkitan PKI" adalah hoax. Isu itu sengaja disebarkan. Padahal seminar ilmiah ini, yang sedianya digelar Sabtu dan Minggu esok, mengundang beberapa tokoh pemerintahan, bahkan ada Mayjen (purn) Saurip Kadi.
"Kami membela hak setiap orang untuk berdemonstrasi, walaupun mereka tidak sepakat dengan ide kami dan korban 65 yang kami bela," kata Alghiffari kepada reporter Tirto.
Baca juga: Polisi Blokade Seminar 1965/1966, Panitia: Ini Pembungkaman
"Acara kami terbuka untuk publik, bahkan akan live streaming. Tapi sayangnya justru polisi melarang diskusi. Sejak pukul 6 pagi, polisi memblokir jalan agar peserta seminar tak bisa masuk."
"Ini suatu kemunduran. Ini seperti situasi pada zaman Orde Baru," tuturnya.
Ia berkata ia tidak perlu memberi surat pemberitahuan kepada polisi mengenai seminar ini—alasan yang dipakai polisi untuk membubarkan seminar tersebut. Menurutnya, menyurati pemberitahuan sebuah kegiatan di dalam gedung kepada polisi tidak ada dasar hukumnya. Undang-Undang Kepolisian tidak menyebut bahwa diskusi harus menyurati pemberitahuan kepada polisi.
Undang-Undang 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum mengatur bahwa kegiatan yang harus mengirim pemberitahuan kepada polisi di antaranya adalah pawai dan mimbar bebas. Seminar tidak termasuk.
"Ini bukan ranah yang harus membuat izin keramaian. Izin keramaian itu di Juklak No. 2/1995," katanya. Menurutnya, ada banyak dasar hukum yang disalahpahami.
Ia menuturkan, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Mabes Polri sempat memberi persetujuan agar peserta diperbolehkan ke dalam gedung. Namun, Kapolsek Menteng Ronald Purba dan Kapolres Jakarta Pusat Suyudi Ario Seto tak memberikan izin. Ia menilai ada kesalahan koordinasi.
Baca juga: Indeks Demokrasi Indonesia Menurun di Tahun 2016
Alghiffari juga merespons acuan dasar Lucky Sunarya dari Laskar Merah Putih yang berdemo karena film G30S. Beberapa hari terakhir film propaganda ini diminta pejabat pemerintahan Jokowi agar kembali diputar di stasiun televisi. Alghiffari menilai, jika film propaganda itu tak masalah diputar kembali, maka upaya mengimbanginya dengan agenda lain harusnya tak dilarang.
"Itu demokrasi namanya. Kalau narasi sejarah dipaksakan ke orang lain dan tidak boleh membahas narasi sejarah yang lain, itu melanggar HAM," tegasnya.
Alghiffari berkata bahwa LBH Jakarta sering sekali membantu advokasi Laskar Merah Putih, keluarga purnawirawan, dan kelompok Islam.
"Kami dulu sempat kerja sama dengan ketuanya, namanya Eddy Hartawan. Kami membantu keluarga purnawirawan. Laskar Merah Putih perlu tahu mengenai sejarah advokasi yang dilakukan LBH. Besok LBH Jakarta dan Amnesty Internasional akan mengadvokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas'ud yang akan dibubarkan di Bogor, yang dianggap oleh apartur pemerintah sebagai sarang teroris," tutupnya.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Yantina Debora