tirto.id - Ada orang berpakaian tentara Jepang dalam momenpengibaran bendera usai proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 itu. Apakah orang tersebut utusan Dai Nippon? Kalau benar, mengapa ia memegang tali dan mengerek sang saka Merah-Putih begitu khidmat? Apakah seorang tentara Jepang yang bertugas sebagai pengibar bendera pusaka?
Orang berseragam militer Jepang itu juga terlihat dalam foto monumental saat Sukarno membacakan teks proklamasi. Di sisi kiri sang proklamator, ada Mohammad Hatta yang nantinya menjadi Wakil Presiden pertama RI. Sementara di sebelah kanan Sukarno, orang berpakaian prajurit Dai Nippon itu berdiri tegap dan dengan seksama mencermati kata demi kata dari pembacaan naskah proklamasi.
Ternyata, ia bukan orang Jepang atau dari pihak Dai Nippon. Ia orang Indonesia asli. Di depan namanya bahkan tertempel embel-embel gelar ningrat Jawa yang membalut nama lahir. Ia adalah Raden Mas Abdul Latief Hendraningrat.
Diceritakan oleh Hatta dalam buku Sekitar Proklamasi (1970), Latief Hendraningrat memang memakai seragam tentara Jepang saat menjadi petugas upacara bendera pertama usai proklamasi kemerdekaan itu. Hatta tidak heran karena Latief adalah anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang.
Tak ada keterangan mengapa Latief tetap memakai seragam Jepangnya di acara sakral itu. Bung Hatta hanya menceritakan Soekarni yang saat itu merasa ketakutan, tidak berani memakai seragamnya untuk menghadiri proklamasi. Soekarni bahkan sampai meminjam baju milik Hatta saking cemasnya. Jika melihat cerita itu, bisa jadi Latief berkebalikan Soekarni. Ia bisa saja sengaja mengenakan seragam Jepang.
Pemicu Proklamasi
Sebelum masuk PETA, Latief Hendraningrat terlebih dulu bergiat di Pusat Latihan Pemuda (Seinen Kunrenshoo) yang juga bentukan Jepang. Ketika pemerintahan militer Jepang di Indonesia membentuk PETA pada 3 Oktober 1943, ia mendaftarkan diri dan diterima.
PETA merupakan kesatuan militer Jepang di Indonesia yang melibatkan orang-orang pribumi dengan tujuan untuk mempertahankan tanah air (Indonesia) jika datang serangan dari Sekutu. Namun, tujuan itu tidak pernah terlaksana karena banyak di antara anggota PETA yang justru mendorong kemerdekaan Indonesia dinyatakan lebih cepat dari yang direncanakan oleh Jepang.
Banyak mantan anggota PETA yang nantinya menjadi tokoh militer Indonesia, termasuk Soeharto yang kelak menjabat sebagai Presiden RI ke-2, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ahmad Yani, Sarwo Edhie Wibowo, Basuki Rahmat, dan lainnya. Veteran PETA, dan juga para eks tentara KNIL bentukan Belanda, memang merupakan embrio yang nantinya membidani terbentuknya angkatan perang republik atau Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Karier militer Latief Hendraningrat di PETA pun berjalan cukup mulus. Hingga akhirnya PETA dibubarkan pada 18 Agustus 1945, pangkat terakhir Latief adalah chudancho (sudanco) alias komandan kompi, satu tingkat di bawah pangkat tertinggi untuk pribumi saat itu yakni daidancoatau komandan batalyon.
Latief Hendraningrat termasuk golongan muda yang menjadi pemicu diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Menyerahnya Jepang kepada Sekutu sudah diketahui oleh kaum muda Indonesia pada 14 Agustus 1945 dari siaran radio. Para pemuda ini pun menuntut kepada Sukarno dan Hatta untuk secepatnya menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Namun, Sukarno menolak karena masih menantikan realisasi janji dari Jepang yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu dekat. Para pemuda tidak sabar dan meminta kepada Latief Hendraningrat sebagai salah satu perwira PETA tertinggi di Jakarta untuk meyakinkan Sukarno-Hatta, dan terjadilah apa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 (Majalah Veteran, Volume 1, No. 5, September 2011).
Latief Hendraningrat menjadi orang PETA yang paling bertanggungjawab atas keamanan Jakarta saat itu. Ia menggantikan tugas atasannya, Kasman Singodimejo, yang sedang berada di Bandung (St Sularto & Dorothea Rini Yunarti, Konflik di Balik Proklamasi, 2010:104).
Atas persetujuan Latief, “Operasi Rengasdengklok” bisa dilaksanakan. Berkat peran Latief dan para anggota PETA lainnya, proses dibawanya Soekarno-Hatta ke daerah di kawasan Karawang itu terhindar dari pantauan tentara Jepang (Her Suganda, Rengasdengklok, 2009:46). Dan itulah yang memicu proklamasi kemerdekaan RI lebih cepat diumumkan tanpa harus menunggu persetujuan dari Jepang.
Mengamankan Kemerdekaan
Pagi-pagi buta tanggal 17 Agustus 1945 itu, anak-anak muda berdatangan menuju Lapangan Ikada (kini di area Monumen Nasional atau Monas). Mereka mendengar bahwa di sana Sukarno-Hatta akan menyatakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, sesampainya di lapangan, tentara Jepang sudah siap dengan senjata lengkap (Sudiro, Pengalaman Saya di Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, 1974:20).
Pada waktu yang sama, di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat, Latief Hendraningrat bersama orang-orang kepercayaannya tampak bersiaga. Rupanya, deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia bukan dilakukan di Lapangan Ikada, melainkan di alamat tersebut yang tidak lain adalah kediaman Sukarno.
Latief Hendraningrat tidak hanya mengamankan halaman depan rumah Sukarno yang akan digunakan sebagai lokasi proklamasi. Ia juga menempatkan beberapa prajurit PETA pilihannya untuk berjaga-jaga di sekitar jalan kereta api yang membujur di belakang rumah itu (Merdeka, 17 Agustus 1972).
Dalam rangkaian persiapan proklamasi itu, Latief memang mengemban tugas yang cukup berat. Selain bertanggungjawab atas keamanan lokasi sekaligus para pesertanya, ia juga menjadi salah satu orang yang memiliki andil terbesar dalam menjamin kelancaran jalannya upacara.
Menjelang jam 10 pagi, Latief Hendraningrat mengawal dua proklamator ke titik lokasi pembacaan teks proklamasi (Nugroho Notosusanto & Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, Volume 6, 2008:152). Tidak heran, di foto monumental itu terlihat Latief berdiri tegap tidak jauh dari Sukarno-Hatta sebagai garda paling depan jika terjadi hal-hal di luar perkiraan.
Usai pembacaan teks proklamasi, Latief bertindak sebagai pengibar sang saka Merah-Putih bersama Suhud Sastro Kusumo, orang kepercayaannya. Belakangan, sempat muncul nama Ilyas Karim yang mengaku bertugas sebagai orang yang juga menjadi petugas pengibar bendera pusaka. Namun, klaim itu mendapat bantahan dari sejumlah pihak karena tidak adanya bukti yang meyakinkan.
Upacara kemerdekaan perdana pada 17 Agustus 1945 itu dilakukan dengan sangat sederhana, bendera pusaka dikibarkan di sebatang bambu lantaran situasi darurat (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, 2017:153). Dan, seluruh rangkaian acara itu terselenggara dengan relatif lancar di bawah kendali Latief.
Mengabdi di Luar Kekuasaan
Latief Hendraningrat turut terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan usai kedatangan Sekutu yang diboncengi Belanda tak lama setelah proklamasi dideklarasikan. Ia pernah menjadi Komandan Militer Kota (KMK) di Yogyakarta (Sri Bintang Pamungkas, Ganti Rezim Ganti Sistim, 2014:15).
Kala itu, Yogyakarta sebagai ibukota RI menjadi area pertempuran yang paling genting. Latief juga berhubungan sangat baik dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman (Ayi Jufridar, 693 KM: Jejak Gerilya Sudirman, 2015:79). Ia juga ikut merumuskan taktik gerilya dan perencanaan Serangan Umum Satu Maret 1949 yang melegenda itu.
Setelah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada Indonesia pada 1950, Latief masih melanjutkan kariernya di TNI-Angkatan Darat. Dua tahun kemudian, ia diberi mandat sebagai atase militer RI di Kedutaan Indonesia untuk Filipina, tapi tak lama kemudian ia dipindahkan ke Washington hingga 1956.
Pulang ke tanah air, Latief Hendraningrat langsung dipercaya untuk memimpin Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD). Sebelum pensiun dari ketentaraan, ia sempat menjabat sebagai rektor pertama IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) setelah lepas dari Universitas Indonesia, yakni pada 1964-1965.
Tahun 1967, ia benar-benar gantung senjata. Seiring terjadinya peralihan kekuasaan di Indonesia, ia memilih menyepi dari hiruk-pikuk politik dan mengabdikan diri untuk Yayasan Perguruan Rakyat serta Organisasi Indonesia Muda hingga akhir hayatnya. Latief Hendraningrat wafat di Jakarta tanggal 13 Maret 1983 dalam usia 72 tahun.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani