tirto.id - ”Saya memang radikal. Saya melawan arus. Tetapi bagi saya, kalau mau hidup di sini, cari makan di sini, mau mati di sini, ya harus mencintai Indonesia,” tegas Junus Jahja suatu kali.
Nama aslinya Lauw Tjhwan Thio. Ya, ia memang keturunan Tionghoa. Tapi, "Enggak perlu lagi kita melihat ke Tiongkok,” tandasnya seperti dikutip dari Kompas (20 Agustus 2009).
Lauw Tjhwan Thio memeluk Islam pada 1979 dengan bimbingan Buya Hamka (Junus Jahja, Catatan Seorang WNI: Kenangan, Renungan & Harapan, 1989: 222). Ulama besar itu kemudian memberinya nama anyar, yakni Junus Jahja atau Yunus Yahya dalam ejaan baru.
Atas peran Hamka pula, Lauw Tjhwan Thio alias Junus Jahja masuk kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan, pria ini kemudian dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengurus MUI.
Serius Jadi Orang Indonesia
Lauw Tjhwan Thio atau Junus Jahja dilahirkan di Jakarta pada 22 April 1927. Ia adalah putra dari pasangan Lauw Lok Soey dan Oey Ay Nio yang sukses menjadi pengusaha roti saat itu. Ia merampungkan pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas di Jakarta, dan pada 1949 melanjutkan studi ke Belanda, tepatnya di Univesiteit van Rotterdam.
Semasa kuliah di Rotterdam, Junus Jahja tanpa canggung turut aktif di organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda. Dan tampaknya, Junus memang ingin menegaskan bahwa ia adalah orang Indonesia dengan masuk organisasi tersebut.
Bahkan, seperti dituliskan oleh Riyanto D. Wahono dalam buku Tujuh Puluh Tahun Junus Jahja (1997:140), Junus Jahja menjadi salah satu penggerak dibubarkannya Chung Hwa Hui di Belanda untuk kemudian dilebur ke dalam PPI. Chung Hwa Hui adalah perhimpunan pelajar/mahasiswa keturunan Tionghoa yang dibentuk sejak 1927.
Junus lulus kuliah dari Univesiteit van Rotterdam tahun 1959 dan kembali ke Indonesia sewarsa berikutnya serta sempat . menjalani karier di bidang perbankan, sesuai gelar sarjana ekonomi yang dikantonginya. Di tanah air, ia juga menulis di majalah Star Weekly tentang gerakan asimilasi (Sam Setyautama, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, 2008:159).
Selanjutnya, bersama tokoh-tokoh peranakan Cina di Indonesia lainnya, termasuk P.K. Ojong, Ong Hok Ham, Kwik Hway Gwan (ayah Kwik Kian Gie), juga Harry Tjan Silalahi, Junus Jahja memprakarsai Piagam Asimilasi dalam suatu seminar yang dihelat di Bandungan, Jawa Tengah.
Asimilasi dalam pandangan Junus dan kawan-kawan dimaknai sebagai proses masuk dan diterimanya keturunan Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia sehingga golongan semula yang khas tidak ada lagi (Beni Bevly, Aku Orang Cina?, 2008:158). Artinya, asimilasi adalah syarat mutlak untuk mencapai suatu bangsa dengan masyarakat yang adil dan makmur serta berperan di dunia internasional sesuai panggilan zaman.
“Kita semua sejak (Sumpah Pemuda) 1928 telah menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, tanpa mengkotak-kotakkan bangsa Indonesia berdasarkan garis kesukuan, kedaerahan, maupun ras!” tandas Junus Jahja.
Tionghoa Penebar Islam
Dalam artikelnya di Star Weekly pada 1960 dengan tajuk “Menuju ke Asimilasi yang Wajar”, Junus Jahja bersama 9 orang intelektual keturunan Tionghoa lainnya menegaskan bahwa satu-satunya jalan agar orang peranakan Cina menjadi loyal kepada negara adalah dengan meninggalkan kedudukannya sebagai minoritas dan melakukan asimilasi atau peleburan seratus persen menjadi orang Indonesia “asli”.
Secara khusus, Junus Jahja dengan terang-terangan menyatakan bahwa untuk mengatasi “permasalahan Cina”, orang Tionghoa harus memeluk agama mayoritas di Indonesia, yaitu Islam (Beni Bevly, 2008:157). Dan itulah kemudian yang dilakukannya pada 1979, menjadi mualaf di bawah bimbingan Buya Hamka, Ketua MUI yang pertama.
Dr. Charles Coppel dalam Indonesian Chinese in Crisis (1973) sepakat dengan pemikiran Junus Jahja. Masuk Islam, tulisnya, adalah terapi baru bagi penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Coppel agaknya teringat situasi di Thailand dan Filipina di mana orang-orang peranakan Cina di sana memeluk agama mayoritas penduduk setempat (Junus Jahja, Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya, 2002: 269).
Tahun 1980, Junus Jahja berkesempatan menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Sepulangnya ke Indonesia, ia diterima sebagai anggota MUI hingga kemudian menjabat sekretaris dewan pengurus pusat (Junus Jahja, Islam di Mata WNI, 1993:167).
Junus Jahja nantinya juga menjadi penasihat MUI, anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), hingga tercatat sebagai anggota Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan dedengkot Muhammadiyah, Amien Rais. Junus kala itu memang dekat dengan orang-orang Muhammadiyah.
Sejak masuk Islam dan menjadi pengurus MUI, Junus gencar melancarkan syiar Islam kepada orang-orang keturunan Tionghoa sepertinya. Sebagai wadah untuk aksi dakwah tersebut, ia mendirikan Yayasan Ukhuwah Islamiyah dan turut menggagas dibentuknya Yayasan Abdul Karim Oey Tjeng Hien, serta aktif di Perhimpunan Islam-Tionghoa Indonesia, Lembaga Pengkajian Pembauran, dan lain-lain.
Cina-Muslim-Nasionalis
Junus Jahja barangkali menjadi salah satu dari sedikit mualaf keturunan Tionghoa di Indonesia yang amat gencar menebarkan dakwah Islam sekaligus sosok yang sangat nasionalis. Ia bahkan terkesan frontal dalam menyikapi sekaligus mengkritik sikap orang-orang keturunan Tionghoa yang dianggapnya terkadang mengesankan diri sebagai kelompok eksklusif.
”Mereka, semua suku dan keturunan apa pun yang hidup di Indonesia, harus mau berbaur dan berjuang bersama untuk maju,” tukas Junus Jahja (Kompas, 20 Agustus 2009).
Saking seriusnya meresapi dan memaknai sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Junus bahkan rela menghilangkan dialek khas warga keturunan Tionghoa dalam percakapan sehari-hari. ”Saya belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa Indonesia yang menyebut lu orang, you orang, dan kita orang,” tegasnya.
Ia kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1998-2003 pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Di era yang sama, Junus Jahja juga dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputera Utama.
Bahkan, di usia senjanya ketika Indonesia diterpa krisis dimensional beberapa tahun awal setelah reformasi, Junus masih menyimpan asa besar bagi bangsa ini. ”Harapan saya, Indonesia harus maju. Tidak bisa tidak, negara yang begini kaya harus maju!” tandasnya.
Junus Jahja wafat di Jakarta tanggal 7 Desember 2011 pada umur 84 tahun. Salah seorang rekan terdekatnya, Harry Tjan Silalahi, selalu terkenang atas kesungguhan Junus untuk benar-benar menjadi orang Indonesia sepenuh hati. ”Dengan jiwa dan raga, ia memilih menjadi Indonesia dan konsekuen menjalankan pilihannya,” ucap Harry.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani