tirto.id - ”Waktu itu saya masih kecil, baru berumur 10 tahun. Saya melihat dengan mata kepala sendiri pembakaran itu. Tentara menculik dan membunuh kerabat istana,” sebut Ibrahim mengenang peristiwa kelam yang pernah dialaminya semasa bocah dulu (Lentera Timur, 26 Juni 2012).
Ibrahim beruntung lolos dari maut. Pria bernama lengkap Ibrahim Bin Datu Bendahara ini menjadi salah satu saksi hidup ketika serombongan prajurit TNI membakar istana Kesultanan Bulungan di Kalimantan bagian utara, dekat perbatasan Malaysia, pada 24 Juli 1964 silam.
”Peristiwa itu tidak akan kami lupakan. Tuhan yang akan membalasnya,” ucap Ibrahim lirih.
Kejadian berdarah tersebut dikenal juga dengan nama Tragedi Bultiken yang merupakan singkatan dari Bulungan, Tidung, dan Kenyah, tiga suku utama yang sejak dahulu kala menghuni kawasan itu.
Bertamu Sebelum Menyerbu Bulungan
Istana dua tingkat yang semula berdiri megah itu hangus, hancur, lebur dengan tanah. Isinya pun dijarah dan dibawa pergi oleh kaum serdadu berlabel nasional yang ramai-ramai merubuhkannya. Para tentara dari satuan Brawijaya 517 tersebut tak hanya membakar istana, mereka juga menghancurkan permukiman di sekitarnya, termasuk rumah-rumah adat.
Baca Juga:
Insiden pembakaran istana itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya, dini hari 3 Juli 1964, sepasukan prajurit dari satuan yang sama mengepung Kesultanan Bulungan. Terjadilah peristiwa pembantaian yang memakan cukup banyak korban, banyak di antara mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
”Kerabat kami satu per satu diculik. Ada yang dibunuh. Setidaknya ada 58 orang korban keganasan tentara,” ungkap Ibrahim.
Ibrahim sepertinya memang tidak mengetahui berapa sebenarnya jumlah korban dalam aksi pembantaian tersebut. Namun, menurut laporan Koran Kaltim (14 Maret 2013), ada 87 orang yang menjadi korban, 37 orang di antaranya tewas.
Pada 24 April 1964 itu, Brigjen Soeharjo memerintahkan tentara menangkap seluruh bangsawan Bulungan. Mereka dibagi ke dalam beberapa grup. Seluruh bangsawan laki-laki disatukan dalam satu kelompok lalu dimasukkan ke dalam perahu, sedangkan anak-anak dan perempuan ditempatkan di perahu yang lain. Rencananya mereka akan dibawa ke Tarakan, dari sana berlanjut ke Balikpapan. Rencana itu tak dijalankan. Ada 30 orang yang akhirnya dieksekusi tim pengawal yang berasal dari Kodim Bulungan. Mayat mereka dilempar begitu saja ke lautan (Burhan Djabier Magenda, East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, hal.91).
Di sisi lain, kedatangan tentara nasional pada waktu subuh itu sebenarnya cukup aneh. Malam hari sebelum tragedi, tanggal 2 Juli 1964, Kesultanan Bulungan kedatangan tamu pejabat militer. Ali Amin Bilfaqih (2006) dalam buku Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan dari Masa ke Masa menyebut tamu itu adalah Letnan B. Simatupang dan Kapten Buntaran.
Disebut aneh karena kedua tamu tersebut datang secara baik-baik dan terlibat obrolan santai dengan Sultan Bulungan, bahkan tak jarang terdengar tawa penuh keakraban. Setelah beberapa lama berbincang, Letnan B. Simatupang dan Kapten Buntaran pamit undur diri. Sang Sultan pun berkenan mengantar kedua tamunya sampai ke tangga istana.
Dan, selepas tengah malam menjelang esok hari berikutnya, terjadilah operasi penyerbuan yang diikuti aksi pembantaian.
Bulungan Dituding Melawan Negara
Puluhan tentara bersenjata lengkap yang berdatangan pada dini hari 3 Juli 1964 itu mengejutkan penduduk Bulungan yang hendak bersembahyang Subuh. Tepat jam 6 pagi, warga dikumpulkan dan tampillah Mayor Sumina Husain, Komandan Kodim 0903, yang lantas berseru lantang.
“Para bangsawan Bulungan ingin memberontak terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah,” sebut Mayor Sumina Husain di hadapan warga yang telah berkumpul.
Dikutip dari Lentera Timur yang secara langsung mewawancarai Ibrahim pada 2012, seruan Mayor Sumina Husain itu ditegaskan kembali oleh Letnan B. Simatupang, salah satu tamu Sultan Bulungan yang semalam bercengkerama di istana.
Baca Juga:
Sejumlah warga yang melihat Letnan B. Simatupang dan Kapten Buntaran bertamu dan diterima dengan baik oleh Sultan Bulungan tidak percaya dengan tudingan itu. Namun, aparat tetap bersikeras. Bahkan, menurut laporan Lentera Timur, Letnan B. Simatupang memerintahkan salah satu anak buahnya untuk menembak mati seorang tokoh adat yang menyangkal tuduhan tersebut.
Setelah tragedi pada 3 Juli 1964 itu, beberapa hari setelahnya masih terjadi aksi lanjutan. Istana ditutup paksa, harta benda yang ada di dalamnya dijarah. Tak hanya itu, satu demi satu bangsawan Bulungan tiba-tiba raib tanpa diketahui sebabnya, termasuk sang sultan. Ada pula yang ditangkap, bahkan dibunuh – sebagaimana kesaksian Ibrahim – yang berpuncak pada pembakaran istana beberapa pekan kemudian.
Seluruh penduduk diperintahkan untuk turut membantu tentara membakar dan menghancurkan istana Kesultanan Bulungan. Jika ada warga yang tidak mau atau menghindar, maka akan dianggap melawan perintah negara dan dicap sebagai pemberontak.
Simpang-Siur Tuduhan Makar
Belum terungkap dengan pasti rincian makar yang dituduhkan TNI terhadap Kesultanan Bulungan. Yang jelas, kerajaan yang berdiri sejak abad ke-16 ini memang enggan mencari masalah karena memang tidak punya angkatan perang yang kuat. Bahkan, pada masa kolonial Belanda pun, Kesultanan Bulungan memilih berdamai ketimbang mengajak ribut.
“Bulungan dan Belanda itu bersahabat. Kami tidak berperang melawan Belanda,” jelas Jimmy Nasroen, tokoh pemuda Bulungan yang juga pengajar di salah satu perguruan tinggi di Kalimantan Utara (Lentera Timur, 19 Juni 2012).
Apa yang sebenarnya terjadi sehingga TNI menuding Bulungan hendak memberontak masih simpang-siur. Barangkali kedekatan dengan Belanda pada masa lalu (sesuatu yang sebenarnya juga terjadi di berbagai aristokrasi lain di Indonesia, termasuk di Jawa) yang membuat citra Kesultanan Bulungan setelah Indonesia merdeka dipersoalkan.
Baca Juga:
Atau, faktor wilayah yang tidak jauh dengan Malaysia di Borneo bagian timur bisa pula dijadikan sebagai indikatornya, meski Bulungan memilih bergabung dengan Indonesia ketimbang beralih ke negeri tetangga. Padahal, saat masih berjaya, wilayah kekuasaan Kesultanan Bulungan mencakup daerah Sabah, juga Pulau Sipadan dan Ligitan, yang saat ini menjadi bagian dari Malaysia.
Ada pula yang menyebut bahwa aksi itu semata polah oleh oknum TNI yang dikendalikan PKI. Insiden tersebut terjadi atas perintah Pangdam IX Mulawarman, Brigadir Jenderal Suharjo, yang disebut-sebut dekat dengan sayap kiri (Ibnu Purna, eds., Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI, 1999:81).
Dalam buku East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy (hal. 90-91), Burhan Djabier Magenda menyebutkan Soeharjo dilaporkan menerima dokumen yang memperlihatkan indikasi keberpihakan Kesultanan Bulungan kepada Malaysia. Seringnya anggota keluarga kesultanan bepergian ke Sabah di saat sedang gencar-gencarnya kampanye "Ganjang Malaysia" menjadi dalih penguat.
Kunjungan-kunjungan itu sebenarnya bisa saja dianggap wajar. Keluarga Kesultanan Bulungan memang punya ikatan keluarga dengan Kesultanan Sabah. Konteks politik konfrontasi dengan Malaysia membuat tafsir bisa menjadi begitu lentur - untuk tidak mengatakan dibuat-dibuat secara post-factum.
Markas Besar Angkatan Darat yang, menurut Burhan Djabier Magenda, tidak sepenuhnya setuju terhadap tindakan brutal itu pun cenderung diam dan tidak mengambil langkah untuk menghentikan Soeharjo. Koneksi yang kuat di kawasan perbatasan dengan Malaysia, dalam situasi panas politik konfrontasi, membuat Soeharjo punya posisi yang kokoh dan tidak mudah disingkirkan begitu saja. Ia disebut-sebut mendapatkan dukungan yang kuat dari Jakarta.
Adakah Nasionalisme di Bulungan?
Setelah peristiwa tragis pada 1964 itu terjadi, banyak warga Bulungan, terutama dari kalangan istana yang lolos dari pembantaian oleh tentara Indonesia, lari menyelamatkan diri ke negeri jiran yang memang letaknya tidak terlalu jauh. Hal tersebut diakui oleh Ibrahim.
“Kami dituduh makar, melawan pemerintahan yang sah. Akibatnya, banyak kerabat kami yang lari ke Malaysia dan memilih menjadi warga negara Malaysia ketimbang Indonesia,” kata Ibrahim.
Salah satu orang penting yang selamat dari insiden itu adalah pewaris takhta Kesultanan Bulungan, Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, yang meminta suaka politik ke negeri seberang. Sampai saat ini, tokoh yang seharusnya dinobatkan menjadi Sultan Bulungan X itu masih menjadi warga negara Malaysia.
Sedangkan Sultan Bulungan yang saat peristiwa itu terjadi masih bertahta, serta sempat menerima kehadiran Letnan B. Simatupang dan Kapten Buntaran di istana, lenyap tanpa kabar. “Raja Muda (Sultan Bulungan) hilang. Sampai sekarang tidak jelas keberadaannya,” sebut Ibrahim.
Kesimpang-siuran terkait insiden pembantaian keluarga Kesultanan Bulungan pada 1964 itu masih belum terkuak hingga kini. Desakan agar pemerintah melakukan penyelidikan dan rekonstruksi untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi mulai terdengar kendati belum mendapatkan respons yang berarti.
“Sayangnya, negara kita tidak memberikan perhatian kepada fakta-fakta keberadaan Kesultanan Bulungan ini,” sebut Wahab Kiak, pemerhati sejarah Bulungan (Koran Kaltim, 14 Maret 2013).
Baca Juga:
- Singapura, Negeri yang Merdeka karena Disia-siakan.
- Belanda Melepas Manhattan Demi Pulau Kecil di Maluku.
Kenangan atas peristiwa tragis itu rupanya masih membekas bagi warga Bulungan dan keturunannya yang bermukim di sana. Meskipun masih berstatus sebagai warga negara Indonesia, tidak sedikit penduduk Bulungan yang cenderung menggantungkan hidupnya kepada negara tetangga.
”Tak ada nasionalisme di sini. Kami makan dan belanja barang-barang yang hampir semuanya dari Malaysia,” tandas Jimmy Nasroen kepada Lentera Timur. ”Ekonomi masyarakat di Bulungan sangat maju saat itu. Jika tidak bergabung dengan Indonesia, kami (mungkin) sama sejahteranya seperti Singapura,” ratapnya.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS