tirto.id - Korea Selatan (Korsel) baru saja mendeklarasikan martial law atau darurat militer pada Selasa (3/12/2024) malam sekira pukul 22.20 waktu setempat.
“Kami akan melindungi Korsel yang bebas dari ancaman kekuatan komunis Korea Utara, dan segera memberantas pihak-pihak yang tidak bermoral pro-Korut. Kekuatan anti-negara Korsel yang merampas kebebasan dan kebahagiaan rakyat kami, dan menetapkan konstitusi yang bebas,” kata Presiden Korsel, Yoon Suk-yeol dalam deklarasinya seperti dikutip VOA Korea.
“Kami mengumumkan darurat militer (martial law) untuk menjaga ketertiban,” tambahnya kala itu.
Namun status martial law Korsel hanya bertahan 6 jam. Presiden Yoon kemudian mencabut status martial law pada Rabu (4/12/2024) pagi sekitar pukul 04.27 waktu setempat, atas desakan Majelis Nasional Korsel.
“Ada permintaan dari Majelis Nasional untuk mencabut darurat militer, jadi kami akan segera menerima permintaan Majelis Nasional dan mencabut darurat militer,” kata Yoon, Rabu (4/12/2024) pagi.
Sebelumnya, Majelis Nasional Korsel mengadakan Sidang Pleno, Rabu (4/12/2024) dini hari sekira pukul 01.00 waktu setempat. Sebanyak 190 dari 300 anggota yang hadir, menyatakan suara bulat mengeluarkan resolusi untuk meminta pencabutan darurat militer.
Hal itu sesuai konstitusi Negeri Ginseng tersebut. Dalam Pasal 77, Ayat 4 dan 5 Konstitusi Korsel, ditetapkan bahwa jika Presiden mengumumkan darurat militer, ia harus memberitahu Majelis Nasional tanpa penundaan.
Namun, apabila pencabutan darurat militer diminta dengan persetujuan mayoritas anggota Majelis Nasional yang terdaftar, maka Presiden harus mencabutnya. Lantas apa martial law yang sempat menghebohkan Korsel dan dunia?
Pengertian Martial Law yang Berlaku 6 Jam di Korsel
Melansir Legal Information Institute, martial law adalah jenis yurisdiksi ketika otoritas militer menggantikan otoritas sipil untuk sementara. Martial law juga populer dengan istilah pemerintahan militer.
Diterapkannya martial law memberi wewenang kepada militer untuk menjalankan tanggung jawab cabang-cabang yang tidak dapat berfungsi. Seperti di antaranya legislatif, cabang eksekutif, atau pengadilan.
Namun dalam pengertiannya, martial law berbeda dengan hukum militer. Sebab, martial law atau darurat militer, maka personel militer di masa ini harus tetap bertindak sesuai dengan hukum sipil. Kemudian, warga negara yang telah dirugikan oleh penggunaan kekuatan militer, memiliki hak untuk mencari ganti rugi atas kerugian tersebut.
Sedangkan, Hukum militer –yang melibatkan organisasi, pemerintahan, dan disiplin pasukan– hanya berlaku bagi mereka yang sedang bertugas di militer. Darurat militer atau martial law umumnya jarang terjadi. Bahkan di Korsel, martial law terakhir terjadi pada 1980 silam.
Martial Law di Korsel dan Beberapa Negara
Martial law di Korsel pada 2024 merupakan kali pertama sejak 1980 silam atau setelah 44 tahun berlalu. Darurat militer di Korsel 4 dasawarsa silam diawali dari terbunuhnya Presiden Park Chung-hee pada 1979 oleh Peristiwa 26/10'.
Martial law kemudian diperluas secara nasional pada tanggal 17 Mei 1980 oleh rezim militer baru, termasuk oleh Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo. Pemerintahan militer kala itu mengambil kendali seluruh negeri.
Melansir KBS, status martial law kala itu memantik kecaman rakyat Korsel. Unjuk rasa dan protes terhadap rezim militer, terjadi di seluruh Korsel. Imbasnya, terjadi Gerakan Demokratisasi Gwangju 18 Mei 1980.
Status martial law Korsel 4 dekade lalu berakhir 24 Januari 1981 silam. Di Korsel, martial law sudah diterapkan 16 kali setidaknya sejak berdirinya pemerintahan negara tersebut pada 1948.
Di Amerika Serikat (AS), darurat militer juga telah dideklarasikan beberapa kali. Martial law pertama di AS terjadi New Orleans, Louisiana oleh Jenderal Andrew Jackson saat itu selama Perang 1812.
Sementara itu, salah satu yang terakhir di Asia Tenggara, status martial law juga pernah dideklarasikan Filipina di bawah kepemimpinan Rodrigo Duterte lewat Proclamation 216.
Martial Law Filipina selama rezim Duterte bahkan diperpanjang sebanyak 3 kali hingga 2019. Itu menjadi salah satu pemerintahan militer terpanjang terpanjang setelah rezim Ferdinand Marcos.
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Dipna Videlia Putsanra