tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut pemerintah akan membuat fasilitas penyimpanan cadangan minyak (storage) di sebuah pulau di dekat Singapura. Menurutnya, fasilitas penyimpanan minyak ini diperlukan Indonesia untuk mencapai mimpi swasembada energi seperti yang ditarget Presiden Prabowo Subianto.
"Kami akan bangun storage di satu pulau yang berdekatan dengan Singapura, kemampuan penyimpanan (storage) kurang lebih sekitar 30-40 hari," katanya di acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Legislator Nasional Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), Jakarta, pada Rabu (11/12/2024).
Nantinya, fasilitas ini akan digunakan untuk menampung berbagai jenis minyak dan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa membeli minyak dengan harga murah. Selain itu, fasilitas penyimpanan ini juga akan berfungsi sebagai Cadangan Penyangga Energi (CPE) yang bisa digunakan sewaktu-waktu saat negara menghadapi krisis, seperti perang.
Kata Bahlil, fasilitas penyimpanan ini penting bagi Tanah Air karena saat ini Indonesia hanya memiliki cadangan minyak setara 21 hari saja.
"Ini bicara geopolitik, jadi negara kita ini kalau mau perang ya, saya mau sampaikan, kita punya kapasitas cadangan minyak kita storage kita hanya kemampuannya 21 hari," ujar dia.
Di sisi lain, fasilitas penyimpanan ini juga disiapkan untuk melepas ketergantungan impor BBM dari Singapura, yang menurut catatannya sudah mencapai 60 persen. Hal ini membuatnya terheran-heran karena Negeri Singa tersebut tak memiliki sumber daya minyak.
“Singapura tidak punya minyak, tapi dia bisa impor ke Republik Indonesia 60 persen. Ini saya nggak ngerti teorinya dari mana," ucap Bahlil.
Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), selama enam tahun terakhir volume impor minyak bumi dari Singapura ke Indonesia selalu di atas 10 juta ton minyak mentah per tahun. Pada 2017 misalnya, impor minyak mentah yang dapat diolah menjadi BBM dari Singapura tercatat sebesar 15,84 juta ton dengan nilai mencapai 8,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp136,74 triliun (asumsi kurs Rp15.900 per dolar AS). Volume dan nilai impor minyak tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2018, dengan realisasi impor sebesar 17,85 juta ton dan nilai mencapai 11,85 miliar dolar AS atau setara Rp188,41 triliun.
Meski begitu, di tahun-tahun berikutnya realisasi impor minyak mentah dari Singapura mengalami penurunan hingga pada 2022 hanya sebesar 10,95 juta ton, dengan nilai 10,38 miliar dolar AS atau sekitar Rp169,04 triliun. Namun, di sepanjang 2023, impor bahan bakar mineral yang terdiri minyak bumi, gas alam, dan batu bara dari Singapura ke Indonesia dilaporkan senilai 40,12 miliar dolar AS, sekitar Rp637,91 triliun.
Terlepas dari itu, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo menilai fasilitas penyimpanan ini dimaksudkan sebagai CPE yang bisa digunakan dan dikeluarkan negara dalam kondisi kahar. Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 96 Tahun 2024 tentang Cadangan Penyangga Energi.
“Selama ini Indonesia tidak mempunyai CPE … Yang ada saat ini adalah Cadangan Operasional yang dimiliki Badan Usaha, Pertamina (PT Pertamina (Persero)), AKR (PT AKR Corporindo Tbk), dan lain-lain untuk disalurkan ke masyarakat,” ujarnya kepada Tirto.id pada Kamis (12/12/2024).
Diketahui dalam beleid yang diundangkan pada 2 September 2024 lalu, disebutkan bahwa penyediaan CPE merupakan kewajiban pemerintah pusat. Sedangkan pengaturan CPE yang meliputi penentuan jenis, jumlah waktu, dan lokasi CPE dilakukan oleh DEN. Adapun jenis CPE akan ditetapkan dengan mempertimbangkan konsumsi nasional, sumber perolehan yang berasal dari impor, sebagai modal pembangunan nasional, neraca energi nasional, dan/atau sumber energi yang siap ditransformasikan atau dipergunakan.
Dengan adanya aturan ini, nantinya CPE akan dicadangkan setiap tahun sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Dengan target pada 7-10 tahun mendatang Indonesia sudah memiliki CPE yang setara dengan jumlah volume 30 hari impor, yakni sekitar 9-12 juta barel.
“Import BBM sekitar 300.000-400.000 BOPD (barrel oil per day) kali 30 (hari),” jelas Abadi.
Melalui PP No. 96/2024 ini juga pemerintah diberi waktu hingga tahun 2035 untuk memenuhi ketersediaan CPE. Pada Pasal 6 disebutkan bahwa jumlah CPE yang ditetapkan antara lain bahan bakar minyak jenis bensin (gasoline) sejumlah 9,64 juta barel, Liquefied Petroleum Gas (LPG) sejumlah 525,78 ribu metrik ton, dan minyak bumi sejumlah 10,17 juta barel.
Dengan produksi domestik hanya bisa mencapai rata-rata 600 ribu BOPD, sementara konsumsi mencapai 1,5 juta BOPD, maka pencadangan minyak untuk fasilitas penyimpanan mau tidak mau harus dipenuhi melalui impor. Apalagi, cadangan minyak domestik per Februari 2024 lalu diperkirakan sebesar 4,7 miliar barel atau hanya dapat bertahan sampai 12 tahun ke depan.
“Untuk mencapai 1 juta BBL (barel) perlu effort tidak hanya reaktivasi sumur tua, tapi perlu EOR (Enhanced Oil Recovery/pengurasan minyak tahap lanjut), waterflooding (menginjeksikan air ke dalam reservoir agar minyak sisa keluar), dan ekstensifikasi eksplorasi,” sambung Abadi.
Hal ini diamini Direktur eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar. Namun, setidaknya fasilitas ini akan menjaga BBM yang disimpan di sana lebih aman, baik dari aspek ketahanan energi maupun fluktuasi harga minyak mentah dunia.
“Iya, sama seperti memindahkan pasokan impor. Namun, lebih aman dari aspek ketahanan energi dan lebih tidak rentan terhadap fluktuasi naik turun harga minyak dunia,” Ujar Bisman kepada Tirto, Kamis (12/12/2024).
Jika fasilitas pencadangan minyak ini memang ditujukan untuk menjaga kedaulatan energi nasional, Bisman mewanti-wanti agar pemerintah tak cuma memasok minyak bumi dari Singapura, namun mencari alternatif produsen dari negara lain.
“Yang dibutuhkan jaminan pasokan BBM, jangan sampai hanya tergantung dari kilang Singapura. Itu sangat berbahaya, namun perlu dari dari berbagai sumber atau negara,” lanjut Bisman.
Pada saat yang sama, pemerintah juga harus memastikan jalur distribusi minyak dari lokasi tempat fasilitas penyimpanan berada dapat sampai ke seluruh wilayah Indonesia. Apalagi, tujuan CPE adalah untuk berjaga-jaga kala ada keadaan kahar yang menghampiri Indonesia.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemerintah harus menyiapkan penjagaan ketat di sekitar fasilitas penyimpanan minyak. Jika lokasi CPE, seperti yang disebut Bahlil, didirikan di sebuah pulau yang dekat dengan Singapura, maka pengawasan ketat area tersebut perlu diperhatikan.
“Ada risiko kedaulatan dan ketahanan nasional, oleh karena itu perlu pertimbangan dan perencanaan matang,” imbuh Bisman.
Di sisi lain, untuk membangun fasilitas penyimpanan minyak ini pemerintah juga perlu memastikan investasi yang masuk. Sebab CPE bukan hanya kebutuhan tempat yang berbeda untuk menyimpan minyak mentah, yang kemudian bakal diolah menjadi BBM (kilang) atau hanya untuk menyimpan BBM yang sudah jadi (depo BBM).
Menurut Bisman, fasilitas penyimpanan minyak hanya bisa diwujudkan jika Pertamina dapat menggandeng perusahaan asing untuk ikut berinvestasi di fasilitas tersebut.
“Membuat kilang dan penyimpanan sama butuh dana besar, namun kilang lebih mahal. Yang paling mungkin, biaya Pertamina dengan kerja sama investor luar. Kalau besarnya sangat relatif, tergantung kapasitas dan aspek lainnya,” papar Bisman.
Sedikit berbeda dengan Bisman, pakar ekonomi dan energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai rencana pembangunan fasilitas penyimpanan ini tak menyelesaikan masalah ketergantungan impor migas dari Singapura. Indonesia memang sudah lama tak bisa memenuhi kebutuhan minyak domestik secara mandiri hanya dari produksi dalam negeri.
Kejayaan minyak Indonesia berhenti pada 1996-1997, saat lifting minyak Indonesia dapat mencapai 1,6 juta barel per hari. Dengan konsumsi domestik yang hanya sekitar 600-700 barel per hari pada masa itu, 1 juta barel sisanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia. Kondisi surplus minyak ini membuat Indonesia dapat menjadi salah satu anggota OPEC.
Namun, 30 tahun berselang, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih bisa menaikkan lifting minyak, kini Indonesia harus memenuhi kebutuhan minyak domestik melalui importasi.
“Kalau hanya membangun tadi tempat penyimpanan, lalu minyaknya dari mana? Tidak cukup hanya bangun penyimpanan, maka harus dibangun kilang biar bisa mengurangi ketergantungan (impor). Kalau membangun tempat penyimpanan, sementara minyaknya atau BBM-nya itu juga dari Singapura. Hanya pindah penyimpanan aja,” kata Fahmy saat dihubungi Tirto.
Jika Indonesia mau mengurangi ketergantungan terhadap impor, setidaknya harus dibangun kilang pula pada fasilitas penyimpanan tersebut. Padahal, selama lebih dari satu dekade terakhir, Pertamina tak pernah membangun kilang baru sama sekali dan hanya memaksimalkan kilang yang ada untuk menyimpan minyak.
Kondisi ini disebabkan oleh investasi tinggi yang dibutuhkan untuk pembangunan sebuah kilang. Dari catatan Pertamina per Februari 2021, proyek pembangunan Kilang Tubang, ekspansi Kilang Balikpapan, Dumai, Balongan, dan juga Cilacap membutuhkan total investasi hingga 43 miliar dolar AS atau sekitar Rp683,7 triliun. Sejumlah proyek tersebut ditargetkan dapat mengolah 1,4 juta barel minyak mentah per hari dan memproduksi BBM sekitar 1,2 juta barel per hari serta petrokimia hingga 12 juta ton per tahun.
Biaya mahal itu lah yang menjadi tantangan dalam pembangunan kilang. “Terutama pembiayaan yang harus disediakan dalam jumlah yang besar,” imbuh Fahmy.
Di satu sisi, investasi besar untuk pembangunan kilang sudah tak banyak dilakukan untuk saat ini. Sebab, dunia telah beramai-ramai beralih menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca imbas energi kotor yang dihasilkan bahan bakar mineral.
Menurut hemat Fahmy, dengan nilai investasi yang sama-sama tinggi, pengembangan EBT jauh lebih bermanfaat dan lebih efektif mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM.
“Kalau kemudian membangun penyimpanan taruhan juga dengan kilang. Menurut saya ini sudah terlambat itu, karena misalnya kilang ini dibangun, lalu minyak mentahnya dari mana? Kalau minyak mentahnya dari Indonesia, jumlah produksinya sudah rendah. Akhirnya impor juga. Maka lebih baik jika dana yang digunakan untuk mengembangkan energi terbarukan,” tegas dia.
Editor: Rina Nurjanah