tirto.id - Di tengah Rapat Paripurna DPR RI ke-9, salah satu anggota dewan asal Dapil Riau II Fraksi PKS menyampaikan usulannya terkait penanganan kemiskinan. “Perlu kiranya kita merekonstruksi penanganan kemiskinan di Indonesia ini dengan merekonstruksi pemahamam kita pada istilah fakir miskin,” ucap anggota dewan bernama Syahrul Aidil Maazat tersebut membuka pernyataannya.
Ia menjelaskan bahwa kata fakir dan miskin berasal dari bahasa Arab dan tercantum pula dalam Alquran maupun hadis. Menurutnya, interpretasi pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin maupun aturan lainnya tidak pas dengan asal kata fakir miskin itu sendiri.
“Bahwa interpretasi yang digunakan pemerintah tidak pas dengan asal kata fakir miskin yang berasal dari bahasa Arab,” tutur Syahrul di tengah Rapat Paripurna DPR RI pada Jumat (6/12/2024).
Ia mengkritik regulasi yang ada selama ini karena tidak membedakan antara fakir dan miskin. Syahrul melanjutkan paparannya dengan menjelaskan asal kata fakir dan miskin. Fakir yang berasal dari kata faqr dalam bahasa Arab memiliki arti tulang punggung.
"Maka orang fakir adalah orang yang patah tulang punggungnya. Oleh karena itu, orang fakir itu orang yang tak mampu bekerja," jelasnya kemudian. Ia menekankan bahwa sebaiknya klasifikasi fakir dan miskin bukan berdasarkan kepada penghasilan, tapi berdasarkan pada kemampuan kerja.
Fakir yang dia maksud adalah mereka yang sudah tidak mampu bekerja sehingga harus dijamin oleh pemerintah. “Mungkin dia sudahlah miskin cacat, miskin tua renta, miskin sakit kronis seperti stroke, tumor, dan lain-lain. Orang-orang ini disebut dalam bahasa Arab adalah fakir, karena tidak mampu bekerja,” papar Syahrul panjang lebar.
Sementara miskin, menurutnya, adalah mereka yang masih mampu bekerja namun tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Maka harus ditangani dengan cara pemberdayaan. Oleh karena itu, kembali ia menegaskan bahwa rekonstruksi ulang pemahaman akan fakir miskin diperlukan agar mengubah cara pemerintah menangani masalah fakir dan miskin tersebut.
"Kami sedang mengusulkan agar ada revisi UU Nomor 13 tahun 2011, mudah-mudahan bisa kita dukung bersama," tutup Syahrul dalam penyampaian usulannya. Syahrul menegaskan bahwa revisi definisi fakir miskin sangat fundamental.
"Nah ini yang mengklasifikasi miskin antara mampu bekerja dengan tak mampu bekerja, itu yang belum ada dalam undang-undang kita. Ini yang kita coba ubah. Ini sangat fundamental. Karena ini terkait dengan ketentuan umum," tegas Syahrul, saat dikonfirmasi kembali oleh Tirto, Sabtu (7/12/2024).
Ketepatan definisi dan pemaknaan, menurut Syahrul, sangat penting karena akan memengaruhi kebijakan apa yang dapat dirilis pemerintah untuk menangani masalah kemiskinan di Tanah Air. Harapannya agar tak seperti sekarang ketika bansos seolah menjadi solusi dari segala masalah kemiskinan.
"Ketika kita tidak bisa membedakan mana yang fakir, yang harus dijamin hidupnya, mana yang miskin, yang harus diberikan pemberdayaan, maka kita susah juga untuk mengidentifikasi. Selama ini kan hitungannya penghasilan. Yang fakir itu adalah orang yang tidak punya penghasilan. Atau punya penghasilan tapi di bawah 50 persen. Yang miskin di atas 50 persen, di bawah 100 persen. Nah ini perlu dikritik," ucap Syahrul.
Definisi fakir miskin dalam Undang-Undang tentang Penanganan Fakir Miskin itu berbunyi, “Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.”
Menurut catatan pembentukan UU No 13/2011, penekanan definisi fakir miskin adalah mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar tanpa dibedakan apakah sama sekali tidak bisa bekerja atau sebenarnya masih bisa bekerja. Hal tersebut bertujuan untuk memudahkan operasional pendataan di lapangan.
Social Policy Officer The Prakarsa, Darmawan Prasetya, bersepakat dengan usulan tersebut. Sebab, menurutnya selama ini fakir miskin sering dimaknai bias. Sehingga, pada akhirnya hanya kelompok miskin saja yang diperhatikan pemerintah, tidak dengan fakir.
Dalam UU No 13/2011, fakir miskin dimaknai sebagai satu kesatuan: situasi yang sebetulnya berkaitan dengan istilah working in poverty (bekerja dalam kemiskinan). Maka, menurut Darmawan, istilah kelompok rentan menjadi frasa yang lebih relevan untuk menggambarkan kondisi masyarakat dari golongan fakir.
"Rentan ini maknanya tidak hanya mereka yang secara kategori bisa bekerja tapi tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mereka yang kategorinya rentan secara fisik, wilayah, karena usia juga," jelas Darmawan kepada wartawan Tirto, Jumat (6/12/2024).
Diksi kelompok rentan ini bisa menyasar kepada kelompok-kelompok yang lebih marginal, seperti kelompok disabilitas, lansia, masyarakat adat maupun masyarakat yang memiliki keterbatasan sumber daya alam sehingga membuatnya cukup sulit mengakses pekerjaan. “Nah ini menjadi kategori yang bisa diejawantahkan dalam sebuah kebijakan,” sambungnya.
Revisi frasa “fakir miskin” dalam regulasi dinilai bisa menjadi peluang besar bagi pemerintah untuk memperluas penanganan kemiskinan. Sehingga tak hanya kelompok masyarakat miskin saja yang mendapat perhatian, melainkan juga mereka yang berada di atas garis kemiskinan alias menuju kelas menengah (aspiring middle class).
Menurut Darmawan, meski tak masuk kategori kelompok miskin, mereka yang menuju kelas menengah juga kesulitan untuk masuk kelompok masyarakat kelas menengah dan rentan kembali masuk dalam kelompok miskin.
“Karena mereka bergantung sekali dengan pendapatan yang cukup minim, jadi risiko terhadap ketidakmampuan ketika ada kenaikan harga pangan ataupun kenaikan harga barang karena kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan kelangkaan bahan bakar, dan sebagainya, mereka mudah sekali terdampak,” papar Darmawan.
Berdasar catatan BPS, pada 2024 sebanyak 47,85 juta orang tergolong dalam kelompok kelas menengah. Jumlah ini turun 10 juta dari tahun 2019 yang sebesar 57,33 juta orang. sementara kelompok masyarakat rentan miskin terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2019 kelompok rentan miskin ada sebanyak 54,97 juta jiwa lalu naik menjadi 67,69 juta jiwa atau 24,23 persen dari total populasi di 2024.
“Penggunaan konsep rentan ini akan membuka peluang yang lebih luas untuk penanganan persoalan data yang bakal kita sebutkan, yang menjadi satu,” tambahnya.
Berbeda dengan Darmawan, ekonomi Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai tak perlu ada penggantian istilah fakir miskin dengan diksi lainnya. Sebab, istilah ini telah digunakan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, tepatnya pada Pasal 34.
Konstitusi menyebut bahwa "Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara". Selanjutnya, Pasal 27 Ayat (2) pun menyatakan, "Bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Ketimbang mendebatkan definisi frasa fakir miskin, lebih baik bagi pemerintah mengevaluasi kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan di Tahan Air. Program pengentasan kemiskinan yang banyak disalurkan dalam bentuk bantuan sosial (bansos) tersebut lebih sering tak tepat sasaran karena tidak seragamnya data yang dimiliki antar kementerian/lembaga.
Menurut Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang kerap disapa Gus Ipul, saat ini masing-masing kementerian dan lembaga memegang data berbeda terkait kesejahteraan sosial. Kementerian Sosial memiliki Data Tunggal Kesejahteraan Sosial, BPS punya data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek), bahkan Kementerian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan dan PLN juga memiliki data masing-masing yang berbeda satu sama lain.
"Presiden mengarahkan untuk dimatangkan, dimantapkan lagi sehingga nanti akan diterbitkan data tunggal sosial ekonomi," ucap Gus Ipul kepada awak media usai rapat terbatas di Istana Negara, pada Selasa, (26/11/2024).
Data yang berbeda dan tak seragam ini antar lembaga atau kementerian ini membuat program-program bantuan sosial tak tepat sasaran dan rentan disalahgunakan atau mengalami kebocoran. Mengutip data KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), pada 2023 setidaknya bansos salah sasaran mencapai Rp140 miliar per bulan.
“Program kita terlalu didominasi pendekatan ‘memberi makan ikan’ yang berpotensi menciptakan ketergantungan, menimbulkan mentalitas tangan di bawah, dan tidak sustainable secara fiskal,” papar Wijayanto melalui pesan singkat, Jumat (6/12/2024).
Sementara peneliti senior The SMERU Research Institute Luhur Bima menilai bahwa lebih baik pemerintah tidak terjebak dalam perdebatan masalah diksi fakir miskin. "Lebih menggunakan bukti-bukti lapangan di dalam mendefinisikan kemiskinan. Dengan berbasis bukti dari lapangan, akan membantu pemerintah dalam memformulasikan strategi kemiskinan yang lebih akurat," ucap Luhur.
Sebab, daripada berdebat urusan definisi, kajian mengenai kemiskinan di Indonesia sudah cukup banyak dan bisa menjadi acuan bagi pemerintah dalam menyusun strategi pengentasan kemiskinan. "Harapan saya adalah pemerintah ke depannya dapat lebih menekankan pendekatan teknokratis ketimbang politis dalam menyusun strategi penurunan angka kemiskinan," pungkas Luhur.
Editor: Rina Nurjanah