tirto.id - Presiden Prabowo Subianto telah membentuk badan baru, yakni Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Badan ini bertujuan membantu menekan angka kemiskinan di Indonesia secara maksimal selama periode 2024-2029.
Dalam buku Gagasan Strategis Prabowo Subianto: Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045-Indonesia Menjadi Negara Maju dan Makmur, Prabowo Subianto menjanjikan dapat menurunkan angka kemiskinan ekstrem hingga nol persen dalam dua tahun pertama masa jabatan. Serta mencapai kemiskinan 5 persen pada 2029.
Sampai dengan Maret 2024, persentase penduduk miskin ekstrem di Indonesia adalah 0,83 persen, atau setara 2,3 juta orang. Sedangkan jumlah penduduk miskin di Indonesia di periode sama masih sebanyak 25,22 juta orang, atau 9,03 persen dari total penduduk Indonesia yaitu 279 juta jiwa.
Tidak mudah memang untuk mencapai target diinginkan Prabowo. Namun, lewat Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan ini, Prabowo akan mempelajari dan memonitor semua program perlindungan sosial dan bantuan supaya tepat sasaran ke golongan masyarakat yang memerlukan bantuan.
"Bukan saya ingin mencampuri pekerjaannya kementerian-kementerian, tidak. Tapi saya ingin membantu, di mana ada bottle-neck, di mana ada kesulitan segera kita atasi," kata Prabowo dalam sidang kabinet perdananya, Rabu (23/10/2024).
Untuk urusan kemiskinan ini, Prabowo menunjuk Budiman Sudjatmiko untuk menjadi Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Mantan politikus PDIP dan pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran itu, dipercaya untuk membantu wujudkan keinginan presiden dalam mengentaskan kemiskinan selama lima tahun mendatang.
"Seluruh persoalan kemiskinan itu harus bisa ditekan habis sampai lima tahun ke depan, dan itu menjadi tanggung jawab badan yang kami pimpin," kata Budiman.
Badan yang dipimpin Budiman bertugas menyusun rencana induk dan menyinkronisasi perencanaan program pengentasan kemiskinan yang ada di kementerian dan lembaga di Indonesia, melakukan pemutakhiran data kemiskinan yang akan menjadi pedoman strategis untuk mengentaskan kemiskinan, dan melakukan pemberdayaan dan pembangunan inklusif bagi masyarakat agar terhindar dari kemiskinan.
Budiman bahkan memberikan gambaran beberapa program yang akan dilakukan ke depannya seperti pemberdayaan orang miskin melalui koperasi dan BUMDES, pembuatan ekosistem kewirausahaan sosial, pelatihan teknologi, up skilling, dan reskilling.
Jika dilihat secara kesamaan, Badan Penanggulangan Pengentasan Kemiskinan ini sebenarnya tak beda jauh dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di era presiden sebelumnya. TNP2K dibentuk sebagai tim lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan yang berada di bawah presiden.
Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Tira Mutiara, mengatakan TNP2K memiliki tugas menyusun kebijakan dan program yang bertujuan mensinergikan kegiatan penanggulangan kemiskinan di berbagai kementerian/lembaga, serta melakukan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaannya.
Beberapa program yang sudah berjalan diantaranya adalah percepatan penanggulangan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem melalui program bansos dan subsidi, akses terhadap pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, air bersih, sanitasi, pangan, dan gizi).
Selain itu, ada pula pemberdayaan masyarakat miskin ekstrem melalui pelatihan, bimbingan, dan pemberian modal, dan program untuk menciptakan keluarga produktif melalui program simpanan keluarga sejahtera, PKH, usaha produktif, KIP, dan KIS; serta program-program lainnya.
“Ini bisa dikatakan memiliki tugas yang sama. Namun sampai saat ini kami belum mengetahui arah pembentukan Badan Pengentasan Kemiskinan secara detail,” kata Tiara kepada Tirto, Kamis (24/10/2024).
Tiara bahkan mempertanyakan apakah badan baru ini akan menyusun strategi dan program-program baru untuk mengentaskan kemiskinan, atau hanya perubahan nama saja dari sebelumnya TNP2K.
Bisa saja selanjutnya akan diatur secara resmi melalui Peraturan Presiden dengan melanjutkan strategi dan program-program yang sudah berjalan sebelumnya.
“Tapi, kemungkinan manapun yang akan terjadi, pengentasan kemiskinan adalah upaya yang perlu dilakukan dan memang memerlukan suatu badan yang melaksanakannya agar terorganisir,” katanya.
Tetapi masalahnya, menurut Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, badan ini justru memiliki tugas yang cukup berat dan dikhawatirkan terjadi tumpang tindih. Ini lantaran banyaknya kementerian atau lembaga yang memiliki tugas untuk program kemiskinan, Badan ini memiliki tugas yang berat dan tumpang tindih.
“Alih-alih membuat program baru dengan tambahan anggaran, badan ini bisa efektif jika mampu melakukan kerjasama dan sinkronisasi program dengan berbagai KL (Kementerian Lembaga). Badan ini dapat menjadi pelaksana sekaligus evaluator bagi KL dalam program kemiskinan,” kata Raihan kepada Tirto, Kamis (24/10/2024).
Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Sarmin, menambahkan saat ini memang terlalu banyak Kementerian atau Lembaga (KL) yang terlibat dalam program pengentasan kemiskinan, sehingga duplikasi dan pemborosan anggaran masih massif terjadi.
Misalnya, selain TNP2K, ada program di bawah Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, dan lainnya. Program-program tersebut perlu diintegrasikan sehingga bisa berdampak optimal.
"Masih belum jelas, apa wewenang lembaga baru yang dipimpin Budiman Sujatmiko ini. Semoga bisa menjadi solusi atas kesimpangsiuran ini, bukan malah memperburuk keadaan," kata Wijayanto kepada Tirto, Kamis (24/10/2024).
Harapan Baru dan Perlunya Tata Kelola Perbaikan
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, melihat pembentukan badan baru yang fokus pada pengentasan kemiskinan membawa harapan akan adanya peningkatan efektivitas dalam program-program pengentasan kemiskinan.
Namun, untuk memastikan keberhasilannya, beberapa faktor harus diperhatikan agar badan tersebut bisa berjalan efektif dan lebih baik dibandingkan dengan inisiatif sebelumnya, seperti TNP2K dan KL sebelumnya.
Menurut Dewi, badan baru ini harus mampu bersinergi antar lembaga dan kebijakannya. Karena salah satu tantangan terbesar adalah memastikan bahwa badan ini mampu mengkoordinasikan program-program yang sudah ada di berbagai KL, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan atau program yang berlebihan.
"TNP2K, misalnya, sudah memiliki data dan program yang melibatkan banyak KL. Badan baru harus memastikan bahwa mereka mampu memanfaatkan seperti data DTKS dan program yang telah berjalan seperti PKH, Bantuan langsung tunai, bukan memulai dari nol atau malah membuat kebijakan baru yang tidak sinkron," jelas Dewi kepada Tirto, Kamis (24/10/2024).
Badan ini juga perlu memiliki sistem monitoring dan evaluasi yang jauh lebih kuat dan terukur, yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki data program secara real-time. Ini termasuk menggunakan data yang terintegrasi dan sistem informasi yang mampu memetakan area kemiskinan dengan lebih akurat dan menargetkan intervensi yang tepat.
Keberhasilan badan ini, lanjut Dewi, juga tergantung pada kolaborasi dan kerjasama dengan sektor swasta termasuk dengan pemerintah daerah. Karena setiap daerah memiliki tantangan kemiskinan yang berbeda, maka badan ini perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang lebih berdaya manfaat.
Selanjutnya, kebijakan yang dilakukan oleh badan ini tidak hanya bersifat bantuan jangka pendek seperti bansos, tetapi juga berfokus pada upaya pemberdayaan masyarakat miskin agar dapat keluar dari kemiskinan secara mandiri. Ini bisa dilakukan melalui pelatihan keterampilan, akses permodalan untuk UMKM, dan akses yang lebih baik ke pasar kerja.
Badan Baru Harus Bisa Jaga Kelas Menengah
Jika badan baru yang dibentuk ini bisa bekerja secara in line dengan berbagai pihak dan memastikan program-program tepat sasaran, maka kata Dewi, badan ini berpotensi untuk mengurangi angka kemiskinan. Bahkan dapat melindungi kelas menengah dari risiko penurunan ekonomi akan lebih tinggi.
IDEAS sendiri menilai badan ini seharusnya memang bukan hanya menyasar kelas miskin saja. Adanya fenomena jatuhnya kelas menengah menjadi kelas rentan miskin, mengharuskan pemerintah ke depannya lebih peduli terhadap penduduk yang berada di kategori rentan miskin (yang dahulu masuk ke dalam kelas menengah).
Saat ini jumlah penduduk kelas menengah pada 2024 mencapai 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi di Indonesia. Jumlahnya mengalami penurunan sejak periode sebelum pandemi COVID-19, di mana pada 2019 porsi penduduk kelas menengah masih ada sebesar 21,45 persen atau sekitar 57,33 juta jiwa dan menjadi 19,82 persen (53,83 juta jiwa) di 2021.
Di saat bersamaan penduduk menuju kelas menengah jumlahnya justru bertambah sebesar 137,5 juta orang atau sebesar 49,22 persen jika dibandingkan 2023. Pada 2023, jumlah penduduk menuju kelas menengah tercatat sebesar 136,92 juta jiwa atau sekitar 49,47 persen dari total populasi.
Jika dibandingkan masa pra pandemi, jumlah masyarakat menuju kelas menengah yang sebanyak 128,85 juta jiwa atau sekitar 48,20 persen dari total populasi juga jauh lebih sedikit.
"Pengalaman negara-negara yang lolos dari jebakan pendapatan menengah menunjukkan bahwa kelas menengah yang besar dan kuat adalah fondasi terpenting menuju negara maju. Kelas menengah Indonesia, adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi," kata Tira Mutiara.
Tira mengatakan, kelas menengah dengan jumlahnya yang besar, tentu akan mendorong konsumsi domestik yang lebih tinggi, karena mereka memiliki kecenderungan konsumsi yang lebih tinggi dari kelas atas dan memiliki pendapatan yang lebih besar dari kelas bawah.
Untuk itu, dibutuhkan layanan publik yang berkualitas tinggi, terutama pendidikan dan kesehatan, mempromosikan pasar tenaga kerja yang memfasilitasi mobilitas vertikal pekerja dan tingkat upah layak, membuka akses ke pembiayaan usaha yang fleksibel dan terjangkau, serta perlindungan sosial yang lebih efektif.
"Pengentasan kemiskinan saat ini semakin mendesak dan menantang, tidak lagi bisa dengan upaya biasa-biasa saja dan hanya berdampak jangka pendek," kata dia.
Oleh karenanya, peningkatan kualitas sumber daya manusia ke depan, kata Tira, menjadi penting dan berpotensi besar dalam memberikan pengaruh terhadap pengurangan angka kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan tepat untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas yang dapat bersaing secara global.
"Dengan jumlah generasi muda yang relatif besar, jika kualitas dan daya saing SDM dijaga, dikelola, dan difasilitasi dengan baik, maka generasi muda menawarkan keuntungan yang sangat besar bagi pembangunan nasional," pungkas Tiara.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto