Menuju konten utama

Angka Kemiskinan di Akhir Periode Jokowi Masih Jauh dari Harapan

Selama hampir 10 tahun kepemimpinan Jokowi, kemiskinan hanya berkurang sebesar 2,22 basis poin.

Angka Kemiskinan di Akhir Periode Jokowi Masih Jauh dari Harapan
Presiden Joko Widodo memberikan arahan saat Rakornas Pengendalian Inflasi Tahun 2024 di Istana Negara, Jakarta, Jumat (14/6/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Target penurunan angka kemiskinan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) bak jauh panggang dari api. Sampai dengan Maret 2024, angka kemiskinan di sisa akhir masa jabatannya masih tercatat sebanyak 25,22 juta orang, atau 9,03 persen dari total penduduk 279 juta jiwa. Padahal, sedari awal Kepala Negara itu memasang target penurunan angka kemiskinan ke level 7-8 persen pada periode pertamanya dan level 6,5-7,5 persen di periode keduanya.

Selama hampir 10 tahun kepemimpinan Jokowi, kemiskinan hanya berkurang sebesar 2,22 basis poin. Dari 11,25 persen pada Maret 2014 menjadi 9,03 persen pada Maret 2024. Artinya, pemerintah masih masih butuh 1,53 poin untuk mengejar target penurunan paling tidak berada di rentang atas di angka 7,5 persen.

Namun jika dilihat secara trennya, harus diakui juga bahwa angka kemiskinan pada Maret 2024 ini tercatat turun atau lebih rendah dibanding Maret 2023 yang mencapai 25,90 juta penduduk atau sekitar 9,36 persen. Hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), garis Kemiskinan di Maret 2024, tercatat sebesar Rp582.932 kapita per bulan. Komposisinya Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp433.906 (74,44 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp149.026 (25,56 persen).

Pada Maret 2024, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,78 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga secara rata-rata adalah sebesar Rp2.786.415 rumah tangga miskin per bulan.

Angka kemiskinan pada Maret 2024 mencapai 25,22 juta orang itu menurun setelah sempat meningkat pada masa pandemi sebelumnya. Pada Maret dan September 2019, jumlah penduduk miskin saat itu tercatat sebanyak 25,14 juta dan 24,79 juta. Angka itu kemudian naik menjadi 26,42 juta di awal pandemi COVID-19 atau di Maret 2020 dan kembali menanjak menjadi 27,54 juta orang pada September 2020.

“Setelah sempat meningkat pada masa pandemi sebelumnya, tingkat kemiskinan terus menurun,” ujar Pelaksana Tugas Sekretaris Utama BPS, Imam Machdi, dalam Rilis BPS, di Jakarta, Senin (1/7/2024).

Seiring dengan turunnya jumlah penduduk miskin, indeks keparahan kemiskinan juga tercatat mengalami penurunan sebesar 0,030 poin dibanding Maret 2023, menjadi 0,347. Pun dengan indeks kedalaman kemiskinan yang juga menunjukkan penurunan dari 1,528 di Maret 2023 menjadi 1,461 di Maret 2024.

Meski secara trennya menurun, namun balik lagi penurunan angka kemiskinan pada Maret 2024 masih melenceng dan jauh dari target pemerintah. Setidaknya Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf masih punya waktu tiga bulan ke depan untuk mengejar target angka kemiskinan mendekati 7,5 persen.

"Sepertinya berat [tercapai] karena perekenomian Indonesia masih dalam fase tetap berdaya tahan di tengah meningkatnya ketidakpastian global. Rupiah juga masih melemah," ujar Pengamat ekonomi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Ernoiz Antriyandarti, kepada Tirto, Selasa (2/7/2024).

Wanita akrab disapa Riris itu melihat-lihat belum optimalnya penurunan angka kemiskinan pada Maret 2024 ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah kenaikan inflasi. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, pada bulan Februari dan Maret 2024 terjadi kenaikan inflasi bertutut-turut menjadi 2,75 persen dan 3,05 persen.

Demikian pula dengan inflasi pangan yang naik menjadi 6,36 persen dan 7,43 persen pada bulan Februari dan Maret 2024. Kenaikan inflasi, terutama inflasi pangan berdampak pada meningkatnya indeks kemiskinan.

"Hal ini menyebabkan peningkatan anggaran untuk bansos menjadi kurang optimal dalam menurunkan kemiskinan," kata dia.

TARGET PENURUNAN ANGKA KEMISKINAN

Sejumlah warga memancing di kawasan permukiman padat penduduk di bantaran Sungai Cisadane, Pancasan, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (30/11/2021). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/wsj.

Bansos Tak Maksimal Turunkan Kemiskinan

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, tidak menampik bahwa tren penurunan angka kemiskinan di RI, masih jauh dari harapan. Penurunan tersebut juga belum sebanding dengan alokasi bansos diberikan oleh pemerintah.

Padahal anggaran pemerintah untuk bansos pada 2024 sebagaimana tertuang dalam APBN 2024 nilainya mencapai Rp152,30 triliun. Posisinya naik sekitar 6,08 persen dari pagu anggaran bansos yang disediakan untuk tahun anggaran 2023 sebesar Rp143,57 triliun.

Realisasi pencairannya berdasarkan data APBN KiTa sudah mencapai Rp70,5 triliun hingga akhir Mei 2024. Realisasi tersebut naik 12,7 persen dibandingkan realisasi tahun lalu di periode sama sebesar Rp62,5 triliun. Namun anggaran bansos yang meningkat tersebut, belum cukup maksimal dalam menurunkan angka kemiskinan.

“Harusnya kan makin besar bansos penurunan kemiskinannya bisa lebih signifikan, bisa lebih besar penurunan kemiskinannya. Nah ini berarti ada sesuatu yang bermasalah gitu,” ujar Bhima kepada Tirto, Senin (1/7/2024).

Bhima melihat permasalahan bansos dari segi pendataan masih banyak yang belum tepat sasaran. Bahkan ada Eselon I di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang masih terima bansos. Persoalan ini menjadi bukti nyata bahwa terjadi penyimpangan terhadap bansos.

Kedua, lanjut Bhima, program bansos di 2023 kemarin naik secara mendadak terutama jelang Pemilihan Umum (Pemilu). Sehingga kenaikan Bansos yang cukup mendadak jelang pemilu tersebut, bisa diartikan bahwa sistem bansosnya tidak siap sebenarnya dan terkesan diada-adakan.

“Karena waktunya jelang pemilu ada bansos beras dan lain-lain. Itu membuktikan bahwa pertimbangan politis jauh lebih utama dibandingkan pertimbangan berdasarkan dengan data dan sasaran untuk mengatasi kemiskinan,” jelas Bhima.

Kemudian masalah lainnya, kata Bhima, pemberian bansos ini juga masih belum bisa dikaitkan dengan program-program untuk menunjang produktivitas. Sebab, selama ini pemberian bansos tidak dilakukan upaya-upaya untuk perbaikan peningkatan pendapatan masyarakat secara permanen, khususnya kepada masyarakat di sektor pertanian.

“Kenapa pertanian? Karena sebagian besar orang miskin itu ada di sektor pertanian, berasal dari keluarga miskin tuh. Jadi kalau pertaniannya tidak didukung maka setelah dia dapat bansos selesai ya dia balik lagi miskin. Jadi tidak ada upaya dukungan serius untuk meningkatkan pendapatan masyarakat atau lepas dari garis kemiskinan secara permanen," jelas dia.

Tidak hanya itu, program-program UMKM, pemberdayaan juga sekarang masalahnya klasik dan sudah tersebar banyak di kementerian duplikasi atau saling berulang. Satu kementerian misalnya menyelenggarakan pemberdayaan UMKM, kemudian kementerian lainnya melakukan hal yang sama. Bahkan BUMN juga ikut melakukan hal serupa.

"Jadi itu membuat kebijakan afirmatif untuk mendorong UMKM menjadi tidak efektif atau usaha-usaha mikro. Nah ini akhirnya ya membuat bansos tadi menjadi tidak berkorelasi terhadap kemiskinan gitu ya," katanya.

Di luar persoalan-persoalan di atas, lanjut Bhima, hal lainnya adalah soal korupsi bansos yang ternyata masih cukup besar. Kondisi ini membuat kekhawatiran bahwa uang yang dikucurkan negara bukan hanya tidak sampai ke sasaran karena datanya salah, tapi memang dikorupsi sejak di awal.

TEKAN ANGKA KEMISKINAN

Sejumlah anak berada di rumah mereka di Kawasan Pemukiman Pemulung di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (1/3/2019). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/pd.

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, melihat upaya pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan ketika sudah berada pada fase tingkat atau persentase satu digit akan relatif lebih menantang. Hal ini karena pemerintah butuh pendekatan yang lebih kreatif dan juga solutif terkait masalah kemiskinan.

"Apalagi kita tahu bahwa masalah kemiskinan ini tidak hanya merupakan tupoksi dari pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah," jelas dia kepada Tirto, Senin (1/7/2024).

Untuk mengejar target angka kemiskinan, kata Yusuf, pemerintah punya pekerjaan rumah besar yakni optimalisasi program bantuan sosial (bansos). Pemerintah harus memastikan penggunaan data terutama di dalam sistem yang baru itu bisa terupdate secara berkala, sehingga bisa digunakan pemerintah dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan di kemudian hari.

Selain itu, upaya penurunan tingkat kemiskinan ke depan selain dari bantuan sosial yang akan diberikan pemerintah perlu juga diimbangi dengan upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Caranya dengan menarik mereka untuk bisa bekerja ke sektor yang sifatnya formal.

"Sehingga pendapatan mereka bisa relatif lebih berkelanjutan terutama dalam jangka panjang," pungkas Yusuf.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menambahkan untuk menurunkan angka kemiskinan ke depan pemerintah perlu mengubah relokasi anggaran pengentasan kemiskinan untuk tidak berfokus kepada bansos, tapi pemberdayaan. Sebab, lewat pemberdayaan itu sifatnya justru jangka panjang dan berkelanjutan.

"Karena itu yang membuat jadi sustainable dan mestinya juga tidak lebih boros dalam pengentasan kemiskinan," ujar dia kepada Tirto, Senin (1/7/2024).

Selanjutnya, pemerintah bisa fokus dan integrasikan program-progam pengentasan kemiskinan di masing-masing Kementerian atau Lembaga (KL). Karena selama ini, persoalannya program pengentasan kemiringan justru tersebar banyak di KL.

"Sebetulnya mesti diintegrasikan sehingga menjadi lebih efisien dan lebih terkoordinasi. Sehingga ini yang bisa berdampak kepada biaya untuk pengentasan kemiskinan tidak mesti bertambah setiap tahunnya," kata dia.

Sementara itu, Riris mengatakan, upaya penurunan kemiskinan harus diimbangi dengan kebijakan stabilisasi harga pangan. Selain itu, instrumen kebijakan pemberian bansos sebaiknya disertai penciptaan lapangan kerja dan anggaran pemerintah dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif yang berdampak langsung kepada penduduk miskin dan rentan miskin.

"Hal-hal yang berkaitan dengan ketepatan penyaluran bansos juga harus diperhatikan. Jangan sampai terjadi lagi salah sasaran penerima bansos," pungkasnya.

Meski sadar masih jauh dari target pemerintah, Wakil Presiden, Maruf Amin, tetap meminta seluruh stakeholders untuk mempercepat pencapaian target angka kemiskinan paling tidak mendekati 7,5 persen. Ma'ruf menginstruksikan kementerian dan lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah (pemda) untuk meningkatkan kualitas implementasi berbagai program dan penggunaan anggara penanggulangan kemiskinan.

“Program-program yang terbukti bisa mengentaskan kemiskinan, [misalnya] di Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Koperasi dan UKM, atau di tempat-tempat lain perlu dioptimalkan bahkan kalau perlu ditambah anggarannya. Kalau program yang hasilnya tidak jelas, kita geser saja,” imbau Wapres saat memimpin Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tentang Percepatan Pencapaian Target Penurunan Kemiskinan Tahun 2024, di Istana Wapres.

Lebih lanjut, dia menyoroti masalah pengalokasian anggaran yang tidak tepat sasaran pada beberapa program. Ia pun mencontohkan pemberian subsidi seperti subsidi listrik, bahan bakar minyak (BBM), pupuk, dan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sebagian tidak dinikmati masyarakat miskin.

“Strategi penganggaran ini harus dikaji ulang, over all, sehingga lebih tepat sasarannya,” pintanya.

Khusus terkait pemberian bantuan sosial (bansos), Wapres menekankan, mekanisme besaran bansos menyesuaikan tingkat kemahalan daerah untuk dikaji. Apabila hal ini efektif, ia menginstruksikan agar dapat diimplementasikan secepatnya.

“Menurut Menteri Keuangan, anggarannya dapat menyesuaikan. Misalnya bansos di Jawa dan Papua, atau di daerah lain itu dibedakan besarannya sesuai tingkat kemahalannya masing-masing,” terangnya.

Tidak hanya itu, sambung Wapres, pemberian bansos juga harus dipastikan tepat sasaran, sehingga perlu dilakukan validasi data secara akurat menggunakan Data Penasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) maupun Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

“Kita kan sudah punya data by name by address sebenarnya, sehingga supaya lebih efektif [harus divalidasi],” tegasnya.

Baca juga artikel terkait KEMISKINAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang