Menuju konten utama

Kemiskinan Butuh Solusi, Pemerintah Harus Serius Urus Zakat

Potensi zakat umat muslim di Indonesia mencapai Rp327 triliun tiap tahunnya. Sayang, lembaga amil zakat hanya mampu mengumpulkan sekitar 10%.

Kemiskinan Butuh Solusi, Pemerintah Harus Serius Urus Zakat
Header INSIDER zakat raksasa tirtur pengentas kemiskininan. tirto.id/fuad

tirto.id - Impian zakat menjadi solusi kemiskinan tak kunjung terwujud. Sampai tahun lalu, berdasarkan data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) RI baru bisa mengumpulkan zakat sebesar Rp33 triliun atau setara 10 persen dari total potensinya.

Rendahnya pencapaian itu disebabkan pemerintah masih setengah hati dalam mengurusi zakat. Akibatnya, kemampuan badan amil dalam membantu warga miskin juga terbatas. Sangat disayangkan jika masalah zakat ini tidak digarap serius.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin per Maret 2023 sebanyak 25,90 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 74,21 persen masuk kategori garis kemiskinan makanan.

Artinya, ada hampir 20 juta orang yang setiap hari berpotensi kelaparan. Dan, sebagian besar dari mereka bisa dipastikan muslim.

Bila badan amil mampu merealisasikan potensi zakat di Tanah Air, tentu umat Islam dapat berkontribusi lebih besar untuk membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.

Menurut Periset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Gunawan Baharuddin, zakat dan zakat infeksius di Indonesia berpotensi sebagai raksasa tidur.

Kenapa disebut sebagai raksasa tidur? Karena potensi zakat yang ada di Indonesia menurut hasil kajian adalah Rp 327 triliun per tahun, sementara capaiannya sangat kecil. Kalau potensi tersebut terealisasi, bisa dibayangkan kemampuannya dalam membangkitkan produktivitas rakyat miskin.

Di beberapa negara Islam, zakat memang berperan membantu operasional kenegaraan. Studi juga telah menyebutkan bahwa zakat merupakan instrumen dalam skema pendapatan negara. Jadi bisa menjadi sumber pendanaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Bahkan di beberapa negara, zakat sudah dijadikan sebagai keuangan publik atau diwajibkan kepada masyarakat yang telah mampu. Sebab itu, pengelolaan zakat seharusnya juga diserahkan kepada ulil’amri (pemerintah).

Sementara di Indonesia, zakat belum dikelola optimal. Meski Keputusan Presiden RI No.8 Tahun 2001 telah membentuk Baznas, kemampuannya dalam menghimpun zakat masih sedikit. Mayoritas muslim di Ibu Pertiwi belum percaya untuk menyalurkan zakatnya melalui badan amil resmi.

Tentu ironis, karena badan amil telah berdiri sejak 23 tahun lalu. Namun sampai sekarang belum dipercaya oleh umat. Mengapa demikian? Penyebabnya, banyak muslim yang khawatir jika zakatnya tidak disalurkan atau dikelola dengan benar.

Meski zakat itu urusan ibadah, tidak ada orang yang ingin uangnya dipergunakan ‘sembarangan’ atau tidak sesuai dengan tujuannya. Selain masalah keraguan terhadap kredibilitas badan amil, komitmen pemerintah yang setengah hati itu tampak dalam rencana kebijakkan penghimpunan zakat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kabar pemerintah akan memotong langsung zakat penghasilan PNS sudah terdengar sejak lebih dari 10 tahun lalu. Meskipun begitu sampai sekarang, rencana itu tak kunjung terealisasi.

Presiden sampai saat ini belum bersedia menandatangani Peppres tersebut. Beberapa pemerintah daerah sampai ada yang berinisitif sendiri untuk memotong langsung zakat dari penghasilan pegawainya.

Padahal, bila PNS yang jumlahnya menurut laporan BPS mencapai 3,73 juta orang di tahun 2023 ini bisa memberikan teladan dalam membayar zakat, tentu dampaknya akan besar. Selain itu, Peppres ini juga salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam mengelola zakat.

Menteri Agama Republik Indonesia, Yaquf Cholil Qoumas, menyebut Baznas ditargetkan menghimpun dana zakat sebesar Rp 41 triliun pada 2024, naik 24 persen dari tahun sebelumnya.

Diakuinya untuk mencapai potensi zakat yang sangat besar itu tidak mudah, jika kepercayaan (trust) antara masyarakat dengan badan amil tidak dibangun. Yaquf memberi beberapa tips agar capaian zakat lebih optimal.

Pertama, peningkatan literasi masyarakat yang masih rendah terhadap zakat dan keberadaan lembaga zakat. Karena belum paham pentingnya zakat, umat muslim masih berhitung ulang jika membayar zakat.

Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat masih rendah. Perlu ada upaya untuk menumbuhkan kepercayaan kepada lembaga-lembaga zakat.

Kementerian Agama, menurut dia, juga mendorong lembaga-lembaga pengumpul zakat untuk memperkuat keterlibatan dan komitmen serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi bagi seluruh pihak terkait.

Negara Mewajibkan Bayar Zakat

Beberapa negara di Kawasan Timur Tengah telah mewajibkan warganya yang muslim dan telah memenuhi syarat untuk membayar zakat. Arab Saudi, misalnya, pembayaran zakat dihimpun langsung di bawah Departemen Keuangan. Namun, penyalurannya dilakukan oleh Departemen Sosial.

Di Negara Sudan, zakat dikelola oleh dewan zakat yang berada satu atap dengan penghimpunan pajak yang bertugas menyalurkan zakat. Lalu, di Pakistan, pemerintah memotong zakat langsung ke aset berharga tertentu milik muslim, seperti sertifikat investasi, obligasi, deposito dan saham. Namun, diluar aset tersebut, warga bisa menunaikan sendiri zakatnya.

Sedangkan di Yordania, penghimpunan zakat dilakukan oleh Shunduq Zakat yang diketuai oleh Menteri Wakaf. Pengelolaan serupa juga dilakukan oleh Kuwait. Di negara kaya minyak ini, penghimpunan zakat dibawah Menteri Wakaf dan Menteri Urusan Islam. Sedangkan distribusinya dilakukan oleh lembaga zakat.

Berbeda dengan negara Islam, Singapura menyerahkan pengelolaan zakat kepada korporat atau swasta. Pemerintah tidak turut campur. Adapun zakatnya dihimpun dari masjid-masjid yang ada di Singapura dan setoran ke rekening perbankan yang tersedia.

Sementara di Malaysia, pengelolaan zakat dilakukan oleh Pusat Pungutan Zakat (PPZ) dan pengelolaanya secara federal atau diserahkan kepada masing-masing negara bagian. Dan di Brunei Darussalam, pemerintah sejak tahun lalu juga membentuk lembaga khusus yang mengelola zakat dan wakaf, setelah sebelumnya masalah zakat dikelola oleh Lembaga Majelis Ulama Islam Brunei.

Sementara itu di Indonesia, Zakat pertama kali diatur negara dengan keluarnya Undang-Undang No.38 Tahun 1999 yang menjadi dasar pengelolaan zakat di Indonesia. Setelah itu, keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia No.8 Tahun 2001 pada tanggal 17 Januari 2001 tentang Baznas oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid.

Pengelolaan zakat di Indonesia memasuki babak baru sejak pemerintah secara resmi menetapkan UU No.23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat yang mencabut UU No.38 Tahun 1999. Pergantian beleid tersebut mempertimbangkan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

UU tersebut menempatkan Baznas sebagai lembaga pemerintah nonstruktural yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Sedangkan badan amil swasta difungsikan sebagai kepanjangan tangan dari Baznas.

Saat ini, badan amil swasta yang turut mengelola zakat termasuk Dompet Shuafa, Inisiatif Zakat Indonesia, Yatim Mandiri Surabaya, Nu Care LAZIS NU, dan LAZIS MU.

Perlu diketahui membayar zakat di badan amil memiliki keuntungan, yaitu zakat bisa jadi pengurang pajak penghasilan. Pasal 22 UU No.23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat berbunyi,”Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada Baznas atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.”

Artinya, bukti pembayaran zakat di badan amil bisa mengurangi pajak penghasilan yang harus dibayarkan ke negara.

Infografik INSIDER zakat raksasa tirtur

Infografik INSIDER zakat raksasa tirtur pengentas kemiskininan. tirto.id/fuad

Inovasi Pengumpulan Zakat

Seiring perkembangan teknologi digital dan pembenahan tata kelola badan amil, harapan untuk meraup dana jumbo dari zakat berpeluang terwujud lebih cepat.

Direktur Pengumpulan Perorangan Baznas, Fitriansyah Agus Setiawan, mengatakan potensi zakat nasional dapat dioptimalkan melalui pendekatan yang inovatif. Salah satunya memanfaatkan kanal digital dan kanal perbankan yang lebih disukai oleh kalangan muda.

Bahkan, zakat digital Baznas kabarnya disukai oleh Milenial. Lebih dari 60 persen muzaki atau pemberi zakat Baznas adalah kelompok Milenial.

Fitriansyah melanjutkan, Gen Z dan Milenial mendominasi atau lebih banyak dari generasi pendahulunya dalam membayar zakat. Dengan zakat tersebut, Baznas telah melakukan pengentasan kemiskinan selama tahun 2023 kepada 54.081 jiwa fakir miskin dan 21.140 jiwa mustahik (orang yang menerima zakat) yang diantaranya masuk kriteria miskin ekstrem.

Miskin ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar. Mulai dari makanan, air bersih, sanitasi layak, tempat tinggal, pendidikan hingga akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

Potensi dana dari zakat masih terbuka luas dengan catatan badan amil serius melakukan perbaikan dalam tata kelola dan pelayanannya. Ada beberapa masalah terkait zakat yang perlu perbaikan.

Pertama, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana zakat di lembaga-lembaga zakat. Hal tersebut penting, karena masyarakat ingin memastikan penyaluran dana zakat tepat sasaran.

Kedua, literasi tentang zakat. Pengetahuan umat Islam tentang pentingnya zakat sebagai salah satu pilar utama dalam ajaran Islam masih kurang, sehingga kesadarannya membayar zakat juga rendah.

Selain itu, penyaluran zakat melalui badan amil atau lembaga zakat akan lebih berdaya guna dibandingkan disalurkan sendiri-sendiri. Sebab itu, perlu edukasi dan sosialisasi yang intensif.

Ketiga, inovasi teknologi. Penghimpunan dan penyaluran zakat perlu memanfaatkan teknologi modern seperti platform digital, dan aplikasi mobile untuk memudahkan proses pembayaran zakat dan meningkatkan efisiensi dalam pengumpulan dan penyaluran zakat.

Keempat, regulasi dan pengawasan. Aturan yang jelas, pengawasan, dan penegakkan hukum, terhadap organisasi pengelola zakat sangat penting agar terhindar dari upaya penyelewengan dana yang dampaknya akan menggerus kepercayaan publik.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Suli Murwani

tirto.id - Insider
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas