tirto.id - Salah satu dampak pandemi COVID-19 adalah konsumen perbankan di Asia Pasifik menjadi terbiasa menggunakan layanan digital. Menurut Laporan Survei Keuangan Pribadi oleh McKinsey tahun 2021, nasabah di Asia Pasifik yang aktif menggunakan perbankan digital melonjak menjadi 88% dibandingkan 65% pada empat tahun lalu.
McKinsey mengungkapkan, penggunaan perbankan digital di Kawasan Asia Pasifik telah memasuki tahap percepatan. Hampir sembilan dari sepuluh konsumen di pasar negara berkembang dan maju di Asia Pasifik telah menggunakan perbankan digital secara aktif. Sebagian dari mereka juga terbuka untuk membeli lebih banyak layanan perbankan melalui saluran digital.
Survei Perusahaan Konsultan Bisnis yang berkantor pusat di Amerika Serikat itu melibatkan sekitar 20.000 responden di 15 negara Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Menurut survei tersebut, adopsi perbankan digital di negara-negara berkembang telah menyamai adopsi perbankan digital di negara-negara maju.
Pada periode 2017 dan 2021, jumlah konsumen atau nasabah di negara-negara berkembang di Asia Pasifik yang aktif menggunakan perbankan digital meningkat pesat, dari 55% tahun 2017 menjadi 88% tahun 2021. Sedangkan tingkat adopsi digital di kalangan konsumen di negara-negara maju di Asia Pasifik relatif stabil di kisaran 90 persen.
Perilaku konsumen Asia Pasifik yang semakin menyukai perbankan digital ini telah menurunkan aktivitas di kantor cabang secara signifikan. Meski aktivitas turun, menurut McKinsey, cabang masih tetap memainkan peran penting dalam memperkuat kepercayaan bank sebagai mitra utama konsumen dalam mengelola uang.
Bank dapat lebih memperkuat hubungan dengan melakukan digitalisasi proses semaksimal mungkin, sehingga staf cabang memiliki waktu untuk berkonsentrasi pada aktivitas yang bernilai lebih tinggi, seperti memberikan nasehat mengenai pinjaman, asuransi, atau investasi.
Menurut Financial Specialist Asia, Amazon Web Services Luca Durisotto dalam acara Temenos Digital Banking Forum Indonesia baru-baru ini, pandemi telah mempercepat permintaan layanan digital. Ketika kita telah keluar dari pandemi, digitalisasi telah mengambil peran penting dalam perbankan.
Sebab itu, seiring perubahan ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap layanan keuangan saat ini, bank harus mampu mengubah posisinya untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.
Untuk mempertajam keunggulan kompetitif, kata McKinsey, bank-bank lama (konvensional) harus memastikan bahwa interaksi nasabah di kantor cabang lebih dari sekedar kenyamanan fungsional, namun juga lebih baik dalam empati dan pengertian.
Kehadiran bank langsung atau bank virtual yang menawarkan layanan melalui internet, aplikasi seluler dan saluran elektronik lainnya ini mempunyai potensi ancaman yang signifikan terhadap eksistensi lembaga keuangan tradisional.
Menurut Survei McKinsey, sekitar 60% konsumen di Asia Pasifik akan mempertimbangkan untuk beralih ke bank langsung. Hasil survei juga menunjukkan bahwa konsumen kelas atas akan memindahkan sebanyak 36% portofolionya ke bank digital.
Beragam pilihan produk dan layanan menarik yang ditawarkan perbankan digital menjadi ancaman bagi bank konvensional atau bank tradisional untuk mempertahankan loyalitas nasabah.
Prospek Bank Digital
Revolusi dalam bisnis perbankan tampaknya sulit dihindari. Suka atau tidak suka, perbankan digital akan menjadi primadona di masa depan. McKinsey melihat konsumen perbankan di Indonesia sangat terbuka untuk menggunakan perbankan digital.
Menurut McKinsey dalam studinya yang berjudul ‘Digital Banking: Building Loyality and Generating Growth’ pada 2019, konsumen Indonesia mulai merangkul perbankan digital. Sekitar 50% dari seluruh responden menyatakan akan mempertimbangkan untuk pindah ke bank tanpa kehadiran fisik.
Sebagian besar responden juga menyatakan keyakinan mereka akan mengalihkan 25 hingga 50 persen saldonya ke bank digital murni atau bank yang didirikan dari awal dengan konsep digital.
Seiring pertumbuhan penggunaan internet dan telepon seluler, saluran digital akan menjadi semakin penting dalam membangun loyalitas dan menghasilkan pertumbuhan bagi lembaga keuangan.
Pertumbuhan pesat perbankan digital ini memicu persaingan ketat di dalam maupun di luar sektor perbankan. McKinsey menyarankan agar bank terus melanjutkan upaya digitalisasi dan bergerak cepat untuk menarik nasabah baru serta membangun loyalitas nasabah lama.
Segmen pasar terbesar bank digital di masa depan adalah Generasi Milenial dan Gen Z. Penelitian oleh Morgan Stanley menunjukkan, Milenial adalah pendorong terbesar permintaan pinjaman baru dan akan terus menempati posisi ini selama beberapa dekade mendatang.
Sedangkan Gen Z yang saat ini masih anak-anak dan remaja juga akan masuk dalam kelompok usia produktif, (25-40 tahun), yang siap mendorong masa depan perbankan.
Menurut Morgan Stanley, bank dan lembaga keuangan bisa menarik lebih banyak nasabah dari kelompok usia tersebut jika bank tidak sekadar menawarkan produk. Bank harus mengalihkan fokusnya untuk menawarkan pengalaman, hiburan, dan interaksi yang dipersonalisasi.
Bank juga harus mampu membangun hubungan emosional. Generasi Milenial dan Gen Z telah menunjukkan keinginan untuk membangun hubungan emosional yang lebih dalam. Bank dapat memanfaatkan keinginan ini dengan memungkinkan interaksi manusia dalam kehidupan nyata melalui fitur obrolan audio dan video dalam solusi mobile banking.
Langkah lainnya, bank harus fokus pada pesan yang sangat dipersonalisasi. Milenial dan Gen Z menginginkan pengalaman finansial yang unik dan disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensinya, sehingga mereka merasa dihargai dan diperhatikan.
Bank juga perlu mendukung tujuan keuangan mereka. Mayoritas Milenial dan Gen Z merasa tertekan dengan masa depan keuangan mereka. Generasi ini menginginkan mitra perbankan yang memahami permasalahan dan gaya hidup unik mereka dan memberikan solusi yang sesuai.
Selain itu, bank harus memanfaatkan teknologi mutakhir yang mengintegrasikan tren fintech. Bank perlu secara proaktif menerapkan tren fintech terkini dan kemajuan teknologi seperti teknologi blockchain, Robotic Process Automation (RPA), arsitektur berbasis microservices, cryptocurrency dan sebagainya.
Tak kalah penting adalah bank harus transparan dan menjaga kepercayaan. Milenial dan Gen Z menilai kepercayaan merupakan aspek penting. Sebab, mayoritas dari mereka mengkhawatirkan cara perusahaan memperlakukan data konsumen mereka.
Dikutip dari Antaranews, Survei Consumer Payment Attitudes Study (CPAS) 2022 Visa di Indonesia menemukan, penggunaan bank konvensional di kalangan masyarakat masih lebih banyak (51%) dibandingkan bank digital. Penyebabnya, mereka memiliki sejumlah kekhawatiran, seperti takut rekeningnya di-hack (46%), terjadi transaksi tidak sah atau penipuan (39%), dan mengkhawatirkan jaringan tidak stabil (35%).
Kendati demikian, survei menemukan tren penggunaan bank digital di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 75% (tahun 2020), 86% (tahun 2021), dan 88% (tahun 2022). Peningkatan tersebut berasal dari Milenial dan Gen Z yang lebih adaptif dengan teknologi.
Perbedaan Bank Digital dan Bank Konvensional
Dari segi layanan yang ditawarkan, bank konvensional maupun bank digital tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama mempunyai jasa penarikan uang, transfer uang, pengelolaan kredit, dana simpanan dan investasi, pembukaan rekening, pengelolaan cek dan laporan transaksi/ keuangan.
Perbedaan yang paling mudah diidentifikasi adalah bank konvensional dalam operasionalnya masih menggandalkan kantor fisik, seperti kantor pusat dan banyak kantor cabang. Sedangkan bank digital cukup punya satu kantor pusat, karena semua pekerjaan bisa dilakukan secara online.
Perbankan digital, menurut aturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam POJK No.12/POJK.03/2021 adalah bank berbadan hukum di Indonesia yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha, terutama melalui saluran elektronik, tanpa kantor fisik, selain kantor pusat atau menggunakan kantor fisik yang terbatas.
Bank digital dapat beroperasi melalui dua jenis model. Pertama, mendirikan bank baru sebagai bank digital. Kedua, transformasi dari bank umum menjadi bank digital atau bank konvensional yang ada saat ini bisa dikonversi menjadi bank digital dengan memenuhi sejumlah syarat dan ketentuan.
Bagaimana cara kerja bank digital? Menurut Kementerian Keuangan RI dalam laman resminya, pada dasarnya bank digital juga melakukan fungsi intermediary layaknya bank umum konvensional, yaitu mempertemukan antara pemilik dana dengan pihak yang membutuhkan dana.
Perbedaannya terletak pada penggunaan aplikasi untuk mengakomodir sebagian besar atau keseluruhan layanan nasabahnya serta memiliki sistem yang dapat menyesuaikan dengan kebutuhan nasabahnya. Sebaliknya, bank konvensional lebih mengandalkan kantor fisik dalam pelayanan nasabahnya.
Sedangkan nasabah bank digital bisa melakukan semua aktivitas perbankan mulai dari pembukaan rekening, transfer, menabung, deposito hingga penutupan akun melalui ponsel pintar atau laptop di mana pun dan kapan pun secara mandiri atau tidak perlu datang secara fisik ke kantor cabang.
Beberapa contoh bank digital yaitu Livin dari Bank Mandiri, Jenius dari BTPN, blu dari BCA, Bank Jago (d/h Bank Artos), Digibank (DBS), Wokee (Bukopin), TMRW (UOB), Nyala (OCBC NISP), SeaBank, Motion Banking (MNC Bank) dan lainnya.
Kehadiran bank digital yang menawarkan berbagai fitur sesuai dengan preferensi dan gaya hidup generasi muda dan masyarakat modern ini dinilai menarik. Beberapa kelebihan layanan bank digital berikut ini menjadi daya tarik yang tidak ditemukan di bank konvensional.
Akses mudah dan cepat. Bank digital memungkinkan nasabah untuk mengakses layanannya di mana saja dan kapan saja melalui aplikasi seluler dan situs web. Layanan ini sangat cocok dengan gaya hidup anak muda dan masyarakat modern yang menginginkan layanan serba cepat dan praktis.
Biaya administrasi yang rendah, bahkan gratis. Banyak bank digital yang menawarkan rekening tabungan dengan biaya rendah atau tanpa biaya bulanan alias gratis.
Fitur inovatif. Bank digital menawarkan fitur-fitur inovatif, seperti pemberitahuan transaksi real time, hingga terkoneksi dengan layanan pihak ketiga, seperti investasi dan asuransi. Dengan demikian, nasabah bisa merencanakan masa depan keuangannya secara mandiri melalui ponsel pintar/perangkat elektroniknya.
Pilihan pembayaran digital. Bank digital mendukung pembayaran digital dan terintegrasi dengan dompet digital atau layanan pembayaran online.
Bunga lebih tinggi. Banyak bank digital yang menawarkan suku bunga tinggi untuk menarik nasabah. Bunga deposito di bank digital pernah tembus 10%, melampaui suku bunga penjaminan dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) yang dilevel 4,25%. Jika bunga yang terima nasabah melampaui bunga penjaminan LPS, maka depositonya tidak dijamin oleh LPS.
Meski memiliki banyak keunggulan, perbankan digital juga menghadapi sejumlah tantangan, seperti perlindungan data pribadi nasabah, risiko kebocoran data, risiko penyalahgunaan teknologi artificial intelligence, risiko serangan siber, dan risiko investasi teknologi yang tidak sejalan dengan strategi bisnis perusahaan.
Editor: Dwi Ayuningtyas