Menuju konten utama

Swasembada Pangan Jangan Sekadar Omon-omon, Pak Prabowo

Pemerintahan Prabowo Subianto harus memastikan dulu komunitas apa saja yang masuk ke dalam swasembada pangan.

Swasembada Pangan Jangan Sekadar Omon-omon, Pak Prabowo
Petani menanam padi di persawahan Patianrowo, Nganjuk, Jawa Timur, Kamis (17/10/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Mada/tom.

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmennya menjadikan Indonesia swasembada pangan dalam waktu lima tahun ke depan.

Swasembada pangan adalah kemampuan sebuah negara dalam mencukupi sendiri kebutuhan pangan bagi masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), swasembada adalah usaha mencukupi kebutuhan sendiri.

Komitmen ini dilakukan Prabowo sebagai langkah utama guna menghadapi tantangan global yang makin kompleks. Prabowo mengatakan dalam situasi krisis global, negara-negara lain akan mengutamakan kepentingan domestiknya. Untuk itu, Indonesia harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri.

“Saya sudah mempelajari bersama pakar-pakar yang membantu saya. Saya yakin paling lambat 4-5 tahun kita akan swasembada pangan. Bahkan kita siap menjadi lumbung pangan dunia,” kata Prabowo dalam pidato pertamanya usai pengucapan sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, Minggu, (20/10/2024).

Untuk menuju kemandirian pangan, Prabowo bahkan membentuk pos baru yakni Kementerian Koordinator bidang Pangan yang dijabat oleh Zulkifli Hasan (Zulhas). Zulhas sebelumnya menjabat sebagai Menteri Perdagangan di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

Kementerian baru, yang dipimpin oleh Zulhas itu nantinya akan membawahi Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Badan Pangan Nasional, Badan Gizi Nasional, dan instansi lain yang dianggap perlu.

“Tugasnya [Kemenko Pangan] jelas dan terang. Bahwa lima tahun ini kita harus swasembada pangan,” kata Zulhas dalam acara Serah Terima Jabatan (Sertijab) Menteri Perdagangan kepada Budi Santoso di Kantor Kementerian Perdagangan RI, Jakarta, Senin (21/10/2024).

Zulhas mengatakan, program swasembada pangan di bawah pemerintahan Prabowo tak lagi berpusat di Pulau Jawa melainkan diarahkan hingga ke Papua. Terlebih terdapat berbagai jenis tanaman pokok yang bisa ditanam di wilayah Indonesia Timur tersebut, seperti padi, jagung, tebu, hingga lainnya.

"Masa depan kita ada di sana, pertanian padi itu, jagung ada di Papua," katanya.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, memahami adanya Kemenenko Pangan ini karena memang Prabowo betul-betul ingin mencapai swasembada pangan dan bahkan menjadi lumbung pangan dunia pada 4-5 tahun mendatang. Program peningkatan pertanian ini bahkan masuk ke dalam delapan program hasil cepat Asta Cita.

“Sehingga semua didesain untuk bisa mewujudkan [swasembada pangan] tersebut,” ujar Eliza kepada Tirto, Selasa (22/10/2024).

Diversifikasi Pangan Harus Jelas

Untuk menuju swasembada pangan tentu bukan hal mudah. Menurut pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, pemerintahan Prabowo harus memastikan lebih dulu turunan pangan yang dimaksud. Jika pangan dimaksud itu diturunkan kepada swasembada karbohidrat dan swasembada protein, maka akan bagus dan relatif mudah untuk dicapai.

“Karbohidrat sebetulnya dan protein sampai hari ini sudah tercapai sebetulnya,” ujar Khudori saat dihubungi Tirto, Selasa (22/10/2024).

Dia mengatakan untuk swasembada karbohidrat itu bisa dihitung dari sekian banyak komoditas ada di Indonesia seperti beras, jagung, kedelai, sorgum, sagu, singkong, dan seterusnya. Itu semua merupakan sumber karbohidrat dan jika ditotal jumlahnya cukup besar.

Di sisi lain, swasembada protein hewani di Indonesia pun bukan hal yang mustahil. Alasannya, karena Indonesia kaya akan pangan sumber protein hewani, baik di darat maupun laut.

“Nah, apakah pengertian pangan itu? Saya enggak tahu. Hanya Prabowo yang bisa menjawab itu,” ujar dia.

Khudori justru khawatir jika pengertian dari swasembada pangan itu masih seperti pemerintahan sebelumnya yang diturunkan dalam bentuk komoditas seperti jagung, beras, bawang putih, gula, dan lainnya tentu tidak mudah dicapai dalam lima tahun ke depan.

Mengingat zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi pun kemandirian pangan tidak pernah tercapai.

Presiden Jokowi hadiri Puncak Penanaman Mangrove Nasional

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kedua kiri), Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono (kanan) dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (kiri) menanam mangrove dalam Puncak Penanaman Mangrove Nasional oleh TNI di Seluruh Indonesia 2023 di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara, Senin (15/5/2023). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.

Di awal Pemerintahan Jokowi misalnya menjanjikan swasembada pangan, namun kenyataannya gagal dan impor pangan selama 10 tahun terakhir melonjak hampir dua kali lipat. Nilainya dari 10,1 miliar dolar AS pada 2013 menjadi 18,8 miliar dolar AS pada 2023.

“Yang komoditas, tentu enggak mudah. Aneka target pada komoditas itu tidak seluruhnya bisa disisipkan. Bahkan di zaman Pak Jokowi itu beberapa komoditas itu bukan mendekati kepada target, tapi semakin jauh dari target,” katanya.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengatakan swasembada pangan direncanakan oleh Prabowo dalam lima tahun ke depan justru akan menjadi masalah besar. Karena, saat ini konsumsi tepung terigu berbasis gandum saja telah menggantikan 28 persen konsumsi pangan pokok masyarakat.

“Bagaimana caranya 28 persen ini diganti dengan bahan pangan yang kita produksi sendiri, jawabannya tidak mungkin,” kata Andreas saat dihubungi Tirto, Selasa (22/10/2024).

Sehingga, lanjut Andreas, ketika pemerintah bicara soal swasembada pangan dalam lima tahun ke depan, jawabannya tidak mungkin. Karena masalah konsumsi tepung terigu saja semakin tahun semakin meningkat.

“Nah kita belum bicara [komoditas] lainnya, kalau misalnya kedelai dikelompokkan sebagai pangan juga, bagaimana bisa karena saat ini sudah hampir 100 persen impornya,” ujar dia.

Belum lagi gula, jika dimasukan ke dalam pangan. Bagaimana caranya bisa swasembada gula dalam hal ini jika Indonesia saja 70 persen kebutuhan gula masih diimpor dari luar, kata Andreas.

“Dan itu rentetan panjang kalau saya sebutin satu persatu. Artinya memang harus ada diversifikasi jenis pangan yang dimaksud dari pemerintah apa yang jadi fokus swasembada pangan,” jelas dia.

Kecuali, kata Andreas, jika pemerintah fokusnya terhadap swasembada pangan dalam hal ini beras. Itu masih cukup realistis bisa dilakukan oleh pemerintah. Mengingat Indonesia pernah swasembada beras tiga kali berturut pada 2019-2021.

Pada kurun waktu tersebut, Indonesia tidak melakukan impor beras umum. Terakhir kali, Indonesia melakukan impor beras umum melalui penugasan Bulog pada 2018 silam, yakni sebesar 1,8 juta ton.

Keberhasilan tersebut membuat Indonesia mendapatkan penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI). IRRI menilai Indonesia telah memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021.

IRRI menjelaskan Indonesia mencapai swasembada lantaran mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok domestik beras, lebih dari 90 persen. Diketahui, produksi beras nasional dari 2019 konsisten berada di angka 31,3 juta ton sehingga berdasarkan hitungan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah stok akhir di April 2022 lalu tertinggi di angka 10,2 juta ton.

"[Untuk beras] saya pastikan tahun 2025 kita enggak akan impor, kalau impor 2025 ya ada kesalahan besar itu di pemerintah," ujar Khudori.

Khudori meyakini Indonesia bisa kembali swasembada beras pada 2025 dengan tidak impor. Ini karena iklim sudah mulai membaik usai terjadinya El Nino. Di sisi lain stock ratio untuk beras pada awal 2025 diperkirakan sudah mencapai 20-an persen.

"Sehingga beras aman. Kalau terjadi impor berarti geblek ajalah pemerintah," pungkasnya.

Pemasangan foto Presiden dan Wapres di sekolah Kota Makassar

Seorang guru memasang foto Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di ruang kepala sekolah SLB Negeri 1 Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (21/10/2024).ANTARA FOTO/Hasrul Said/nym.

Peningkatan Produksi Pangan Harus Diubah

Di luar itu, masalah lainnya disoroti oleh CORE untuk mewujudkan kemandirian pangan, Prabowo tampak masih bersikukuh melanjutkan kembali program food estate di era pemerintahan Jokowi.

Mantan Menteri Pertahanan itu percaya dapat mewujudkan kedaulatan pangan di negeri sendiri dengan mengembangkan pertanian skala besar di berbagai daerah.

Satu dari tujuh Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) Prabowo, bahkan difokuskan untuk program lumbung pangan nasional, daerah, dan desa dengan intensifikasi lahan pertanian seluas 80 ribu hektar dan cetak sawah baru 150.00 hektar. Anggarannya ini mencapai sekitar Rp15 triliun untuk tahun pertama.

“Hal ini terkonfirmasi bahwa strategi peningkatan produksi melalui mencetak dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian dengan lumbung pangan desa, daerah, dan nasional. Maka sudah dapat dipastikan akan ada konversi hutan untuk dijadikan lahan pertanian,” kata Eliza.

Eliza mengatakan sudah saatnya pemerintahan baru ke depan mengubah orientasi dalam pengelolaan pangan di Indonesia. Untuk meningkatkan produksi pangan, menurutnya tidak mesti hanya dengan food estate karena ada beberapa alternatif lain yang bisa ditempuh.

“Mungkin pendekatan peningkatan produksinya ini yang harus diubah. Jangan membuka lahan hutan untuk jadi lahan pertanian,” kata dia.

Menurut Eliza, ada beberapa upaya lain yang dapat ditempuh. Pertama yakni, dengan meningkatkan produksi dengan optimalisasi lahan existing terutama di pulau Jawa. Upaya intensifikasi ini, kata Eliza, perlu didukung dengan upaya penyuluhan yang intensif dan masif seperti pada masa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada masa Orde Baru.

Di sisi lain, pemerintah juga bisa membuat sistem insentif yang adil untuk petani. Salah satunya adalah menjadikan sektor pertanian sebagai sektor yang menjanjikan bagi para pekerja di sektor tersebut. Dengan demikian, jumlah petani akan meningkat, setidaknya tidak mengalami penurunan secara persisten dalam jumlah yang masif.

“Semestinya pengembangan riset dan inovasi yang didorong seperti ini, sehingga tidak harus mengorbankan hutan yang tersisa. Terlebih lagi masyarakat adat ini akan kian rentan karena hutannya dikonversi. Jangan sampai kita mengorbankan kehidupan masyarakat lokal hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan mayoritas masyarakat,” kata Eliza.

Baca juga artikel terkait SWASEMBADA PANGAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto