Menuju konten utama

Tukar Guling Jabatan, Ancaman Bagi Demokrasi dan Meritokrasi

praktik tukar guling politik berpotensi mengikis kepuasan warga negara terhadap demokrasi secara luas.

Tukar Guling Jabatan, Ancaman Bagi Demokrasi dan Meritokrasi
Presiden Prabowo Subianto saat memimpin rapat kabinet perdana di Istana Negara, Jakart Pusat, Rabu (23/10/2024). (Sumber: istimewa)

tirto.id - Kita barangkali perlu berterima kasih kepada Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia karena sudah membuktikan kekhawatiran masyarakat. Tanpa malu-malu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di Kabinet Merah Putih ini mempertontonkan bahwa konsolidasi elite diwarnai dengan bancakan dan politik transaksional. Jika jatah kurang sreg, elite bisa saling lobi dan melakukan ‘tukar guling’ jabatan, sebagaimana yang Bahlil ungkapkan.

Dalam sambutannya di acara Tasyakuran HUT ke-60 Golkar di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat, Senin (21/10/2024), Bahlil Lahadalia bercerita, partai berlogo pohon beringin itu tukar guling jabatan dengan Partai Gerindra. Kesepakatannya, kader-kader Partai Golkar mengisi 8 kursi menteri dan 3 kursi wakil menteri dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto.

Sebagai gantinya, Partai Gerindra dapat mendudukkan kadernya di posisi Ketua MPR RI. Saat ini, Ketua MPR RI, adalah Sekjen DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Sebelumnya, jabatan ini dipegang oleh kader Partai Golkar, Bambang Soesatyo alias Bamsoet.

Jika boleh jujur, pengakuan Bahlil tidak mengagetkan. Politik transaksional elite parpol kerap dilakukan untuk mengamankan kekuasaan. Jabatan menjadi sasaran untuk menguntungkan lingkaran mereka sendiri. Hal ini semacam rahasia umum dari cermin buram demokrasi kita hari ini. Maka dari itu, terima kasih kepada Bahlil, dia menarik pembicaraan sumir di warung kopi ke tempat yang terang benderang di muka publik.

Lantas, apakah akrobat elite semacam ini layak dilakukan di negara hukum dan demokrasi? Sejumlah pengamat politik justru khawatir praktik ini membuat demokrasi semakin sakit.

Sederhana saja, ‘tukar guling’ ala Bahlil membuat publik meragukan kapasitas para pejabat publik dari parpol yang bercokol sesuai pesanan. Keraguan ini sah-sah saja, karena praktik bancakan bagi-bagi kue kekuasaan bertolak belakang dari asas sistem meritokrasi.

Sosok yang ditaruh di jabatan publik bisa saja sekadar dipilih karena kedekatan, pengaruh, dan unjuk loyalitasnya. Jika begini siapa yang dirugikan? Tentu, kita semua sebagai rakyat.

Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai secara umum politik transaksional buruk untuk demokrasi. Pasalnya, kekayaan negara untuk pembiayaan birokrasi tidak ditujukan bagi kemajuan bangsa dengan memilih pejabat yang kompeten.

“Justru hanya dijadikan ajang bagi kekuasaan untuk sedikit elite yang punya kontribusi di pemenangan Pilpres,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Rabu (23/10/2024).

Dedi setuju bahwa pernyataan Bahlil di muka publik justru mengonfirmasi realitas politik di Indonesia saat ini. Bahkan, kata dia, keadaan ini menjadi praktik politik sejak lama dan tidak terjadi kemarin sore.

Dengan posisi kedua raihan suara terbanyak pada Pileg 2024, Dedi melihat, Partai Golkar umumnya yang seharusnya menempati kursi Ketua MPR RI. Partai Golkar membersamai PDIP yang menjadi pemenang Pileg 2024 dan mengamankan kursi Ketua DPR RI.

“Tetapi, dialog politik terjadi, dan Golkar memilih posisi yang cukup banyak di kabinet juga badan [pemerintahan],” ucap Dedi.

Karena pernyataan Bahlil, Presiden Prabowo jadi terkesan tidak mandiri dalam menyusun kabinetnya. Dedi melihat, hal ini kentara dari banyaknya ‘wajah’ Jokowi – sosok dari kabinet sebelumnya – di Kabinet Merah Putih pemerintahan presiden Prabowo.

Di sisi lain, realita ini juga bisa membawa angin perubahan pada peta politik pemerintahan. Bisa saja, kata Dedi, dalam waktu dekat terjadi reshuffle untuk menyusun kembali kabinet sesuai keinginan Prabowo dan keluar dari bayang-bayang Jokowi.

“Cita-cita nasional kita ke depan akan sulit tercapai dengan bentuk kabinet balas jasa sekarang ini,” terang Dedi.

Peneliti Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro, menegaskan bahwa praktik tukar guling yang dilakukan para elite parpol jelas mengabaikan asas kepatutan. Arif menilai, politik transaksional bukan kabar baik bagi iklim demokrasi ke depan.

Manuver elite untuk kelompoknya sendiri tidak memiliki penghormatan terhadap konstitusi. Ini dilakukan untuk keuntungan kelompok mereka lewat prinsip pork barrel politics.

“[Biasanya] Ketua MPR [dari] partai politik peringkat kedua pemilu,” ucap Arif kepada reporter Tirto, Rabu.

Arif meragukan performa parlemen ke depan sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah. Indonesia jadi menjalankan demokrasi prosedural semata tanpa mengedepankan demokrasi substantif.

Tanpa check and balances yang bermakna dari legislatif di Senayan, kata Arif, rakyat seolah dibiarkan berhadapan langsung dengan kekuasaan eksekutif. Padahal, wakil rakyat di DPR dicontreng mukanya di bilik pencoblosan suara untuk bekerja mewakili kepentingan rakyat.

“Parlemen jadi tukar tambah saja bukan menjadi alat check and balances dalam mengoreksi kebijakan pemerintah,” ucap Arif.

Bila mengacu Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2024 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, tata cara pemilihan pimpinan MPR pertama-tama dilakukan dengan cara musyawarah mufakat terlebih dahulu. Hal ini dijelaskan secara rinci dalam Pasal 19.

Bila gagal mendapatkan pimpinan dengan musyawarah mufakat, akan diadakan pemilihan lewat voting. Total, terdapat tiga tahap untuk melakukan voting ini, yakni pemungutan, penghitungan, dan penetapan hasil penghitungan suara yang diatur dalam Pasal 21.

Adapun jumlah pimpinan MPR diatur melalui UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2014. Dalam beleid itu, tidak ditetapkan jumlah pasti berapa pimpinan MPR karena mengikuti banyaknya fraksi dan kelompok anggota.

Dengan begitu, penetapan pimpinan MPR sudah memiliki mekanisme tersendiri yang sudah diatur. Melaksanakannya dengan praktik politik tukar guling sama saja mendistorsi aturan yang sudah ditetapkan.

Bahlil Lahadalia

Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia saat mengumumkan dukungan kepada Airin-Ade di Pilkada Banten 2024 di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Selasa (27/8/2024). Tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

Politik Ketakadaban

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, memandang ucapan Bahlil soal tukar guling jabatan tidak mengagetkan dan justru semakin menegaskan praktik bancakan di lingkaran elite. Ia menilai pernyataan itu serampangan dan mencerminkan kentalnya politik akomodatif di kabinet pemerintahan presiden Prabowo.

Sayangnya, politik akomodatif yang mengedepankan prinsip ‘asal semua senang’ ini, alarm kencang bagi lesunya kekuatan oposisi dalam lima tahun ke depan. Politik transaksional ini menunjukkan situasi darurat terkait orientasi politik kenegaraan dengan dampak yang akan mengikis demokrasi.

“Melemahkan demokrasi sekaligus rule of law atau penegakan hukum kita juga semakin terganggu karena kepentingan politik pragmatisme,” kata Herlambang kepada reporter Tirto, Rabu.

Herlambang menjelaskan, pejabat publik pesanan parpol dikhawatirkan bekerja bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Melainkan cuma demi kepentingan segelintir elite politik yang bernafsu mereguk keuntungan dari lembaga kenegaraan.

Di sisi lain, Ketua Harian DPP Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, meluruskan ucapan tukar guling yang dilontarkan Bahlil. Kepada wartawan, Dasco memang mengaku ada keinginan dari Golkar sejak awal menduduki kursi Ketua MPR sama seperti periode sebelumnya.

Namun, lewat hasil musyawarah mufakat antarfraksi di Senayan, jabatan itu kini diberikan untuk Partai Gerindra. Dasco membantah kursi Ketua MPR ditukar dengan kursi menteri di pemerintahan sebagaimana pengakuan Bahlil.

“Setelah musyawarah mufakat, ya akhirnya itu dijatuhkan kepada Pak Muzani [Ahmad Muzani] dan Partai Gerindra,” kata Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (22/10).

Rapat gabungan pimpinan MPR jelang pelantikan Presiden

Ketua MPR Ahmad Muzani menyampaikan keterangan pers usai mengikuti rapat gabungan pimpinan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/10/2024). Rapat tersebut membahas persiapan pelantikan Presiden yang akan digelar pada Minggu, 20 Oktober 2024. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/YU

Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, memandang perkataan Bahlil soal tukar guling mempertontonkan dramaturgi panggung belakang politik yang kerap tertutup tirai. Teori ini dipopulerkan sosiolog Erving Goffman yang menyatakan politik laiknya panggung teater, sifatnya selalu memiliki unsur panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).

“Jadi bukan lagi right man on the right place gitu kan. Tapi soal elite mana yang ada di right place untuk bisa sesuai dengan keinginan mereka,” ucap Kunto kepada reporter Tirto, Rabu.

Menurut Kunto, praktik tukar guling sudah mengkhianati keterwakilan rakyat di parlemen. Ia menilai, praktik ini merupakan masalah yang serius dalam alam demokrasi.

Situasi elite politik bertindak serampangan dan mengabaikan kepentingan rakyat merupakan wajah ketakadaban (incivility) praktik politik hari ini. Menurut Bøggild (2024), ketakadaban ini punya efek domino bagi jalannya kekuasaan. Ketakadaban politik mampu mempengaruhi kepercayaan publik terhadap para politisi yang mempertontonkan praktik tersebut.

Selain itu, terdapat konsekuensi hilir yang lebih luas, praktik ini berpotensi mengikis kepuasan warga negara terhadap demokrasi secara luas serta kepatuhan pada kebijakan yang dibentuk pemerintah.

Presiden Prabowo Subianto mesti bertindak tegas terhadap anak buahnya di kabinet yang mengangkangi prinsip demokrasi dengan culas. Sebagaimana pidatonya beberapa waktu ke belakang, Prabowo tidak butuh jajaran kabinet yang menilap duit negara untuk mencari setoran ke parpol masing-masing.

Menurut Kunto, perlu ada demarkasi tegas dari tugas fungsi legislatif dan eksekutif. Dengan mandat tertinggi ranah eksekutif di tangan Presiden Prabowo, maka ini menjadi kesempatan baginya menindak tegas anak buahnya di pemerintahan yang tidak cakap menjadi pejabat publik.

Apalagi, pejabat yang bercokol di kursi pemerintah hanya sebab balas jasa semata. Kepentingan dan kesejahteraan rakyat yang dipimpin presiden harus lebih diutamakan.

“Ini bisa diawasi [Presiden] lalu kemudian sesuai dengan citra Pak Prabowo, ditindak secara tegas,” pungkas Kunto.

Baca juga artikel terkait POLITIK TRANSAKSIONAL atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky