tirto.id - Dua hari sebelum lengser, Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), akhirnya mengakomodir kenaikan gaji para hakim setelah hampir 12 tahun tidak ada perubahan.
Kenaikan gaji tersebut diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan Dan Fasilitas Hakim Yang Berada Di Bawah Mahkamah Agung.
PP yang ditandatangani Jokowi pada 18 Oktober 2024 itu, menjelaskan kenaikan gaji hakim akan dilakukan secara berkala dengan syarat telah memenuhi masa kerja golongan. Kenaikan gaji berkala ini diberikan jika dalam penilaian dengan predikat kinerja tahunan paling rendah dinyatakan baik.
"Pemberian kenaikan gaji berkala sebagaimana dimaksud dalam pasal 3D dilakukan dengan surat pemberitahuan oleh atasan langsung hakim yang bersangkutan atas nama pejabat yang berwenang," tulis pasal 3 E PP Nomor 44 Tahun 2024.
Tidak hanya itu, dalam PP tersebut dinyatakan bahwa hakim dengan predikat penilaian amat baik dan patut dijadikan teladan akan diberikan gaji istimewa sebagai penghargaan. Hakim juga akan mendapatkan tunjangan keluarga, uang beras setara 10 kg, kemahalan, di mana nilai tunjangan istri/suami senilai 10 persen dari gaji dan anak 2 persen dari gaji.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tunjangan keluarga sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung,” tulis pasal 9 ayat (6) PP tersebut.
Dalam lampiran PP tersebut, hakim Golongan III A dengan masa jabatan 0-1 tahun mendapatkan gaji paling rendah, yaitu Rp2.785.700 dari sebelumnya Rp2.064.100 per bulan atau terjadi kenaikan Rp721.600. Sementara itu, hakim Golongan III D menerima gaji sebesar Rp3.154.400 dari sebelumnya Rp2.337.300 per bulan atau alami kenaikan Rp817.100.
Sementara untuk hakim Golongan IV A paling rendah dengan masa kerja 0-1 tahun mendapatkan gaji Rp3.287.800 dari sebelumnya Rp2.436.100 per bulan atau naik Rp851.700. Sedangkan Golongan IV E sebesar Rp3.880.400 dari sebelumnya Rp2.875.200 per bulan atau naik Rp1.005.200.
Untuk kenaikan tunjangan jabatan pada hakim tingkat pertama khusus pengadilan kelas II, yakni mulai dari Rp11.900.000 (Hakim Pratama) sampai Rp24.600.000 (Ketua/kepala). Kemudian untuk pengadilan kelas IA khusus (termasuk Hakim Yustisial yang diperbantukan pada MA RI sebagai Asisten Koordinator) terendah mulai Rp19.600.000 (Hakim pratama) sampai Rp37.900.000 (ketua/kepala).
Sedangkan hakim tingkat banding mulai dari Rp38.200.000 (Hakim Madya Muda/Letnan Kolonel) sampai Rp56.500.000 (Ketua/kepala).
Kendati kenaikan tunjangan jabatan sebesar 40 persen secara merata, namun kenaikan gaji tersebut dinilai Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), Fauzan Arrasyid, belum menyelesaikan masalah.
Pertama, karena PP Nomor 44 Tahun 2024 hanya mencakup kenaikan tunjangan jabatan, sementara sembilan komponen hak keuangan lainnya belum diatur. Komponen tersebut mencakup gaji pokok, fasilitas perumahan, transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokoler, serta penghasilan pensiun dan tunjangan lainnya.
Kedua, ketimpangan kesejahteraan masih terjadi. Skema kenaikan 40 persen belum mampu mengatasi masalah ketidakmerataan bagi hakim tingkat pertama, khususnya di pengadilan kelas II yang berada di berbagai kabupaten/kota. Hakim-hakim di tingkat tersebut menghadapi tantangan lebih besar, dan kebijakan saat ini belum sepenuhnya efektif untuk mengurangi beban tersebut.
Ketiga, pemerintah perlu memahami secara komprehensif putusan Mahkamah Agung Nomor 23P/HUM/2018. Putusan ini tidak sekadar mengatur pemisahan norma gaji pokok dan pensiun Hakim dari Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi juga menuntut penetapan nominal yang lebih tinggi.
Menurut Fauzan, pemerintah terkesan hanya fokus pada pemisahan pengaturan, tanpa memastikan besaran yang sesuai dengan tanggung jawab hakim.
Ketua Umum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Yasardin, mengatakan dalam PP 44/2024 tersebut yang baru dikabulkan saat ini memang baru tunjangan jabatan. Sedangkan gaji pokok, tunjangan kemahalan dan pensiun belum diakomodir oleh pemerintah dalam hal ini.
“Oleh karena itu wajar kalau teman-teman hakim muda bersikap seperti itu,” ujar Yasardin kepada Tirto, Rabu (23/10/2024).
Sistem Pengupahan & Fasilitas Hakim Tak Diukur Persentase Kenaikan
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, melihat salah satu kata kunci indikator perbaikan sistem pengupahan dan fasilitas hakim tidak bisa diukur hanya dengan persentase kenaikan gaji saja. Tetapi perlu adanya jaminan penyesuaian berdasarkan beberapa indikator lainnya.
“Misal kebutuhan pokok komponen hidup layak, inflasi, fluktuasi rupiah dan segala macamnya. Lalu juga soal geografis. Karena kita tahu harga beras di Papua dengan di Jawa berbeda,” ujar Julius kepada Tirto, Rabu (23/10/2024).
Menurut Julius, sepanjang belum ada indikator yang dijadikan dasar penyesuaian seperti di atas, maka belum terjadi keadilan di dalam mekanisme sistem pengupahan dan juga fasilitas terhadap hakim se-Indonesia.
Artinya, kata dia, mau dinaikan hari ini 100 persen pun jika dua hari ke depan misalnya terjadi inflasi besar-besaran, maka terjadi ketidakadilan juga.
“Karena terkunci 100 persen padahal inflasinya menyebabkan rupiah minus 800 persen misalnya. Kan tidak bisa,” terangnya.
Dia mencontohkan, jika hakim di Jakarta bergaji Rp12 juta per bulan dengan moda transportasi murah dan bisa mencapai berbagai macam kantor pengadilan, maka tidak bisa disamakan dengan di daerah lainnya seperti di Papua. Karena para hakim di sana, harus menempuh perjalanan dan transportasi yang lebih mahal untuk menuju kantor-kantor pengadilan.
“Jadi ini tidak bisa penuhi standarisasi kelayakan dan keadilan bagi pengupahan dan fasilitas hakim,” kata Julius.
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania, menambahkan jika melihat PP 44 Tahun 2024, hanya tuntutan terkait gaji yang sudah terjawab walaupun tidak sesuai dengan persentase kenaikan yang diminta.
Dalam PP ini yang merupakan respons pemerintah untuk kesejahteraan hakim, seharusnya jadi perhatian adalah jaminan kesehatan dan keselamatan yang belum dijamin dan dielaborasi lebih jauh.
“Selain gaji, justru ini yang menjadi penopang para hakim untuk bisa bekerja tanpa adanya intimidasi dan bahaya yang ditimbulkan dari pihak tertentu dalam kasusnya,” ujar Christina kepada Tirto, Rabu (23/10/2024).
Karena menurut dia, hakim tidak bisa memberikan keputusan yang berkualitas mencerminkan keadilan jika terbayang oleh rasa terancam, baik dirinya sendiri atau keluarganya. Maka, hal-hal yang menyangkut dengan keselamatan hakim harus dijamin untuk mencapai independensi hakim dan diikuti komitmen hakim untuk integritas dalam penegakan hukum.
Harapan Hakim Berada di Pundak Prabowo
Di luar dari itu, SHI sendiri tetap berkomitmen untuk memperjuangkan empat tuntutan utama lainnya kepada pemerintahan Prabowo-Gibran.
Pertama, penyesuaian terhadap seluruh hak keuangan dan fasilitas hakim yang diatur dalam PP 94 Tahun 2012. Karena hingga saat ini, hanya tunjangan jabatan yang mengalami penyesuaian, meskipun nominalnya belum mencerminkan angka yang layak sesuai dengan aspirasi para hakim.
“Sementara itu, delapan komponen hak lainnya masih belum mendapat perhatian,” ujar Fauzan Arrasyid.
Kedua, HSI juga mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera membuka kembali pembahasan RUU Jabatan Hakim hingga disahkan menjadi undang-undang. Ketiga mendorong penyusunan RUU Contempt of Court guna melindungi kehormatan peradilan dan hakim dan mendesak peraturan pemerintah tentang jaminan keamanan bagi hakim dan keluarganya.
Di tengah berbagai tuntutan yang belum terpenuhi, maka harapan para hakim satu-satunya berada di pundak Presiden Prabowo Subianto. Terlebih, Prabowo sendiri sempat memberikan atensi dan turut merasa iba terhadap nasib para hakim itu.
Prabowo bahkan sempat bersikap lewat sambungan telepon Ketua Harian DPP Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, dalam audiensi para hakim dengan DPR RI periode 2019-2024 lalu.
Dalam sambungan telepon, Prabowo yang kala itu masih berstatus presiden terpilih, berjanji kualitas hidup hakim di seluruh Indonesia terjamin setelah dirinya resmi dilantik. Tujuannya, agar integritas dan profesionalitas hakim tak gampang dibeli atau disogok orang.
“Pengurus Pusat IKAHI dan Hakim seluruh Indonesia tentu berharap kepada pemerintah baru khususnya bapak Presiden [Prabowo] dapat memenuhi permintaan kami yang belum terkabul tersebut,” kata Yasardin.
Ke depan Pengurus Pusat IKAHI tetap akan memperjuangkan yang belum terkabul tadi dengan cara yang konstitusional dan terstruktur serta bersinergi dengan stakeholder terkait. Diantaranya Kementerian Keuangan, Kementerian PAN-RB, Komisi III DPR RI, Bappenas dan lain-lainnya.
Sementara itu, TII juga berharap dalam pemerintahan baru Prabowo, tuntutan-tuntutan ini perlu kembali dikaji dan dibahas dengan representasi para hakim dan para pemangku kepentingan terkait. Terlebih di pemerintahan baru ini punya fokus dalam Asta Cita untuk memperkuat reformasi hukum.
“Menjamin kesehatan dan keselamatan hakim menjadi salah satu yang perlu dilakukan untuk bisa mencapai hal ini,” pungkas Christina Clarissa Intania.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto