Menuju konten utama

Hakim Cuti Bersama Tuntut Kesejahteraan, Akankah Terkabul?

Perwakilan Solidaritas Hakim Indonesia diterima beberapa pimpinan DPR, juga presiden terpilih via sambungan telepon. Janji telah ditebar, akankah terwujud? 

Hakim Cuti Bersama Tuntut Kesejahteraan, Akankah Terkabul?
Salah satu perwakilan Koordinator Solidaritas Hakim Indonesia memakai pita putih saat mengikuti audiensi dengan Pimpinan DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/10/2024). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

tirto.id - Cuti bersama dilakukan para hakim yang tergabung dalam Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) pada 7-11 Oktober 2024. Mereka menuntut kenaikan gaji 142 persen serta meminta mengubah Peraturan Pemerintahan Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.

Imbas aksi ini salah satunya dirasakan oleh pengacara Hemi Lavour. Ia mengatakan aksi cuti bersama para hakim ini membuat sidang perkara yang ditanganinya harus ditunda.

"Kebetulan saya tadi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dari kemarin semua perkara ditunda semua," kata Lavour saat dihubungi Tirto, Selasa (8/10/2024).

Para hakim yang tergabung dalam SHI ini sudah menyambangi sejumlah instansi untuk menyampaikan tuntutan. Senin lalu mereka beraudiensi di Mahkamah Agung.

Menurut SHI, hakim tingkat satu hanya menerima pendapatan setiap bulannya Rp12juta-Rp14 juta. Gaji itu dinilai jauh dari kata layak meski para hakim mendapatkan bantuan uang sewa rumah karena ketidaktersediaan rumah dinas sekitar Rp9 juta yang keluar setiap satu semester atau enam bulan sekali.

Selasa (8/10/2024), mereka beraudiensi dengan pimpinan DPR RI di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Mereka diterima Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, dan Cucun Ahmad Syamsurijal. Sementara anggota DPR RI yang lainnya ialah Habiburokhman dari Fraksi Gerindra hingga I Wayan Sudirta dari Fraksi PDIP.

Saat rapat berlangsung, secara emosional dan nada tinggi mereka mengeluhkan beragam kesulitan ekonomi hingga ancaman yang diterima ketika sedang menyidangkan kasus. Tak hanya itu, menurut mereka ada pula hakim yang harus berpisah dengan istrina lantaran tak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi.

Koordinator Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, Aji Prakoso, menyinggung pengalamannya saat menangani perkara pembunuhan. Ia mengatakan dirinya diintai. Menurutnya, dia harus menginap di kantor lantaran sedang men-draf putusan. Akan tetapi, istri dan tiga orang anaknya di rumah turut menjadi sasaran pengintaian.

"Ini bukan cerita saya saja, tapi cerita rekan-rekan hakim yang ada di Indonesia," kata Aji.

Sementara itu, Hakim PN Bireuen, Aceh, Rangga Lukita Desnata, berkata gaji yang mereka terima saat ini layaknya uang jajan tiga hari Rafathar, anak sulung artis Raffi Ahmad. Padahal, kata dia, dirinya memiliki tanggungan anak dan istri.

"Belum lagi punya tanggungan orang tua dan sebagainya. Masalah pendapatan kami itu di sana," tutur Rangga.

Oleh karena itu, Rangga menuntut agar gaji mereka dinaikkan 142 persen.

"Kepada wakil rakyat, kami wakil Tuhan memohon kepada wakil rakyat agar gaji pokok kami dan tunjangan jabatan kami naik 142 persen," kata Rangga penuh emosional.

Juru Bicara SHI Bagus Sujatmiko dan Agus Adhari

Juru Bicara SHI, Bagus Sujatmiko dan Agus Adhari ditemui di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (08/10/2024). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Sejumlah Keluhan

Saat sejumlah perwakilan SHI mendatangi DPR RI, Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, turut merespon lewat sambungan telepon yang dipakai Sufmi Dasco Ahmad.

Prabowo berjanji akan menjamin kualitas hidup hakim di seluruh Indonesia setelah dirinya resmi dilantik. Tujuannya, agar integritas dan profesionalitas hakim tak gampang dibeli atau disogok.

Menurut Rangga Lukita Desnata, pihaknya telah mengajukan uji materi PP Nomor 95 tahun 2012 itu ke Mahkamah Agung pada 2018. Hasilnya, PP itu mesti direvisi dan menyesuaikan dengan keterkinian. Namun, hingga kini harapan mereka belum terwujud.

Atas dasar itu, para hakim menuntut agar DPR membuat Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim. Menurut Rangga, status mereka adalah pejabat negara, tetapi gaji mereka masih setara aparatur sipil negara (ASN).

"Isinya rancangan undang-undang jabatan hakim apa? Supaya jelas status kami sebagai pejabat negara dan memberikan hak-hak kami," kata Rangga.

Anggota DPR RI, I Wayan Sudirta, mengatakan untuk mengakomodasi tuntutan SHI, DPR segera mengesahkan RUU Jabatan Hakim. Jika diperlukan, kata dia, DPR perlu merevisi Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

"Jadi, ada tiga celah. Pertama, RUU Jabatan Hakim. Kedua, revisi Undang-Undang Mahkamah Agung. Tiga, revisi UU Kekuasaan Kehakiman," kata Wayan saat ditemui di Kompleks DPR RI, Selasa.

Menurutnya, persoalan kesejahteraan hakim sebenarnya tidak bisa dipukul rata. Di kota besar, kata dia, persoalan ini tidak terlalu masalah. Ia mengatakan hakim di kota besar biasanya ada tunjangan perumahan hingga aspek keamanan.

Ia menegaskan, bahwa tolok ukur kesejahteraan nasib hakim di pelosok-pelosok daerah.

"Ukurannya, kalau yang di pelosok itu kesejahteraannya sudah memadai, pasti keluhan itu tidak akan terdengar lagi," tutur Wayan.

Aksi cuti bersama para hakim mendapat dukungan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), meski harus menunda sidang sejumlah perkara selama sepekan ke depan. Kendati demikian, penundaan sidang tersebut tidak berlaku pada sidang praperadilan atau sidang dengan terdakwa yang masa tahanannya akan segera habis.

Sementara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) masih menunggu arahan dalam menghadapi cuti bersama sepekan ini. Humas PN Jakpus, Zulkifli Atjo, mengatakan pihaknya tetap menunggu arahan meski mendukung aksi yang dilakukan oleh SHI. PN Jakarta Pusat mendukung aksi mogok SHI.

"Akan tetapi untuk hakim Jakarta Pusat kami tunggu arahan pimpinan," kata Zulkifli kepada Tirto, Senin.

Ia mengatakan, hakim PN Jakpus tak mengambil cuti bersama karena banyak persidangan yang mendesak dan telah terjadwal sebelum ada aksi ini.

Menurutnya, 80 persen persidangan di PN Jakpus harus tetap dilanjutkan karena mendekati habisnya masa tahanan terdakwa. Sebab, perkara tersebut telah dijadwalkan sebelumnya. Kemudian, banyak perkara pidana yang harus diputus segera karena masa penahanan segera berakhir.

Pertemuan perwakilan Solidaritas Hakim Indonesia

Pertemuan perwakilan Solidaritas Hakim Indonesia dengan guru besar hukum tata negara, Jimly Assidiqie di Jimlly Assidiqie School, Jakarta Pusat, Selasa (8/10/2024). tirto.id/Ayu Mumpuni

Hakim Jangan Terlena dengan Sikap Prabowo

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah atau Castro mengatakan, aksi cuti bersama para hakim berdampak ke penanganan perkara. Namun, menurutnya, aksi tersebut merupakan hak demokrasi.

"Itu adalah hal yang menjadi hak warga negara dan dijamin konstitusi," kata Castro kepada Tirto, Selasa malam.

Ia mengatakan, langkah para hakim yang melakukan cuti bersama sama sekali tak melanggar kode etik. Sebab, cuti diakui negara dalam proses administrasi kepegawaian.

"Semua orang punya hak cuti, kebetulan diambil secara bersama-sama," tuturnya.

Ia mengatakan, jika tuntutan para hakim disetujui, artinya hanya bentuk respons dari DPR, bukan pemerintahan Prabowo. Ihwal Prabowo ikut bersikap, kata Castro, hanya sebagai pribadi belum sebagai presiden, karena belum dilantik. Oleh karena itu, para hakim tak boleh terlena dengan janji manis Prabowo.

"Tuntutan dikawal dengan baik. Jangan terlena diterima secara verbal oleh DPR kemudian direspons oleh Prabowo," kata Castro.

Sementara Lavo yang merupakan peneliti Themis, heran dengan langkah hakim yang mengadu nasib kepada DPR dan Prabowo selaku presiden terpilih. Ia memandang langkah hakim ini akan menimbulkan konflik kepentingan.

"Apakah mereka datang sebagai warga negara? Tapi, kan, mereka datang sebagai hakim, yang artinya di sana potensial muncul konflik kepentingan," kata Lavo.

Ia mengatakan integritas hakim akan menjadi lembek ketika nantinya Prabowo menaikkan tunjangan dan gaji mereka. Para hakim harus menyadari pekerjaan yang mereka lakoni adalah mulia. Mereka tak boleh salah langkah ketika menuntut gaji dan tunjangan. Apalagi, memiliki kewenangan terpisah dengan legislatif dan eksekutif.

"Kalau misalnya nanti mereka mendapatkan kenaikan tunjangan, subjektivitas dalam memutus perkara yang berhubungan dengan kekuasaan eksekutif maupun legislatif," tegas Lavo.

hakim

Baca juga artikel terkait HAKIM atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi