Menuju konten utama
25 Tahun Reformasi

Ketimpangan Masih Nyata dan Hak Kelompok Rentan Nihil

25 tahun Reformasi saat ini menyuburkan ketimpangan politik dan ekonomi yang dikuasai oligarki, alih-alih menghadirkan keadilan sosial.

Ketimpangan Masih Nyata dan Hak Kelompok Rentan Nihil
Sejumlah warga beraktivitas di perkampungan padat penduduk tepi rel kereta api di Kampung Bandan, Jakarta, Jumat (14/10/2022). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/tom.

tirto.id - Sejumlah akademisi dan aktivis mengkritisi hasil dari 25 tahun pasca Reformasi 1998, salah satu momentum bersejarah di Indonesia dengan turunnya Presiden Soeharto dan terhapusnya dwifungsi militer. Salahnya menurut dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti.

Kata dia, 25 tahun Reformasi saat ini menyuburkan ketimpangan politik dan ekonomi yang dikuasai oligarki, alih-alih menghadirkan keadilan sosial. Menurut Bibip, sapaan akrabnya, salah satu pemicu ketimpangan di Indonesia adalah ketika keadilan sosial hanya dipahami lewat distribusi kekayaan oleh negara.

“Keadilan sosial tidak semata tentang distribusi kekayaan oleh negara tapi juga tentang equity, akses, partisipasi dan hak. Gawatnya, saat ini kewenangan negara atas nama keadilan sosial justru disalahgunakan,” kata Bibip dalam sebuah webinar pada Jumat (19/5/2023) lalu.

Ia mencontohkan kewenangan negara dalam mengelola kekayaan alam lewat BUMN justru disalahgunakan untuk keuntungan sekelompok orang, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya, kata Bibip, adalah praktik buruk bagi-bagi kursi komisaris BUMN kepada relawan.

Oleh karena itu, lanjut Bibip, paradigma keadilan sosial perlu dimulai dari menjamin kesempatan ekonomi yang setara serta terpenuhinya berbagai hak dasar untuk seluruh rakyat terutama untuk kelompok yang rentan.

“Keadilan sosial bukan cuma negara mengatur kekayaan, tapi negara memastikan bahwa rakyat Indonesia punya akses sumber daya ekonomi dan hak dasar mereka. Terutama kesehatan dan pendidikan. Ini yang harus banyak difokuskan,” katanya.

Bibip menyebut salah satu upaya konkret menjamin hak dasar ada dalam pasal 34 UUD 1945 yakni menyelenggarakan jaminan sosial.

“Keadilan sosial diwujudkan perlu diwujudkan lewat social security net. Memang kita punya yaitu BPJS, tapi sedang dirusak dengan RUU Kesehatan secara Omnibus Law. Secara hukum tidak tepat memasukan BPJS ke situ. Paradigma industri di dalamnya berbenturan dengan jaminan sosial. Memang BPJS belum sempurna. Tapi bahwa kita punya sistem, itu seharusnya terus dibangun,” katanya.

Hal serupa dikatakan juga oleh Co-Founder Bersama Indonesia, Grady Nagara, dalam acara yang yang sama. Ia menyebut penegakan keadilan sosial harus dimulai dengan memenuhi hak semua warga secara sama (equality) dan hak kelompok rentan secara proporsional (equity).

“Kesamaan (equality) dan kesetaraan (equity) adalah fondasi penting bagi terwujudnya keadilan sosial”, ungkap Grady.

Salah satu contohnya, kata Grady, adalah pembangunan jalur sepeda di Jakarta. Pembangunan tersebut bisa dibaca sebagai manifestasi dari equity dalam kebijakan publik. Sehingga, menurut Grady, pembangunan jalur sepeda jangan hanya dilihat dalam kacamata untung-rugi.

“Secara statistik, sepeda adalah moda transportasi yang paling murah untuk diakses oleh kelompok rentan dengan tingkat sosial ekonomi bawah. Kebijakan transportasi berkeadilan mestilah mendahulukan kepentingan para pengguna sepeda dan pejalan kaki yang sebagian besar karakternya adalah para pekerja berupah rendah,” katanya.

Pendiri Think Policy, Andytha F. Utami, menambahkan bahwa pemenuhan hak-hak rakyat secara sama dan setara juga harus terimplementasi dalam kebijakan ekonomi yang terkait dengan lingkungan hidup. Pasalnya, selama ini negara selalu membuat narasi seolah kerusakan lingkungan dirasakan dampak negatifnya oleh semua orang. Padahal, kelompok rentanlah yang paling merasakan kerugiannya.

"Narasi bahwa kerusakan lingkungan adalah tanggung jawab bersama justru mengaburkan kenyataan bahwa pemegang kuasa ekonomi-politiklah yang sesungguhnya bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan,” kata perempuan yang akrab disapa Afu.

Kata Afu, aktivitas ekstraksi alam yang selama ini terus dilakukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sebetulnya hanya segelintir orang yang diuntungkan dari aktivitas ekstraktif tersebut.

Baca juga artikel terkait REFORMASI atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Anggun P Situmorang