tirto.id - Pagi yang cerah pada 17 Desember 1949, Sang Saka Merah Putih dibawa beberapa anggota militer dari Gedung Agung menuju Bangsal Siti Hinggil, tempat dilangsungkannya pelantikan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).
Menggunakan mobil Land Rover, tujuh orang prajurit berangkat menuju keraton yang jaraknya sekitar 2 kilometer. Sementara suasana di keraton sudah meriah dengan kehadiran beberapa tokoh dan tamu kenegaraan, termasuk tuan rumah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Ki Bagus Hadikusuma, Ibu Fatmawati, dan Siti Rahmiati Hatta. Mereka menunggu kedatangan Sukarno yang belum tiba di lokasi.
Tak lama setelah Sang Saka Merah Putih datang, Sukarno tiba didampingi Mohammad Roem dan Mohammad Hatta. Ia mengenakan setelan serba putih dengan peci hitam, disambut beberapa pejabat dan tamu yang hadir. Ratusan warga sekitar tampak berjejal dan terus memadati area keraton.
Mohammad Roem selaku protokoler acara mengumumkan bahwa pelantikan akan segera dimulai diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelahnya, pihak keraton memimpin doa dengan cara Islam memohon keselamatan bangsa dan negara.
Untuk diambil sumpahnya, Sukarno memasuki Bangsal Manguntur Tangkil yang masih menjadi bagian Bangsal Siti Hinggil. Bangsal Manguntur Tangkil memiliki makna "kawula menghadap raja pada saat berada di singgasana".
Di hadapan Mahkamah Agung, Mr. Kusumah Atmaja, Sukarno mengambil sumpah setia sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat.
“[...] dengan setia akan memenuhi segala kewajiban yang ditanggungkan kepada saya oleh jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat, sebagai sepantasnya, sebagai kepala negara yang baik," ujar Sukarno mengakhiri sumpahnya menirukan ucapan Kusumah Atmaja.
Usai mengisi pidato kenegaraan, Mohammad Hatta dilantik menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat. Sesuai perjanjian Konferensi Meja Bundar, status Indonesia harus menjadi negara federal yang kemudian resmi dibentuk 10 hari usai pelantikan tersebut.
Setelah kembali menjadi negara Kesatuan pada 17 Agustus 1950, pelantikan kepala negara kembali ke Jakarta sebagai ibu kota negara.
Tonggak Awal Kemerdekaan
Pelantikan Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pada 18 Agustus 1945 menjadi momen monumental awal sejarah bangsa Indonesia. Dilaksanakan dalam suasana perjuangan yang masih kental, pelantikan ini memiliki tekad kuat untuk merdeka dan membangun negara sendiri. Sederhana namun penuh makna, peristiwa ini menjadi titik awal bagi perjalanan panjang bangsa Indonesia.
Pada 2 September 1945, Sukarno-Hatta menyusun Kabinet Presidensial yang sifatnya formalitas karena dapat dipastikan belum bisa bekerja optimal. Kabinet ini terdiri dari sejumlah menteri dan pejabat setingkat menteri yang mengurusi berbagai bidang pemerintahan, termasuk dalam hal pertahanan, luar negeri, dan dalam negeri.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi kabinet ini adalah menyebarkan kedaulatan Indonesia ke penjuru dunia dan mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang belum menerima sepenuhnya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Kabinet Presidensial yang tidak bertahan lama lantas digantikan Kabinet Sjahrir I yang dipimpin Soetan Sjahrir pada 14 November 1945. Tanggal tersebut bersamaan dengan pengangkatan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama yang bertanggung jawab memimpin kabinet.
Kabinet Sjahrir I menandai peralihan dari sistem presidensial yang terpusat pada presiden menjadi sistem parlementer, di mana kekuasaan lebih terbagi dan parlemen memiliki peran yang lebih leluasa.
Kabinet yang beranggotakan 13 menteri ini memiliki tujuan dalam pembentukan pemerintahan yang stabil dan berbagai upaya diplomasi untuk mendapatkan pengakuan internasional. Sebagai Perdana Menteri sekaligus Menteri Dalam dan Luar Negeri, Sjahrir memiliki peran yang sangat penting dalam memimpin kabinet dan melakukan negosiasi dengan Belanda.
Diplomasi tersebut mencakup pertemuan dengan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook, serta perundingan politik yang menghasilkan kesepakatan antara Indonesia dan Belanda dalam Perundingan Linggarjati.
Selain itu, terdapat juga kebijakan diplomasi dengan negara India yang dikenal dengan Diplomasi Beras pada tahun 1946. Menurut Tim Buku Tempo dalam Seri Tempo: Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil (2010:80), beras dibarter dengan tekstil India yang membuat Belanda marah.
Seluruh kebijakan tersebut merupakan upaya untuk mengukuhkan kedaulatan dan kemandirian Indonesia di mata dunia internasional.
Belanda masih terus melakukan berbagai lobi, mencari celah untuk kembali menguasai Indonesia. Bersamaan dengan itu, Sjahrir sempat berbeda prinsip dengan Tan Malaka yang saat itu memimpin beberapa organisasi kepemudaan.
Konflik memaksa pengunduran diri Sjahrir dan pembubaran kabinetnya pada 28 Februari 1946. Sukarno turun tangan dan mengabaikan sikap Tan Malaka. Sjahrir kembali mendapat amanat untuk membentuk kabinet yang kemudian dikenal Kabinet Sjahrir II pada 12 Maret 1946.
Selain Sjahrir, banyak tokoh penting lainnya yang terlibat dalam Kabinet Sjahrir II, seperti Amir Sjarifuddin, Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Agus Salim, dan lainnya. Nama-nama tersebut juga mengisi Kabinet Sjahrir III yang bekerja pada periode 2 Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947.
Tahun-tahun berikutnya, sebelum maupun setelah berdirinya RIS, nama kabinet pemerintahan selalu disesuaikan dengan nama Perdana Menteri yang menjabat, mulai dari Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947), Amir Sjarifuddin II (11 November 1947-23 Januari 1948), Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949) dan Hatta II (4 Agustus 1949-14 Desember 1949).
Pada masa Kabinet Amir Sjafruddin I, Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melakukan serangkaian serangan militer yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda I.
Kabinet Darurat pernah dibentuk setelah Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948. Saat itu, Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia, jatuh ke tangan Belanda. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri ditangkap dan diasingkan.
Untuk melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, maka dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. PDRI ini sering disebut juga dengan Kabinet Darurat yang efektif bekerja sejak 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.
Kabinet di Era Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin
Kabinet Syahrir I-III meletakkan dasar-dasar demokrasi parlementer di Indonesia. Mereka mendorong pembentukan partai politik yang lebih kuat dan aktif dalam kehidupan politik.
Sistem Parlementer memiliki ciri khas di mana kekuasaan eksekutif (pemerintah) berada di tangan parlemen. Perdana Menteri dipilih oleh parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen.
Karena sistem parlementer sangat tergantung pada dukungan parlemen, pergantian kabinet terjadi sangat sering. Hal ini disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan sulitnya membentuk koalisi yang kuat.
Partai politik memiliki peran yang sangat sentral dalam sistem ini. Partai politik yang memiliki kursi terbanyak di parlemen biasanya akan membentuk kabinet. Hampir semua kabinet di era ini merupakan kabinet koalisi yang terdiri dari beberapa partai politik, misalnya yang terjadi antara Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk membentuk Kabinet Sukiman.
Beberapa kabinet pada masa Demokrasi Parlementer, antara lain: Kabinet Susanto (27 Desember 1949-16 Januari 1950), Kabinet Halim (22 Januari 1950-15 Agustus 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), Kabinet Sukiman-Suwirjo (27 April 1951-3 April 1952), Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953), dan Kabinet Djuanda (9 April 1957-5 Juli 1959).
Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit, mengambil alih kekuasaan yang semakin besar dan membatasi peran parlemen. Ia kemudian membentuk apa yang disebut sebagai Kabinet Kerja pada 10 Juli 1959 yang fokus pada pelaksanaan pembangunan dan proyek-proyek besar.
Dimulailah era Demokrasi Terpimpin yang membawa dampak pada renggangnya hubungan Sukarno dengan beberapa pemimpin, termasuk dengan Bung Hatta.
Kabinet di era ini sangat dipengaruhi oleh ideologi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). PKI memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pemerintahan, terutama pada akhir masa Demokrasi Terpimpin.
“[...] hal yang menjadi penyebab dwitunggal itu sulit dipersatukan kembali adalah faktor kuatnya pihak ketiga, yakni tentara dan pertikaiannya di dalam Angkatan Darat dan PKI,” tutur Wawan Tungguh Alam dalam Demi bangsaku: pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta (2003:272).
Periode ini berakhir hingga lengsernya Sukarno pada 12 Maret 1967 dengan sederet nama kabinet, seperti Kabinet Kerja I, Kabinet Kerja II, Kabinet Kerja III, dan Kabinet Dwikora.
Kabinet Dwikora II pada tahun 1966 menjadi kabinet paling gemuk dalam sejarah Indonesia dengan melibatkan 132 menteri. Kabinet ini juga kerap dijuluki Kabinet 100 Menteri. Kondisi ini terjadi dalam situasi politik yang kacau pasca Gerakan 30 September 1965.
Kabinet Dwikora II lantas dirombak menjadi Kabinet Dwikora III setelah 32 hari berkuasa, sebagai akibat dari perlawanan mahasiswa dan desakan dari pihak militer yang ingin mencopot menteri-menteri simpatisan Sukarno.
Pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, Soeharto ditunjuk memimpin Kabinet Ampera yang dimulai sejak 28 Juli 1966 hingga 10 Juni 1968.
Kestabilan Kabinet Era Orde Baru
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan politik di Indonesia. Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), berhasil meredam kekacauan dan muncul sebagai tokoh sentral dalam situasi krisis.
Pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Sukarno mengalami berbagai masalah, seperti inflasi yang tinggi, ketidakstabilan politik, dan konfrontasi dengan Malaysia. Situasi tersebut membuat masyarakat menginginkan perubahan dan sosok pemimpin baru yang kuat.
Setelah memulihkan keamanan dan mendapat mandat lewat Supersemar dan MPRS, Soeharto dilantik pada 12 Maret 1967 sebagai pejabat Presiden. Ia juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinetnya yang konsen terhadap stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Mulai tahun 1977, partai-partai politik kemudian dirampingkan menjadi tiga partai besar: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Perjuangan (PDI).
Dibandingkan dengan era sebelumnya yang lebih fluktuatif, era Soeharto relatif lebih stabil dalam hal pergantian kabinet. Sehingga memungkinkan pemerintah untuk fokus pada program-program pembangunan jangka panjang.
Setelah menyelesaikan masa transisi pada Kabinet Ampera I dan Ampera II, Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan I pada 10 Juni 1968 dan sempat terjadi reshuffle usai Pemilu 1971.
Era Soeharto ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, meskipun tidak merata. Di beberapa daerah terlihat pembangunan berbagai infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan bendungan.
Derasnya pembangunan tak diimbangi dengan hak-hak warga negara untuk menyatakan pendapat serta tingginya korupsi di berbagai sektor. Peristiwa Malari 1974 kemudian mengiringi langkah Kabinet Pembangunan II yang bekerja sejak 28 Maret 1973 hingga 29 Maret 1978.
Kabinet Pembangunan bertahan hingga tujuh edisi bersamaan dengan tumbangnya Seoharto dari tampuk kekuasaan pada 21 Mei 1998. Era reformasi kemudian hadir, ditandai dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden yang kerap dilangsungkan setiap tanggal 20 Oktober.
B.J Habibie dilantik dan diambil sumpah jabatannya sebagai presiden menggantikan Soeharto di Istana Merdeka. Biasanya Seoharto disumpah dan dilantik di Gedung MPR/DPR, tetapi hari itu tidak memungkinkan karena dikuasai oleh mahasiswa dan masyarakat yang menginginkan reformasi.
Habibie kemudian membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan yang bekerja pada perbaikan-perbaikan berbagai sendi, khususnya reformasi hukum yang mengacu pada peninjauan kembali undang-undang subversi.
Lima Presiden berikutnya kemudian mengisi era Reformasi, mulai dari Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (dilantik 20 Oktober 1999) membentuk Kabinet Persatuan Nasional, Megawati Seokarnoputri (dilantik 23 Juli 2001) dengan Kabinet Gotong Royong, Soesilo Bambang Yudhoyono (dilantik 20 Oktober 2004) dengan Kabinet Indonesia Bersatu, dan Joko Widodo (dilantik 20 Oktober 2014) yang membentuk Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju.
Hari ini Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan membacakan sumpah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk periode 2024-2029. Ada kemungkinan formasi kabinetnya akan gemuk sebagaimana era Kabinet Dwikora di masa Sukarno. Juga kebijakan-kebijakan yang dianggap masih merupakan estafet dari kepemimpinan Joko Widodo.
Kita nantikan bersama.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi