Menuju konten utama

Pembantu-Pembantu Khusus daripada Soeharto

Sejak menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera, Soeharto yang lama berdinas di militer tentu butuh pembantu ahli dalam bidang ekonomi dan politik. Ia mengangkat orang-orang terdekatnya dari Kostrad sebagai staf pribadi.

Pembantu-Pembantu Khusus daripada Soeharto
Ali Moertopo (kiri) saat menjadi asisten pribadi Soeharto. FOTO/Dok. Aloysius Sugiyanto

tirto.id - Sejak Soeharto pelan-pelan naik ke panggung kekuasaan pada 11 Maret 1966, banyak sekali urusan yang dia hadapi. Hampir seluruh karier Soeharto dihabiskan di dunia militer dan pendidikan akademisnya sangat terbatas. Karena itu, Soeharto membutuhkan pembantu yang ahli dalam urusan ekonomi dan politik.

Satu hari setelah Sidang Umum MPRS IV 1966 selesai, Mayor Jenderal Alamsjah Ratu Prawiranegara dipanggil Letnan Jenderal Soeharto. Jabatan Alamsjah kala itu adalah Asisten Keuangan dari Soeharto yang menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat sekaligus Ketua Presidium Kabinet Ampera.

“Beliau meminta saya membentuk tim yang akan membantu beliau melaksanakan tugas selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera. Tim ini kemudian dikenal sebagai Staf Pribadi Ketua Presidium Kabinet Ampera,” aku Alamsjah dalam H. Alamsjah Ratu Prawiranegara: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (1995: 184) yang disusun Suparwan Parikesit dan Krisna Sempurnadjaja.

Tiga hari kemudian, Alamsjah datang ke Soeharto untuk menyerahkan susunan staf pribadi. Alamsjah dipercaya sebagai koordinator. Bidang politik diserahkan kepada Mayor Jenderal Soenarso, bidang ekonomi dipegang Kolonel Soedjono Hoemardani, bidang pembangunan ada Kolonel Slamet Danusudirdjo, staf administrasi dan organisasi diisi Kolonel Abdul Kadir, bidang keuangan diampu Brigadir Jenderal Surjo Wiryohadiputro, urusan intelijen dalam negeri ada Kolonel Yoga Sugama, dan urusan intelijen luar negeri ada Letnan Kolonel Ali Moertopo.

Alamsjah mengaku, dirinya mencalonkan Suhardiman untuk mengisi bidang ekonomi, akan tetapi Soeharto bilang, “biar Soedjono saja.” Tiga bulan kemudian, Brigadir Jenderal Yusuf Singadekane dan Brigadir Jenderal Isman masuk ke dalam tim.

Bertindak Bak Pemerintahan Bayangan

Belakangan, sejak 1967 dan kekuasaan Soeharto semakin kuat, Staf Pribadi—biasa disingkat Spri—menjelma bak lembaga resmi negara. Seperti dicatat David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 (2010), saat itu Spri berisikan “enam orang perwira tinggi Angkatan Darat serta dua tim sipil, para spesialis di bidang ekonomi” (hlm. 27-29).

Menurut Jenkins, orang seperti Alamsjah, Moertopo, Soegama, dan Hoemardani bukan orang baru bagi Soeharto. Setidaknya mereka sama-sama pernah di Kostrad. Pengalaman di Kostrad berpengaruh terhadap apa yang dikerjakan di Spri.

Misal, Ali Moertopo adalah kepala Operasi Khusus (Opsus) yang didirikan di Kostrad dalam rangka menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia pada 1964, maka ia pun mendapat tugas mengurusi intelijen luar negeri. Soedjono Hoemardani, yang mengurusi bagian keuangan selama di Kostrad, ditugasi untuk urusan ekonomi.

Tim ahli sipil kebanyakan berasal dari Universitas Indonesia. Ada Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Emil Salim di bidang ekonomi. Ada Sarbini Sumawinata, Fuad Hasan, Hariri Hadi, Deliar Noor, Sulaeman Sumardi di bidang politik. Mereka berkantor di Merdeka Barat nomor 15, yang merupakan kantor dari Ketua Presidium Kabinet Ampera. Sebelumnya tempat itu adalah rumah dinas dari Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dr. Subandrio.

“Secara umum, tugas para staf ahli ini adalah semacam think tank yang membantu Ketua Presidium Kabinet Ampera dalam melaksanakan tugas sehari-hari,” tutur Alamsjah.

Spri juga ikut melakukan kontak-kontak ke luar negeri. Seperti dilakukan Widjojo Nitisastro, yang bersama Sri Sultan Hamengkubuwana IX berunding dengan Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato pada 1967.

“Atas prakarsa PM Sato diundanglah beberapa negara ke Tokyo untuk membicarakan kemungkinan bantuan kepada Indonesia. Pertemuan ini menghasilkan dibentuknya Tokyo Club dan dalam pertemuan inilah Indonesia berhasil mendapat pinjaman sebesar US$ 170 Juta,” aku Alamsjah.

Pada 1968, Tokyo Club berubah menjadi Paris Club. Belakangan, para negara donor membentuk Inter-Governmental Group of Indonesia (IGGI).

Kuasa Spri begitu istimewa hingga dianggap sebagai pemerintah bayangan. Pengaruhnya dianggap lebih kuat ketimbang Kabinet Pembangunan yang dipimpin Soeharto. Kritik atas Spri pun bermunculan. Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), misalnya, pada November 1967 menyebut “bahaya timbulnya kembali lembaga-lembaga yang berada di luar UUD.”

SPRI lalu dibubarkan di bulan Juni 1968. Meski lembaganya sudah tidak ada, orang-orang di dalamnya tetap berperan penting dalam pemerintahan Soeharto. “Para ekonom diberi tugas lagi sebagai menteri-menteri yang menangani urusan-urusan ekonomi di dalam kabinet baru yang dibentuk dalam bulan yang sama oleh Suharto sebagai presiden penuh,” tulis Mochtar Mas'oed dalam Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971 (1989: 178).

Infografik Lembaga pembantu suharto

Habis Spri, Terbitlah Aspri

Sebelum Spri bubar, sejak 30 Januari 1968 Alamsjah sudah menjadi Sekretaris Negara Republik Indonesia. Ia kemudian tersingkir. Setelah tahun 1971 berakhir, Alamsjah dijadikan Duta Besar Indonesia untuk Belanda.

“Sebagian karena ia gagal dalam tugas keuangan yang sulit, sebagian yang lain karena adanya intrik yang dilakukan anggota inti lainnya, mungkin sekali oleh Ali Moertopo,” tulis David Jenkins.

Yoga Soegama kemudian dijadikan sebagai Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelejen (Bakin) dan tak lama kemudian jadi kepalanya. Hanya tiga orang yang tetap jadi pembantu khusus Soeharto: Surjo Wiryohadiputro, Soedjono Hoemardani, dan Ali Moertopo. Mereka dijadikan Asisten Pribadi (Aspri) presiden.

Baik Ali Moertopo juga Soedjono Hoemardani dikenal sangat dekat dengan Soeharto. Dalam lembaga Aspri, urusan intelijen dan keamanan dipegang Ali. Sementara Soedjono, seperti biasa, mengurusi keuangan dan ekonomi.

“Sejak tahun 1968, Ia (Soeharto) sudah mendengar kritik orang tentang Asprinya. Ia sendiri merasa heran mengapa banyak orang tidak mengerti bahwa ia memerlukan sebuah tim yang dapat ia percayai dapat menolongnya melaksanakan tugas-tugasnya yang sangat berat,” bela Retnowati Abdulgani Knapp dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President (2007: 95).

Aspri juga tidak bebas kritik. “Bagaimanapun itu bukanlah akhir dari masalahnya. Kritik-kritik terhadap Aspri sebagai suatu badan yang berada di luar konstitusi kembali dilancarkan akhir tahun 1973,” tulis O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1984: 277).

Soeharto pun akhirnya terpaksa membubarkan Aspri pada 28 Januari 1974, beberapa hari setelah peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Bagi Soeharto, tidak masalah jika lembaga Aspri bubar. Nyatanya orang-orang yang berada di dalam Aspri tetap dekat dan diandalkan Soeharto.

Setelah Aspri bubar, Ali Moertopo tetap menjadi Wakil Kepala Bakin dan penasehat politik presiden. Belakangan, ia ditunjuk sebagai Menteri Penerangan dari 1978 hingga 1983. Sementara Soedjono Hoemardani, yang sempat menjadi anggota DPR/MPR, kemudian diangkat untuk menjabat Inspektur Jenderal Pembangunan.

Kedua jenderal itu bersama-sama membangun lembaga bernama Centre for Strategic and International Studies (CSIS), think tank bagi kebijakan politik Soeharto. Satu dekade setelah Aspri bubar, keduanya satu-persatu meninggal. Sementara Surjo kemudian mengurus hotel-hotel milik negara.

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan