Menuju konten utama
20 Februari 1967

IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia

Keran pinjaman.
Alirkan utang sampai
tujuh turunan.

IGGI dan Asal-Usul Utang Luar Negeri Indonesia
Ilustrasi invasi utang luar negeri. tirto.id/Gery

tirto.id - Usai mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada 1967, Soeharto dihadapkan kondisi serba tak stabil, terutama di bidang ekonomi. Masalah paling pelik yang dihadapi pemerintahan Soeharto adalah hiperinflasi (mencapai 650 persen) yang menyebabkan melonjaknya harga barang-barang, termasuk kebutuhan pokok. Faktor utama penyebab hiperinflasi adalah rezim Sukarno hanya mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek mercusuar sejak awal 1960-an.

Hiperinflasi hanya satu dari sekian masalah ekonomi yang harus dihadapi Soeharto. Indonesia Investments, lembaga pemerhati ekonomi Indonesia dari Belanda, dalam laporan berjudul “History of Indonesia: Politics and the Economy Under Sukarno” menyebutkan, pada masa itu Indonesia juga terbebani utang besar sementara di waktu bersamaan ekspor melemah dan pendapatan per kapita menurun secara signifikan.

Pada 1960, melalui Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Sukarno sempat mengeluarkan Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969 yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri. Tetapi, pada 1964, strategi itu ditinggalkan sebab situasi ekonomi makin memburuk: inflasi masih tinggi, basis pajak mengikis, arus pemindahan aset finansial ke riil begitu besar, hingga konfrontasi dengan Malaysia yang menyerap sebagian besar anggaran pemerintah.

Sukarno boleh saja mahir dalam bahasa dan retorika, tapi ia gagal mengurus ekonomi. Alih-alih peduli pada masalah ekonomi, ia malah mencurahkan waktunya untuk berpetualang dalam demagogi politik. Reportase majalah The New Yorker (23 November 1968) menyatakan bahwa akibat Sukarno salah urus, Indonesia dihadapkan pada posisi kebangkrutan dan diprediksi akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri.

Soeharto menyiapkan beberapa langkah untuk membebaskan Indonesia dari belitan krisis ekonomi. Mengutip Guy Fauker dalam makalahnya, “The Indonesian Economic and Political Miracle” (1973), langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah mengubah arah haluan ekonomi: dari pro-Timur menjadi pro-Barat.

Soeharto lantas membentuk Tim Ahli di Bidang Ekonomi dan Keuangan yang berisikan ekonom dari Universitas Indonesia. Tim ini dipimpin Widjojo Nitisastro. Kelak, kelompok tersebut dikenal dengan nama “Mafia Barkeley” dengan kebijakan-kebijakannya yang berlandaskan liberalisasi ekonomi serta pasar bebas.

Heinz Wolfgang Arndt dalam The Indonesian Economy: Collected Papers (1984) menjelaskan, rencana pemulihan ekonomi Indonesia dibagi menjadi tiga tahapan: stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan. Tiga tahapan tersebut lalu diwujudkan ke dalam beberapa langkah seperti penghentian hiperinflasi dan memulihkan stabilitas makroekonomi, penjadwalan utang luar negeri, hingga membuka pintu bagi penanaman modal asing.

Pembentukan IGGI

Setelah keran investasi asing dibuka, langkah berikutnya ialah mencari bantuan luar negeri. Namun, Indonesia mendapat halangan. Beban neraca pembayaran luar negeri sebagai akibat utang yang diwariskan Orde Lama membuat Indonesia sulit memperoleh kreditur maupun pendonor.

Dalam “Survey of Recent Developments” (1966) yang diterbitkan Bulletin of Indonesian Economics Studies, Arndt dan J. Panglaykim menjelaskan, Indonesia tidak mampu membayar cicilan maupun bunga utang luar negeri. Bank Indonesia, terang mereka, bahkan tidak mampu membayar letters of credit serta terpaksa menunda pembayaran kredit perdagangan luar negeri yang totalnya mencapai 177 juta dolar AS.

Dengan kondisi seperti itu, catat Radius Prawiro dalam Indonesia’s Struggle for Economic Development-Pragmatism in Action (1998), Indonesia tidak memiliki kualifikasi cukup untuk memperoleh bantuan kredit luar negeri. Sebagai solusinya, Soeharto kemudian mengirimkan delegasi ke berbagai negara kreditor guna membahas moratorium utang luar negeri. Yang dituju: London dan Paris Club—kelompok informal kreditur di pentas internasional.

Melalui diplomasi yang intensif dalam forum London dan Paris Club, masih menurut Radius, pemerintah Indonesia mengajukan gagasan pembentuk konsorsium negara-negara kreditur untuk Indonesia. Pertemuan dengan Paris Club merupakan peluang pertama bagi pemerintah untuk menjelaskan kebijakan ekonomi macam apa yang bakal ditempuh guna keluar dari krisis.

Setelah berdiskusi panjang-lebar, forum tersebut akhirnya menyetujui adanya moratorium bagi Indonesia. Forum juga sepakat membentuk konsorsium bernama IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD pada 1967. Tujuan pembentukan konsorsium ini ialah untuk memberikan pinjaman ke Indonesia.